Archive for Januari 2015

[Cerpen] Mata Indah Sekar (Part II)

(gambar: www.pinterest.com)
Selepas kepulangannya dari rumah sakit, tak ada yang berubah dari hidup Ibu Sekar. Perempuan paruh baya itu masih melanjutkan hidupnya seperti biasa: bekerja mengurusi salonnya. Sebenarnya dokter sudah memintanya untuk melakukan perawatan di rumah sakit demi kelanjutan kesehatannya. Namun tentu saja ia menampiknya. Ia enggan bila harus berada di sekitar mereka, apalagi dalam waktu yang tak sebentar. Bahkan, bujukan Sekar yang semakin cemas dengan kondisinya pun masih tak mampu merubah pendiriannya. Padahal, rasa benci Sekar kepada dokter telah sedikit memudar karena kehadiran Rama. Namun sepertinya, itu belum juga berlaku bagi ibunya.

Betapa cepatnya waktu bergulir bagi Sekar. Menit menjadi jam. Hari menjadi minggu. Dan minggu menjadi bulan. Waktu terus bergulir tanpa bisa dihentikannya. Atau untuk sekedar dilambatkannya pun ia tak mampu. Kematian memang akan selalu datang menjemput siapa saja. Namun siapa yang tak cemas bila hari kematian bagi orang tersayang dapat dikatakan dengan gamblangnya? Membuat hidup selalu dibuntuti oleh kecemasan. Membuat nalar tersadar jika waktu kebersamaan ini akan segera berakhir. Mungkin karena inilah Tuhan merahasiakan kematian hambanya. Sebab tak semua manusia siap menyambut hari kematiannya.

3 Comments

[Cerpen] Mata Indah Sekar (Part I)

(gambar: www.pinterest.com)
Soluna hitam itu berhenti tepat di depan sebuah rumah kala Rama menginjak pedal remnya. Setelah menarik rem tangan, ia bergegas keluar, berjalan setengah berlari menuju pintu belakang dengan memutari mobil. Bersamaan dengannya, Sekar yang duduk di samping kursi kemudi pun bergegas keluar. Ia beralih ke pintu belakang, membukanya, dan menuntun ibunya yang hendak turun dari mobil. Dan ketika Rama─yang berniat ingin menuntunnya─baru saja mencekal lengan Ibu Sekar, dengan serta merta perempuan paruh baya itu justru menampiknya. Bahkan ia terus berlalu tanpa sekalipun mau menatapnya. Sekar sempat melempar pandangannya kepada Rama saat itu juga. Sebuah tatapan yang menyiratkan penyesalan. Dan Rama hanya membalasnya dengan sebuah senyum tipis. Seolah ia sedang memberikan siyarat ‘tak apa’. Sambil terus mencekal lengan dan merangkul pundak ibunya, Sekar pun menuntun ibunya masuk ke dalam rumah.
            Sementara itu, Rama memutuskan untuk menunggu Sekar di sisi mobilnya. Berdiri sambil bersandar pada mobilnya. Matanya menatap lurus ke depan. Tepat ke rumah yang tak terlalu besar dengan pagar teralis yang tingginya hampir sedadanya. Pintu depannya tersingkap, memancarkan semburat keputihan dari dalam yang kontras dengan lampu terasnya yang berpendar temaram.
Sepi.
Malam telah larut dan hanya terdengar lamat-lamat parade para jangkrik yang mengerik. Semilir angin sempat menerpanya. Menepi ke tengkuk Rama, membuatnya sedikit bergidik. Tak berselang lama, Sekar pun kembali muncul dari pintu yang terbuka itu. Ia berjalan menghampiri Rama yang telah menanti kehadirannya.
            “Terima kasih ya, Rama. Kau sudah mau menjemput ibuku lagi,” ujar Sekar begitu berdiri tepat di depan Rama. Sebelah tangannya menyisihkan sisi rambutnya, yang kemudian diselipkannya ke belakang telinganya. “Maaf soal tadi. Ibuku masih seperti itu kepadamu,” sambungnya tak enak hati seraya sedikit menundukkan wajahnya.
“Tak apa Sekar. Aku mengerti. Dulu kau pun begitu, kan?” sahut Rama tanpa sedikit pun merasa terhina.

4 Comments

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.