Archive for September 2014

Serpihan Hati

Ketika angin dengan sengaja membisikkan namamu, maka saat itulah kusambar namamu darinya, lalu segera kuselipkan di balik bantal tidurku. Bukan berharap agar namamu dapat berubah menjadi benda yang kuharapkan, layaknya mitos tentang gigi yang diselipkan di balik bantal, berharap peri gigi akan datang dan menggantinya dengan benda yang kau damba-dambakan. Bukan, bukan untuk itu, sayang. Yang aku mau hanyalah bisa memimpikanmu di setiap malamku terlelap. Hanya itu, agar esok tak perlu lagi ada ukiran wajahmu dalam semangkuk sereal sarapanku, atau awan yang membentuk sketsa wajahmu di setiap pagi aku memandangi langit.

Apa aku bilang soal memandangi langit? aku selalu ingat hal itu setiap kali aku memandangi langit. Langit pagi. Pernah aku tak sengaja menemukan serpihan-serpihan hatimu─bersamaan dengan linangan air matamu─di jejak-jejak masa lalumu. Aku memunguti serpihan-serpihan itu satu per satu, senti per senti, dan kuletakkan semua itu di tanganku. Aku membawanya pulang dengan harapan dapat menyatukannya lagi. Apapun caranya─tanpa banyak berpikir─serpihan-serpihan ini harus menyatu lagi seperti sedia kala.

Leave a comment

Gadis Penghisap Darah

Cobalah kau pandangi tanah lapang di sudut sana. Dulu tak ada apa pun yang ditanami di atasnya. Kini hanya ilalang yang merembah menempatinya. Tingginya menjulang hingga melampaui kepala manusia. Pun dengan rumah kayu di pinggiran sungai. Dibiarkan kosong tak berpenghuni. Dibiarkan hampa. Hanya sarang laba-laba yang jadi penguasanya. Tinggal menunggu kapan aliran sungai akan melembak hingga menyeretnya. Menjadikannya puing-puing untuk sebuah cenderamata.

Sedari dulu tingkahmu tak kunjung berubah.. Manja dan selalu bertingkah. Gersang otakku tak kunjung kau jamah. Padahal kau sering berjiarah, mengunjungi makam-makam pemilik hati suci yang pernah kau gerogoti begitu perih. Tanpa kenal kata menyesal kau terus mengulangi. Kini gundukan tanah itu telah semakin bertambah. Bersamaan dengan haus darahmu yang semakin parah.

Leave a comment

Setitik Hujan yang Kurindu

Entah mengapa hujan selalu senang membawa serta suasana sendu bersamanya, ketika ia menitik membasahi bumi. Entah mengapa hujan juga selalu menyisakan bulir-bulir bening pada dedaunan dan pada mahkota-mahkota bunga, ketika ia sirna dari dunia. Meninggalkan jejak-jejak alaminya.

Aku selalu suka hujan yang turun di tengah kemarau. Semerbak aroma tanah yang terkesan alami akan selalu menjelma menjadi aroma yang menyejukkan. Membuat hidung tak bosan-bosan menghela. Membuat dada kembali merasakan kesegaran. Tapi, aku akan benci hujan ketika ia membawa serta angin kencang bersama dirinya. Membuatku tak bisa berbuat banyak untuk sekedar bermain bersamanya, menari-nari di bawahnya, dan membuatku tak bisa merentasnya saat akan bertemu denganmu.
Aku selalu suka hujan yang menitik di tengah malam. Karena pagi hari akan selalu sejuk setelahnya. Pagi yang biru dengan menyisakan embun yang masih lekat di kaca-kaca jendela, daun-daun, dan mahkota-mahkota bunga. Tapi, aku selalu benci bila hujan membawa serta petir bersamanya. Membuatku selalu terjaga. Petir tak pernah ramah. Ia juga tak pernah menyenangkan. Tak seperti hujan, petir selalu membawa petaka. Suaranya akan menggelegar memekakkan gendang telinga. Menggetarkan kaca jendela. Membelah langit hingga hujan semakin deras menerpa.

Leave a comment

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.