[Cerpen] Hilangnya Seekor Naga


Seperti ribuan intan permata yang sengaja dilempar oleh Tuhan ke angkasa, gugusan bintang yang berkelapan begitu indah menggantung di atas sana, tersebar hampir ke seluruh penjuru langit Amsterdam. Membuat langit malam tak lagi berwarna hitam, melainkan biru keungu-unguan. Bulan sabit tak lagi pasi di antara luasnya langit yang membentang, melainkan elok sebab telah berkalungkan perhiasan.

Jauh di bawahnya, seorang lelaki tengah memandangi langit yang tak lagi sederhana itu sendirian. Di sebuah langkan di lantai dua rumahnya, ia berdiri dengan wajah yang agak mendongak. Matanya tak lekang memandangi langit malam yang lapang dan tengah dinaungi oleh gugusan bintang. Membuatnya teringat kembali pada seorang gadis yang wajahnya selalu dinaungi oleh seberkas cahaya. Matanya teduh dan selalu diilhami oleh keluguan seorang perempuan. Dagunya meruncing dan mungil. Hidungnya ramping dan tak terlalu mancung. Bibirnya tipis dengan senyum yang tak pernah berlebihan.

∞∞∞

Di tepian taman, Afiyah duduk pada sebuah pelantar yang berteduhkan dahan-dahan pohon ketapang. Di sekitar kakinya, sekelompok merpati tengah menyemut memperebutkan remah-remah roti yang disebarnya. Tiga anak kecil sempat berlarian melintas di depannya, mengusir merpati-merpati itu hingga menyebar dan terbang ke berbagai arah, sebelum kemudian kembali mendarat dan menyemut lagi di sekitar kakinya.

Langit Jakarta siang itu tengah bersahabat. Tak ada terik yang terlampau membakar kulit. Juga tak ada larik-larik keemasan yang sanggup memicingkan mata bila setiap kali harus  mengangkat muka.
Gadis berkerudung hitam itu tampak tenang memandangi merpati-merpati yang tengah masyuk memunguti remah-remah roti dengan paruh mereka. Sebelah tangannya tak henti menyuili selembar roti tawar yang digenggamnya, lalu menebarnya lagi. Terus dan terus begitu, hingga akhirnya tak ada secuil roti pun yang tersisa di tangannya.

Sudut bibirnya tampak terangkat tatkala ia memandangi merpati-merpati itu penuh suka. Ada sebuah kesenangan yang terselip dalam batinnya. Tetapi, tak seutuhnya begitu. Sebab sesungguhnya ia pun merasa iri pada burung-burung bermata jagung itu.

Baginya burung-burung itu dapat terbang bebas ke mana pun menuruti naluri yang mereka punya. Seolah kebebasan adalah sebuah keniscayaan bagi mereka. Tak ada keterikatan maupun aturan. Bahkan, di mata gadis itu, burung-burung itu lebih memiliki kebebasan dibandingkan dirinya. Kebebasan yang hakiki, yang sahih. Kebebasan yang sebenarnya didambakan olehnya. Atau mungkin juga oleh banyak manusia sepertinya.

“Sudah lama kamu di sini?” tanya seorang lelaki bergitu berdiri di dekatnya. Suaranya begitu ia kenali. Gadis itu menoleh sejenak, membenarkan kembali posisi duduknya, lalu menganggukkan kepalanya pelan sebagai makna lain dari jawaban, “Ya”.

“Jadi... bagaimana dengan keputusan ayahmu kemarin?” sambung lelaki itu begitu duduk.
Afiyah tak lekas menjawab. “Seperti yang kamu tahu. Ayahku mengusirmu, kan?”

Lelaki itu mendesah. “Ya. Ayahmu juga bilang kalau dia tidak mau menikahkan anaknya dengan seorang ahli neraka sepertiku.”

Burung-burung merpati itu seketika terbang menyebar, menyisakan suara kepakan sayap yang lamat-lamat menghilang. Beberapa terbang mengitari sebuah pohon besar nan rindang di tengah taman, lalu menghilang entah ke mana. Beberapa lagi memilih hinggap pada dahan-dahan pepohonan ketapang yang berarak di tepian taman.

“Setelah kedatanganmu kemarin,” ujar gadis itu, “ayahku sekarang malah berniat menjodohkanku dengan seorang laki-laki pilihannya.”

Hening. Angin sendu menyapa lembut mereka dalam kebisuan.

“Afiyah,” lelaki itu bicara, “katakan sejujurnya. Apakah kamu mengharapkanku?”

Gadis itu tak bersuara. Sorot matanya dingin dan tak bertuan. Lelaki itu masih menatap Afiyah penuh harap. Betapa wajah gadis itu telah berhasil mencuri cintanya. Perlahan, sebelah tangan lelaki itu mulai bergerak lambat menuju tangan Afiyah. Ia ingin meraih tangan mungil gadis itu dan menggenggamnya. Namun, belum sampai ujung jarinya mendarat di tangan yang halus itu, Afiyah telah lebih dulu menarik tangannya. Menjauhkan tangannya dari jangkauan lelaki itu.

“Jangan sentuh, Darma,” sergahnya. “Kita bukan muhrim.”

“Maaf. Aku... aku hanya ingin tahu apa kamu...”

“Cintaku seutuhnya hanya miliki Allah, kamu tahu itu, kan?”

“Ya. Tapi... apa kamu tidak sedikit pun menyisakan cintamu untuk seorang lelaki pun?”

“Aku percaya hanya Allah yang tidak akan mengkhianati cintaku.”

“Aku berjanji tak akan mengkhianati cintamu.”

“Buktikan saja padaku.”

“Apa masih kurang buktiku setelah kemarin aku berani menemui orangtuamu? Bahkan setelah aku berjanji di depan ayahmu untuk mendalami ilmu agama lagi. Dan jika perlu aku berjanji akan menghilangkan...”

“Bagiku itu sudah cukup, Darma,” sela Afiyah yang sudah berdiri. Ia mematung untuk beberapa saat. Dua orang bersepeda yang melintas saling berpapasan di belakang mereka. Saling membunyikan bel sepeda sebagai tanda saling bertegur sapa.

“Sekarang kamu hanya perlu membuktikan itu kepada ayahku,” sambungnya kemudian yang terdengar lirih. Matanya yang teduh itu tampak disaput embun. Sayangnya, Darma tak dapat melihat itu. Lalu gadis itu pun berlalu setelah mengucap salam.

Darma menjawab salam dengan suara yang pelan. Begitu pelan sehingga nyaris tak terdengar. Seperti angin yang bersilir di pagi hari, yang hanya berbisik pada ilalang-ilalang yang masih tertunduk malas ditumpahi embun. Matanya tak lekang meratapi punggung Afiyah yang semakin lama semakin menjauh. Seolah gadis itu akan benar-benar pergi jauh.

∞∞∞

Padahal gerimis sudah mereda beberapa saat lalu. Gumpalan awan yang keabuan pun telah memudar dari langit biru. Namun, gadis berkerudung abu-abu itu masih juga duduk termenung pada halte di sudut jalan itu. Ia masih berada di dalam ruang lamunannya. Entah apa yang tengah dipikirkannya. Tetapi, yang pasti, “sesuatu” itu amat bisa membuatnya terlalu nyaman untuk berlama-lama berada di ruang lamunannya.

“Tidak baik jika seorang perempuan melamun sendirian di halte,” sahut seorang lelaki begitu duduk di samping gadis itu. Membangunkannya dari lamunan.

Sedikit linglung, gadis itu kemudian menyadari Darma yang sudah duduk di sampingnya. Ia sempat memalingkan muka, memerhatikan sekitarnya. Keningnya mengernyit sesaat setelah ia tersadar jika di sepanjang kursi halte telah sepi. Hanya tinggal ia dan Darma yang duduk di situ. Ke mana orang-orang tadi?

“A-aku tak melamun,” sanggahnya.

“Oh, ya? Lantas kenapa kamu masih duduk di sini sendirian, bukannya malah menaiki angkot dan bis-bis yang tadi selalu berhenti di sini?”

“Aku... aku hanya ingin naik angkutan umum yang sepi.”

Darma terkekeh. “Tadi pun semua angkot yang berhenti di sini banyak yang tak berpenumpang.”
Gadis itu menelan ludah.

“Sudahlah, kamu pasti melamun, kan? Apa yang kamu pikirkan? Aku?”

“Jangan terlalu ge-er. Aku tak memikirkanmu,” sanggahnya. “Lagipula, sedang apa kamu di sini?”

“Aku ingin mengantarmu pulang.”

“Aku tidak mau naik motor denganmu. Nanti bisa timbul fitnah di antara kita.”

“Aku tidak mau mengantarmu dengan motorku.”

“Mobil pun sama.”

“Aku juga sedang tak membawa mobil.”

“Lalu?”

“Aku mau naik angkot bersamamu.”

“Itu sih namanya mau menemani!”

“Jadi kamu sudah mau aku temani?”

Seketika gadis itu membisu. Deru mesin berbagai kendaraan yang saling tumpang-tindih terdengar berseliweran di dekat mereka. Kepulan asap hitam kendaraan pun tak jarang meruap, membuat beberapa orang yang berdiri di pinggir jalan sesegera mungkin menutupi hidung dengan tangan agar udara kotor tak mencemari paru-paru mereka.

“Aku... aku mau ke toko buku dulu.” Gadis itu mencoba menghindar dari Darma.

“Sama. Aku juga.”

“Setelah itu aku mau mencari-cari kerudung.”

“Aku akan menunggumu.”

Merasa tak akan bisa menang, gadis itu pun menyerah. Dengan suara lirih ia pun mengatakan terserah kepada Darma. “Turunkan dulu lengan kemejamu,” pintanya kemudian.

Sejenak, Darma mengalihkan perhatiannya ke lengan kirinya. Sebuah tato seekor naga bersisik hijau dan bergaris-garis hitam dan merah tampak melingkar di sepanjang lengan kirinya, dengan kepala naga yang terlukis di punggung tangannya.

“Kenapa? Kamu malu bila sedang bersama dengan lelaki bertato sepertiku?”

“Bukan. Aku cuma tidak mau ada orang yang memandang jelek dirimu nanti hanya karena tato itu.”

Darma mengulum senyum. “Sekarang kamu jadi lebih perhatian padaku.”

Gadis itu tak menanggapi. Ia memalingkan muka ke arah jalan sambil menahan senyum rikuhnya. Tak ada pembicaraan lagi yang menyeruak di antara mereka. Sampai akhirnya mereka pun beranjak setelah angkutan umum yang dinanti gadis itu pun tiba dan menepi.

∞∞∞

“Perjodohan itu tidak bohong. Ayahku benar-benar melakukannya.”

Seketika Darma terenyak. Dadanya terasa amat sesak, seperti ada tulang rusuknya yang retak hingga kemudian patah terbelah dua. Betapa ia ingin mengambil yang patah itu dan membuangnya jauh-jauh agar tak segera membusuk di dalam. Namun, sayangnya, ia tak pernah tahu bagaimana caranya membuang luka yang tak dapat disentuh.

“Lelaki itu telah bertamu ke rumahku bersama keluarganya. Tidak ada acara pertunangan. Kata Ayah, kami akan disiapkan untuk langsung menikah,” sambung Afiyah lirih. Sinar matanya telah redup seperti senja yang tersaput mendung di pertengahan bulan Desember.

Malam semakin larut. Di sebuah pelantar mereka duduk berdua dan saling berbagi luka. Lampu-lampu taman yang menyerupai sangkar burung tampak berpendar temaram menerangi remangnya malam. Sejak tadi tak ada angin yang bersilir, tetapi Darma merasakan dingin yang amat menusuk dadanya.

“Apa... apa kamu tidak bisa menolak pernikahan itu?”

Perlahan, Afiyah menatap Darma penuh makna. Cukup lama. Ini adalah kali pertama bagi mereka bersitatap lebih dari tiga detik lamanya.

“Kewajiban seorang anak adalah berbakti kepada kedua orangtuanya. Termasuk menuruti perintah dan permintaan mereka. Lalu, apa ada alasan yang kuat bagiku untuk menolak permintaan ayahku? Untuk menolak baktiku kepada orangtuaku?”

“Sekalipun itu harus mengorbankan perasaanmu?”

Afiyah memalingkan muka. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. Wajahnya tertunduk. Matanya kosong seperti raga yang sudah tak lagi bernyawa.

Angin malam menyergap mereka dalam keheningan. Menelikung mereka dalam sebuah kenyataan yang tak sejalan dengan angan dan harapan. Bahkan, untuk sesaat, kehidupan ini pun mereka rasakan jauh lebih kejam daripada sebuah kematian.

Sejujurnya Afiyah telah berusaha untuk menolak lelaki yang ingin dijodohkan dengannya itu. Dan sesungguhnya, Afiyah pun telah memberikan isyarat penolakannya kepada lelaki bernama Rosid itu pada suatu siang─kala lelaki bertubuh tinggi itu menghampiri kediaman Afiyah sendirian untuk kali ke sekian.

“Apa kamu pernah jatuh cinta kepada seorang perempuan sebelumnya?” tanya Afiyah yang seketika mengusir sepi di antara mereka. Matanya hanya terpaku memandangi secangkir teh yang telah dingin di atas meja.

“Belum. Ini pertama kalinya.”

“Pertama kali?” Rosid mengangguk.

“Kita baru bertemu. Bahkan belum saling mengenal lebih jauh. Bagaimana bisa kamu mencintaiku?”

“Entahlah. Aku pun tidak begitu mengerti. Perasaan itu muncul begitu saja ketika pertama kali aku melihatmu.”

Afiyah mendesah. “Kalau begitu ini pertama kalinya juga kamu akan merasakan sakit hati.”

“Sakit hati?”

“Ya. Karena aku tidak pernah menyukaimu. Sudah ada lelaki lain yang aku cintai.”

Lelaki itu terenyak. Lidahnya kelu untuk sesaat. “Ta-tapi, bukannya kita sudah dijodohkan?”

“Benar. Tapi aku tidak bilang mau menerimanya, kan?”

Seketika lelaki itu bungkam. Pandangannya hanya terpaku pada secangkir teh yang belum sedikit pun disentuhnya dan menjadi saksi bisu percakapan mereka. Percakapan yang meninggalkan bekas di hatinya. Sebuah bekas yang kecil, namun bila dibiarkan akan menganga dan sulit dipulihkan dalam waktu yang lama.

∞∞∞

Setengah jam sudah Darma termenung. Lelaki itu hanya duduk bersandar di atas kasurnya yang dibiarkan tergeletak di lantai kamarnya. Sorot matanya redup dan tak bertuan, seolah jiwanya kosong dan hanya dinaungi oleh kebimbangan. Lagi-lagi, bayangan gadis itu serta-merta muncul dan melucuti jiwanya. Seperti rampok yang menyusup lalu mengobrak-abrik isi rumah guna menemukan sesuatu yang berharga, sebelum kemudian pergi dan tak menyisakan apa-apa.

Sesaat, Darma melempar pandangannya pada sebuah setrika listrik yang ditaruhnya menegak dan telah tercolok di sudut kamarnya. Sebuah setrika yang biasa disiapkannya guna merapikan baju-bajunya yang kusut. Tak lama berselang, ia alihkan lagi pandangannya ke lengan kirinya. Seketika ia mendesah. Terbersit sebuah penyesalan dalam benaknya. Andaikan ia tahu akan begini jadinya, pastinya ia tak akan sudi menyematkan tato itu sebagai perayaan kelulusan SMA-nya dahulu. Tetapi, siapa yang bisa tahu persis soal masa depan kecuali Tuhan, pikirnya.

Mata Darma yang telah redup itu perlahan mulai basah. Ia mengalihkan lagi perhatiannya pada malam yang remang lewat jendela kamarnya yang terbuka lebar. Bulan yang taram temaram tampak mengintip malu-malu dari balik awan yang bisu. Semilir angin masuk tanpa permisi lewat jendela kamar. Merambat pelan bersama udara, menghampiri Darma yang tak bersuara. Lalu angin itu serta-merta menyergap Darma dan menenggelamkannya dalam kebekuan. Seketika Darma merasakan dingin di sekujur tubuhnya. Membuat darahnya perlahan membeku. Angin itu semakin erat mendekap Darma dan mulai mencekiknya. Sebagian berdenging di telinganya. Seolah angin sedang berbisik kepadanya, mengingatkan lagi perihal Afiyah dan juga perjodohannya.

Darma menarik napas dalam-dalam tatkala ia teringat lagi pada telepon Afiyah semalam. Gadis itu memberitahu perihal majunya tanggal pernikahannya dengan Rosid. Bahkan ayahnya sendiri telah melarangnya untuk masuk kuliah lagi. Hal itu dilakukan ayahnya setelah mengetahui sikap Afiyah kepada Rosid tempo hari. Lelaki bertubuh tambun itu takut jika nanti anaknya akan menikahi lelaki yang salah. Lelaki yang memiliki tato naga di lengan kirinya. Lelaki yang disebutnya sebagai ahli neraka.

“Selamatkan aku dari keadaan ini, Darma. Selamatkan aku.” Suara Afiyah terdengar lirih dan bergetar dari balik teleponnya malam itu. Seperti budak yang memohon untuk dilepas dari pasungnya. Darma merasakan jantungnya mencelus setiap kali terngiang suara lirih Afiyah yang seolah memohon kepadanya. Mengemis demi terbebas dari keadaan yang membelenggunya.

Namun seketika Darma merasakan jantungnya berdebar kencang setiap kali muncul niat di dalam dirinya untuk membuktikan kepada ayah Afiyah jika ia memang pantas untuk mendampingi anaknya itu. Sebuah bukti yang harus memaksanya untuk menyakiti dirinya sendiri. Bayangan tentang rasa sakit, perih, jeritan, juga rasa panas karena terbakar pun seperti tak dapat terelakkan lagi dari benaknya. Tetapi, jika ia tak melakukannya, maka sama saja ia menyerah pada keadaan. Dan itu berarti bila ia harus merelakan gadis yang dicintainya akan hidup di dalam dunia yang tak pernah diinginkannya. Hidup bersama cinta yang juga tak pernah didambakannya.

Lelaki itu menarik napasnya lagi begitu dalam. Amat dalam sehingga dadanya tampak mengembang seperti balon udara yang semakin lama semakin terisi penuh oleh udara. Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki itu segera beranjak dari tempatnya, mendekati setrika listriknya yang menyala, lalu duduk di dekatnya. Darma melepaskan kaos putih yang dikenakannya, menggulungnya, lalu menggigitnya. Ia berharap dengan begitu, setidaknya jeritannya tak perlu terdengar sampai ke luar kamar.

Jantungnya berdebar tak beraturan. Napasnya memburu seperti kuda yang ikut pacuan. Tangan kirinya mengepal kencang sehingga ia bisa merasakan sendiri kuku-kukunya mampu menusuk telapak tangannya. Tangan kanannya bersusah payah memegangi setrikanya agar tak terus bergetar. Gigi-giginya begitu kencang menggigit bajunya yang telah basah karena liurnya. Rahangnya meregang seiring menyembulnya urat dari balik kulit wajahnya. Peluhnya seketika menumpuk di keningnya saat ia justru merasakan dingin di sekujur tubuhnya.

∞∞∞

Seperti ribuan intan permata yang sengaja dilempar oleh Tuhan ke angkasa, gugusan bintang yang berkelapan begitu indah menggantung di angkasa. Tersebar hampir ke seluruh penjuru langit Amsterdam. Membuat langit malam tak lagi berwarna hitam, melainkan biru keungu-unguan. Bulan sabit tak lagi pasi di antara luasnya langit yang membentang, melainkan elok sebab telah berkalungkan perhiasan.

Jauh di bawahnya, seorang lelaki tengah memandangi langit yang tak lagi sederhana itu sendirian. Di sebuah langkan di lantai dua rumahnya, ia berdiri dengan wajah yang agak mendongak. Matanya tak lekang memandangi langit malam yang tengah dinaungi oleh gugusan bintang. Membuatnya teringat kembali pada seorang gadis yang wajahnya selalu dinaungi oleh seberkas cahaya.

Sejenak, Darma mengalihkan perhatiannya ke lengan kirinya. Lengan yang sudah tak lagi mulus. Lengan yang sudah dipenuhi oleh luka bakar hampir di setiap bagiannya. Sudah tak ada lagi seekor naga dengan perpaduan warna hijau, merah, dan hitam yang melingkar di sana. Naga itu telah hilang. Telah sirna dan menjelma menjadi sebuah tanda bekas luka yang tak bermakna. Darma masih ingat betul betapa sulitnya menahan perih dan sakit ketika harus menghilangkan seekor naga itu dari tangannya. Ketika ia harus menyetrika lengan kirinya sendiri.

“Sudah hampir tengah malam. Tidak baik bila kamu masih berada di luar. Nanti bisa masuk angin,” sahut perempuan berkerudung kuning gading yang sudah berdiri di samping Darma. Menyirnakan keheningan yang sempat lama melingkarinya.

Darma menoleh, lalu tersenyum. “Sekarang kamu lebih peduli padaku.”

“Apa salah jika seorang istri peduli pada suaminya?”

“Tidak. Tidak ada yang salah, Riani.”

Riani balas tersenyum, lalu memagut lengan kiri suaminya. Sejenak, perempuan itu menerawangi lagi tangan kiri suaminya itu yang warnanya tak serupa dengan tangan kanannya. Bahkan, kehalusannya pun betapa sangat berbeda. Yang ia tahu, lengan kiri Darma seperti itu karena sebuah kecelakaan yang menimpanya. Ya, kecelakaan yang mengakibatkan suaminya terkena luka bakar seperti yang pernah diceritakan kepadanya.

“Kamu belum melanjutkan ceritamu,” ujar Riani kemudian. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Darma. “Cerita tentang seekor naga yang hilang. Aku masih penasaran dengan kelanjutannya.”

“Kamu penasaran?”

Riani mengangguk tanpa mengangkat kepalanya. “Apa akhirnya naga itu dapat menemukan kembali cintanya?”

Darma memandang lagi ke langit malam yang lapang dan berwarna biru keungu-ungan. Ia menghela napasnya amat dalam. Begitu dalam sehingga udara dingin musim semi yang tak lagi asing baginya itu memenuhi paru-parunya. Lamat-lamat terdengar suara deru mesin pesawat yang melintas di atas mereka, sebelum kemudian hilang ditelan jarak.

“Tidak, Riani. Naga itu terlambat,” jawab Darma menyambung kisahnya. “Naga yang menjelma menjadi manusia itu tak dapat menemukan gadis yang dicintainya sebab gadisnya telah dibawa pergi oleh lelaki yang telah dijodohkan dengannya. Hingga akhirnya naga itu pun memutuskan untuk kembali ke wujud asalnya, lalu menghilang dari peradaban. Tak ada yang pernah tahu ke mana perginya naga itu.”

Riani mendesah. “Benarkah begitu? Lalu, ke mana sebenarnya gadisnya itu dibawa pergi sehingga naga itu benar-benar tak bisa menemukannya?”

“Entahlah... Aku pun tidak pernah tahu akan hal itu.” ***

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

2 Responses to [Cerpen] Hilangnya Seekor Naga

  1. kelinci99
    Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
    HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
    NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
    Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
    Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
    segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
    yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
    yukk daftar di www.kelinci99.casino

    BalasHapus
  2. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.