Jam
lima lewat lima belas, masih setengah jam lagi, bisikku dalam hati yang baru
saja menelisik jam analog yang melingkar di lengan kiriku. Sudah lama juga
rupanya aku di sini. Benar kata orang jika waktu akan bergerak begitu cepat
bila kita terlalu menikmatinya. Seperti aku saat ini. Aku terlalu menikmati
waktu yang kuhabiskan bersenda gurau bersama teman-teman semasa SMA-ku. Duduk
bersama di satu meja, bernostalgia dengan ketololan-ketololan dulu, tergelak
sesukanya seolah menertawai kebodohan-kebodohan kita dulu. Ya, kita─aku dan kamu.
Aku harap kamu akan datang di acara reuni kecil ini yang selalu ada hampir di
setiap tahunnya, saat bulan ramadan menyapa. Ya, aku masih menunggumu.
Apa
kamu masih ingat denganku, Fan? Ah, pertanyaan yang bodoh. Aku yakin kamu masih
sangat ingat denganku kecuali jika mendadak kamu terserang alzheimer, karena baru kemarin kita bertatap muka melalui Skype. Tapi, bukan itu maksud
pertanyaanku. Maksudku, apa kamu masih ingat dengan semua waktu yang pernah
kita habiskan bersama semasa SMA dulu? Ya, kita─aku dan kamu.
Ah,
sial! Kata-kata itu selalu melekat di benakku. Apa kata-kata kita itu cocok untuk menggambarkan kita yang sekarang ini? Kita yang masih menjaga tali silaturahim
walau jarak tetap memisahkan kita di
antara dua negara yang berbeda. Aku di negara kelahiranku, Indonesia, sedangkan
kamu di negara kelahiran Kanguru, Australia. Tapi, kurasa kita yang sekarang ini masih kita
yang dulu, dan tak ‘kan pernah menjadi kita
dalam arti sebenarnya. Ah, sudahlah. Sepertinya terlalu banyak kata kita dapat membuat kepalaku jadi pusing
sebelah.