Archive for 2015

Risalah 2015: Mulai dari 2 kali Hampir Kehilangan Motor dan Berhasil Menerbitkan Buku!

Apa yang Sudah Kamu Capai Tahun ini?

Tahun sudah akan berganti sebentar lagi. Dan saya yakin pasti tidak sedikit dari kita yang sudah merasakan hal luar biasa di tahun ini. Yah… Suka-duka memang akan selalu berdampingan dan itu tidak akan bisa kita gugat lagi. Tetapi, paling tidak, saya yakin akan selalu ada hal-hal yang begitu membekas di sepanjang tahun 2015 di benak kita. Entah itu sesuatu yang menyenangkan atau malah memilukan. Dan, bagi saya, pengalaman tetap saja pengalaman dan akan sangat sayang bila tak diguratkan dalam sebuah catatan, meski pengalaman paling memilukan sekalipun. Sebab, bagaimanapun, perjalanan hidup kita ini tak lebih dari catatan sejarah di kemudian hari, yang bisa terlupakan dan hilang tanpa makna, bila tak diguratkan dalam sebuah tulisan.

Nah, karena itulah, kali ini saya ingin merangkai segelintir hal yang begitu membekas di benak saya selama dua semester ini. Mulai dari hal memilukan sampai hal paling membahagiakan yang tak sempat saya bayangkan sebelumnya. Dan, mungkin, akan lebih baik bila saya memulai risalah sepanjang tahun ini dengan hal-hal memilukan lebih dulu. Bukan apa-apa. Saya hanya berharap agar segala sesuatunya dalam hidup ini akan berakhir bahagia apa pun yang terjadi. Karena itu, biarkan hal memilukan mengetuk di awal dan kebahagiaan yang menepisnya kemudian…

4 Comments

[Cerpen] 1/2 Gila

Gambar: freepik.com

“Lihatlah sisi baiknya sekarang, Damar. Mereka mengecapku sebagai orang gila, bukan lagi sebagai seorang pengangguran.
Betapa Topan sangat   menyukai rumah barunya ini melebihi dari rasa sukanya terhadap rumahnya sendiri. Selain bisa terbebas dari pergunjingan para tetangga, di sini ia bisa hidup berleha-leha. Terlebih, di rumah barunya ini ia bisa melihat hal-hal yang menakjubkan. Sesuatu yang belum pernah dilihatnya di tempat lain atau bahkan, mungkin, di kehidupannya yang lain.
Betapa tak menakjubkannya jika setiap hari aku bisa melihat seekor naga meliuk-liuk di depanku, katanya sekali waktu kepada Damar sambil terkagum-kagum, juga seorang bajak laut yang selalu berdiri setiap harinya di atas batu besar itu. Belum lagi seorang penyihir yang amat pemalas sehingga tak ada hal lain yang dikerjakannya selain bersandar di bawah pohon sambil terus mengupil.
Sejujurnya, Topan tak pernah sekalipun mengira bisa menemukan semua hal menakjubkan itu di rumah barunya ini. Padahal, yang diharapkannya dulu saat tinggal di sini hanyalah agar ia bisa menjalani hidup dengan tenangnya. Terbebas dari pergunjungan para tetangga. Hanya itu. Tak lebih.

4 Comments

Freeport dan Indonesia: Catatan Sejarah, Kolonialisme, Konspirasi dan Ironi

Gambar: sejarahri.com
Langit Desember di hari Jum’at pagi, tanggal 11 tepatnya, sangat meneduhkan. Saya masih ingat bagaimana rutinitas, yang terbilang biasa ini, berlangsung dalam hidup saya; bangun pagi dan bergegas pergi bekerja. Saya mengendarai motor, melewati rute yang sudah begitu familiar; menyebrangi rel kereta tanpa palang pintu, melintasi jalur di pinggiran Kanal Banjir Timur, dan bertemu dengan lampu lalulintas sebelum kemudian berkelok ke kiri. Sesampai di kantor, saya lekas mengisi absen dan menuju meja.

Barangkali, kegiatan yang sering saya lakukan ketika pertama kali menyalakan komputer akan sama seperti yang dilakukan manusia di zaman digitalisasi ini; tanpa menghiraukan hal lain saya langsung membuka google chrome, lalu segera membuka tiga laman sekaligus dengan tab yang berbeda, yakni email, facebook dan twitter. Tak ada hal menarik ketika saya mengecek emailsebab yang masuk hanya email promo dari beberapa market place yang pernah saya coba hampiri. Namun lain hal ketika saya membuka laman facebook. Sebab saat itu saya langsung mendapati sebuah postingan, yang di-like oleh salah seorang teman saya, muncul di beranda saya dengan judul yang menarik, “JFK Dibunuh, Sukarno Lengser, Freeport ‘pun Deal!” (Anda bisa baca di sini). Seketika ada sesuatu yang berkelebat di kepala saya ketika membaca judulnya. Apalagi foto hitam-putih yang turut ditampilkan oleh postingan tersebut menampakkan sosok Soekarno yang tengah berjalan dengan John F. Kennedy dan keduanya menyunggingkan senyum yang begitu hangat. Intuisi saya pun dengan lekas menyambar.

2 Comments

[Cerpen] Danyang

Photo by: thephoblographer.com
Lelaki itu naik menelusuri tangga, mengintip dan memasuki setiap ruangan, lalu kembali turun melewati tangga yang sama setelah menyadari bila cintanya tak bisa ia temukan di mana-mana. Di mana kamu, batinnya resah. Di mana kamu, Sayang?
Sesungguhnya rumah itu tak terlampau besar. Hanya rumah dua lantai dengan empat kamar tidur (dua kamar di lantai satu dan dua kamar di lantai dua) dan tiga kamar mandi (dua kamar mandi di lantai satu dan satu kamar mandi di lantai dua). Pekarangan depannya pun tak terlampau luas, hanya mampu ditumbuhi sebuah pohon mangga yang rimbun. Perdu dan rumput gajah yang tak lagi terurus tumbuh semarak di pekarangan belakang. Sebuah dangau nan sederhana di bangun di sudut pekarangan belakang. Namun, di rumah yang tak terlampau luas itu tetap saja ia tak bisa menemukan sosok dari cintanya yang ia inginkan.
Cintanya tak ada di mana-mana.

2 Comments

[Cerpen] Lebih dari Sekedar Benda


Pandanganku masih memaku pada hamparan laut yang tak lagi membiru, melainkan berwarna yang senada dengan langit senja. Kerlap-kerlip keemasan tak ayal terbit di permukaannya, seolah banyak permata yang mengapung di sana. Langit yang disaput awan telah berwarna jingga seiring sang surya yang perlahan merendah. Menciptakan siluet-siluet alam yang indah, seolah sebuah lukisan yang dibuat langsung oleh tangan Tuhan. Aroma air laut yang khas tak urung lesap dari hidungku tatkala angin terus berdesir menerpa. Deru ombak masih terdengar jelas menghantam bebatuan karang yang berarak tak beraturan tepat di depanku. Lidah-lidah ombak yang pecah ketika menghantam karang akan menjelma menjadi buliran kecil dan melayang di udara, lalu terbawa oleh angin yang berhembus, sebelum akhirnya menyergapku tepat dari arah depan. Hingga akhirnya angin laut itu menyelubungiku dengan kehangatan yang mengular di sekujur tubuhku, lalu kemudian mengendap dan berdenging di telingaku. Seolah angin laut tengah memelukku seraya berbisik padaku; dia akan datang, begitu katanya. Terus dan terus begitu bisiknya.

7 Comments

[Cerpen] Obrolan Tentang Manusia

(gambar: www.pinterest.com)
“Kau tahu kenapa majikan kita selalu terlambat untuk pulang?” seekor kucing jantan bertanya kepada pasangannya.
“Aku kira dia masih sibuk mencari uang untuk ditabungnya. Ya, barangkali.”
“Barangkali? Kau terdengar agak ragu dengan jawabanmu sendiri.”
Kucing jantan berbulu coklat muda dan bertutul putih itu tak lekas menjawab. Tiba-tiba saja ia begitu masyuk menjilati salah satu kakinya. “Emm... entahlah,” jawabnya kemudian di sela-sela kemasyukannya.“Setidaknya itulah yang selalu kudengar dari majikan kita sekali waktu saat pulang larut dan diprotes oleh anaknya sendiri karena keterlambatannya pulang. Maaf, Papa mencari uang untuk tabungan masa depan kita, begitulah katanya kalau tidak salah.”

3 Comments

[Cerpen] Kekasih yang Pergi

(gambar: blixx-a.deviantart.com)
Pemuda dari suku X memberikan tendangannya. Pemuda dari suku Y sempoyongan dan hilang keseimbangan. Pertahanannya terbuka. Tanpa ampun pemuda dari suku X itu menghunuskan samurai ke arah perut lawannya. Pemuda dari suku Y pun tersungkur tak berdaya. Ia terjerembap berkalang aspal dan bermandikan darah.
∞∞∞
Entah karena apa pertikaian ini bermula. Bahkan Rizky pun tak tahu pasti apa penyebabnya. Simpang siur kabar yang terdengar tentang apa yang menyulut pertikaian ini belum juga jelas. Katanya, pertikaian ini tersulut karena ada sekelompok suku X yang membuat gaduh ketika sedang diadakannya sebuah pertemuan keagamaan di rumah salah seorang yang berasal dari suku Y. Namun, ada juga versi lain yang berkata, kalau pertikaian ini bermula dari salah seorang suku Y yang menegur seorang dari suku X karena kegaduhan itu dengan cara kasar. Sehingga pemuda dari suku Y itu membotoli pemuda dari suku X hingga berkeramaskan darah. Entah, yang mana yang benar. Tapi yang pasti, saat ini keadaan sudah terlanjur memanas.

Leave a comment

Kerjanya Polisi itu APA??!!!

Malam belum terlalu larut ketika saya masih sibuk menyelesaikan sebuah artikel yang harus berjumlah tak kurang dari 6.500 karakter. Namun, saat itu satu halaman A4 pun urung tersentuh seluruhnya. Rasa kantuk tak jarang menghampiri, membuat saya harus sering-sering mengerjap agar tetap terjaga. Kepala pun tak jarang berdenyut kencang memikirkan kata demi kata yang harus saya tuliskan agar artikel bisa menarik untuk dibaca. Kondisi seperti itu tak jarang melahirkan bisikan setan yang berdenging di telinga saya. Entahlah, apakah itu bisikan setan atau hanya panggilan hati yang merasa kelelahan. Sebab, dorongan agar diri ini berhenti menyelesaikan tulisan pun semakin kuat adanya.
Pukul 20.10 WIB. Lagu barat yang saya tak tahu siapa penyanyinya dan lagunya itu masih terdengar lewat sound system yang terhubung dari salah satu komputer teman saya. Mengisi kekosongan di ruang redaksi yang hanya menyisakan tiga lelakisaya dan dua teman sayayang saling berkutat dengan komputer masing-masing demi menyesaikan tugas. Kesejukan angin malam di tanggal 20 Mei tak bisa saya rasakan sebab tak ada satu pun jendela kantor yang terbuka, atau memang sengaja dibuka. Gerah perlahan menyelubungi tubuh saya sebab pendingin ruangan dimatikan entah oleh siapa. Namun, agaknya artikel yang urung rampung itu telah mampu menghipnotis saya sehingga tak terlalu peduli pada gerah yang semakin meruap.

1 Comment

Tanah Pembegal

Foto : siperubahan.com
Mungkin bisa saya katakan jika kata 'begal' sudah tak asing lagi di telinga Anda. Lebih lagi dengan fenomena begal yang tiba-tiba saja booming pada beberapa bulan terakhir ini. Sebab serentak terjadi di mana pun dalam kurun waktu yang singkat, serupa virus flu burung yang mampu menulari manusia sempai pelosok negeri dalam waktu singkat. Tak ada bedanya untuk kedua hal itu. Mereka sama-sama menakutkan dan meresahkan. Tapi, kalau sedikit menapak tilas kembali, sejatinya fenomena begal ini sudah lama terjadi.

Sebelum begal diekspos oleh media dan merajalela seperti beberapa bulan belakangan ini, begal sudah sering terjadi. Namun, sayang seribu sayang sebab hal itu tak pernah menjadi perhatian utama oleh media (hingga booming seperti sekarang ini) sebelumnya, sebab mereka memang kadang beraksi di "Tanah Tak Bertuan". Tanah Tak Bertuan adalah sebutan untuk banyak wilayah yang kehadiran polisi atau pun aparat penegak hukum lainnya tidak dirasakan sama sekali (setidaknya itu yang saya tahu ketika membaca Majalah Tempo edisi 9 - 15 Maret).

Dan anehnya, kini fenomena begal tiba-tiba saja booming tepat di saat kisruh dua lembaga penegak hukum negeri ini tengah melambung (KPK vs Polri). Ah, maaf, kali ini saya sedang tidak ingin menyangkutpautkan fenomena begal dengan masalah politik di negeri ini. Soal pengalihan isu atau permainan oknum, atau apalah itu, saya sedang tidak menyerempet kepada hal-hal tersebut. Saya hanya ingin membahas tentang begal dari sudut pandang baru dari sebuah hasil investigasi. Hanya itu.

Leave a comment

[Cerpen] Mata Indah Sekar (Part II)

(gambar: www.pinterest.com)
Selepas kepulangannya dari rumah sakit, tak ada yang berubah dari hidup Ibu Sekar. Perempuan paruh baya itu masih melanjutkan hidupnya seperti biasa: bekerja mengurusi salonnya. Sebenarnya dokter sudah memintanya untuk melakukan perawatan di rumah sakit demi kelanjutan kesehatannya. Namun tentu saja ia menampiknya. Ia enggan bila harus berada di sekitar mereka, apalagi dalam waktu yang tak sebentar. Bahkan, bujukan Sekar yang semakin cemas dengan kondisinya pun masih tak mampu merubah pendiriannya. Padahal, rasa benci Sekar kepada dokter telah sedikit memudar karena kehadiran Rama. Namun sepertinya, itu belum juga berlaku bagi ibunya.

Betapa cepatnya waktu bergulir bagi Sekar. Menit menjadi jam. Hari menjadi minggu. Dan minggu menjadi bulan. Waktu terus bergulir tanpa bisa dihentikannya. Atau untuk sekedar dilambatkannya pun ia tak mampu. Kematian memang akan selalu datang menjemput siapa saja. Namun siapa yang tak cemas bila hari kematian bagi orang tersayang dapat dikatakan dengan gamblangnya? Membuat hidup selalu dibuntuti oleh kecemasan. Membuat nalar tersadar jika waktu kebersamaan ini akan segera berakhir. Mungkin karena inilah Tuhan merahasiakan kematian hambanya. Sebab tak semua manusia siap menyambut hari kematiannya.

3 Comments

[Cerpen] Mata Indah Sekar (Part I)

(gambar: www.pinterest.com)
Soluna hitam itu berhenti tepat di depan sebuah rumah kala Rama menginjak pedal remnya. Setelah menarik rem tangan, ia bergegas keluar, berjalan setengah berlari menuju pintu belakang dengan memutari mobil. Bersamaan dengannya, Sekar yang duduk di samping kursi kemudi pun bergegas keluar. Ia beralih ke pintu belakang, membukanya, dan menuntun ibunya yang hendak turun dari mobil. Dan ketika Rama─yang berniat ingin menuntunnya─baru saja mencekal lengan Ibu Sekar, dengan serta merta perempuan paruh baya itu justru menampiknya. Bahkan ia terus berlalu tanpa sekalipun mau menatapnya. Sekar sempat melempar pandangannya kepada Rama saat itu juga. Sebuah tatapan yang menyiratkan penyesalan. Dan Rama hanya membalasnya dengan sebuah senyum tipis. Seolah ia sedang memberikan siyarat ‘tak apa’. Sambil terus mencekal lengan dan merangkul pundak ibunya, Sekar pun menuntun ibunya masuk ke dalam rumah.
            Sementara itu, Rama memutuskan untuk menunggu Sekar di sisi mobilnya. Berdiri sambil bersandar pada mobilnya. Matanya menatap lurus ke depan. Tepat ke rumah yang tak terlalu besar dengan pagar teralis yang tingginya hampir sedadanya. Pintu depannya tersingkap, memancarkan semburat keputihan dari dalam yang kontras dengan lampu terasnya yang berpendar temaram.
Sepi.
Malam telah larut dan hanya terdengar lamat-lamat parade para jangkrik yang mengerik. Semilir angin sempat menerpanya. Menepi ke tengkuk Rama, membuatnya sedikit bergidik. Tak berselang lama, Sekar pun kembali muncul dari pintu yang terbuka itu. Ia berjalan menghampiri Rama yang telah menanti kehadirannya.
            “Terima kasih ya, Rama. Kau sudah mau menjemput ibuku lagi,” ujar Sekar begitu berdiri tepat di depan Rama. Sebelah tangannya menyisihkan sisi rambutnya, yang kemudian diselipkannya ke belakang telinganya. “Maaf soal tadi. Ibuku masih seperti itu kepadamu,” sambungnya tak enak hati seraya sedikit menundukkan wajahnya.
“Tak apa Sekar. Aku mengerti. Dulu kau pun begitu, kan?” sahut Rama tanpa sedikit pun merasa terhina.

4 Comments

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.