[Cerpen] 1/2 Gila

Gambar: freepik.com

“Lihatlah sisi baiknya sekarang, Damar. Mereka mengecapku sebagai orang gila, bukan lagi sebagai seorang pengangguran.
Betapa Topan sangat   menyukai rumah barunya ini melebihi dari rasa sukanya terhadap rumahnya sendiri. Selain bisa terbebas dari pergunjingan para tetangga, di sini ia bisa hidup berleha-leha. Terlebih, di rumah barunya ini ia bisa melihat hal-hal yang menakjubkan. Sesuatu yang belum pernah dilihatnya di tempat lain atau bahkan, mungkin, di kehidupannya yang lain.
Betapa tak menakjubkannya jika setiap hari aku bisa melihat seekor naga meliuk-liuk di depanku, katanya sekali waktu kepada Damar sambil terkagum-kagum, juga seorang bajak laut yang selalu berdiri setiap harinya di atas batu besar itu. Belum lagi seorang penyihir yang amat pemalas sehingga tak ada hal lain yang dikerjakannya selain bersandar di bawah pohon sambil terus mengupil.
Sejujurnya, Topan tak pernah sekalipun mengira bisa menemukan semua hal menakjubkan itu di rumah barunya ini. Padahal, yang diharapkannya dulu saat tinggal di sini hanyalah agar ia bisa menjalani hidup dengan tenangnya. Terbebas dari pergunjungan para tetangga. Hanya itu. Tak lebih.

“Bagaimana bisa aku mendapatkan semua itu, Damar?” tanya Topan sekali waktu saat melarikan diri ke rumah Damar. “Ketenangan dan kemakmuran. Aku hanya ingin mendapatkan semua itu dalam hidupku yang singkat ini.”
“Kalau begitu segeralah mencari pekerjaan,” jawab Damar sedikit ketus.
Topan mendesah. Kemudian ia menjatuhkan diri ke tempat tidur Damar yang tak beranjang. Matanya memandangi langit-langit kamar Damar yang telah lusuh berkat rembesan air hujan.
“Kau tahu kan, mencari pekerjaan di Jakarta itu susah. Aku sudah berusaha tapi belum juga ada perusahaan yang sudi menerimaku. Padahal aku lahir di tanah ini, tapi mengapa mencari pekerjaan di tanah kelahiranku saja susahnya bukan main?”
“Memang sudah berapa lama kau menganggur?”
“Setahun.”
“Emm... lama juga, ya,” gumam Damar.
Topan melenguh. “Apa baiknya aku mati saja, ya?”
“Ya sudah. Mati saja sana.”
“Tapi, katanya kalau mati bunuh diri akan masuk neraka. Yang aku mau adalah hidup enak seperti di surga, bukan hidup tersiksa di neraka.”
Seketika hening. Damar hanya bergeming memandang keluar dari jendela kamarnya yang terbuka. Sementara Topan masih terpaku menatap langit-langit. Ia masih ingat betul bagaimana hari-harinya amat terganggu semenjak ia resmi menyandang gelar sarjana, sebuah hal yang amat diinginkan oleh para mahasiswa. Namun, sayangnya status barunya itu justru membuatnya menjadi bahan pergunjingan baru bagi para tetangga.
“Lihatlah anak Bu Inah itu. Sarjana yang pengangguran,” cerca salah satu tetangganya sekali waktu.
“Iya. Percuma sekolah tinggi-tinggi, tapi ujung-ujungnya jadi pengangguran.”
“Eh, anaknya Bu Inah masih jadi pengangguran toh? Kalo masih nganggur mending kerja di toko saya aja. Lumayankan punya penjaga toko yang bergelar sarjana.”
Dan mereka pun cekikikan.
Sesungguhnya, mereka tak pernah tahu betapa Topan sudah berusaha dalam mencari pekerjaan. Tak kurang dari seratus surat lamaran kerja ia kirimkan ke berbagai alamat email perusahaan yang membuka lowongan kerja. Dan sudah limapuluh lima perusahaan yang bersedia mengundangnya untuk wawancara sejauh ini. Meskipun pada akhirnya tak ada satu pun dari perusahaan itu yang kemudian mengundangnya lagi untuk ke tahap selanjutnya. Negosiasi gaji, misalnya.
Topan tak pernah tahu mengapa ia hanya selalu bisa sampai di tahap wawancara saja. Bahkan, sekalipun tahap psikotes sudah lebih dulu ia lalui, namun pada akhirnya ia tetap gagal juga ketika sampai di tahap wawancara. Padahal, ia sudah mengikuti petuah dari banyak orang yang sudah lebih dulu bekerja; Berkatalah yang jujur saat diwawancara. Jangan sekali-kali kau mengumbar kebohongan sebab mereka bisa tahu bila kau sedang berbohong. Perusahaan tak suka mempekerjakan seorang pembohong.
Sejujurnya, Topan tak pernah berbohong setiap kali diwawancara. Ia menjawab dengan penuh kejujuran di setiap poinnya. Dan anehnya, proses wawancaranya selalu berhenti setiap kali si pewawancara sampai pada pertanyaan yang hampir serupa.
“Anda pernah punya pengalaman kerja sebelumnya?”
“Tidak ada.”
“Pengalaman organisasi?”
“Tidak ada.”
“Apa yang Anda ketahui tentang perusahaan ini?”
“Tidak ada.”
“Tidak ada?”
“Ya, saya tidak tahu apa-apa mengenai perusahaan ini.”
“Lalu, untuk apa Anda melamar di perusahaan ini jika Anda tidak tahu apa-apa tentang perusahaan ini?”
“Apa pentingnya saya mengetahui banyak tentang perusahaan ini? Toh, saya hanya ingin segera mendapatkan pekerjaan. Karena itu saya ke sini begitu tahu ada lowongan pekerjaan di perusahaan ini.”
Dan setelah itulah Topan akan selalu mendapatkan perlakuan yang serupa: Si Pewawancara akan segera menyudahi perbincangan mereka, menyalami Topan, lalu mempersilakannya untuk keluar ruangan tanpa pernah diantar. Dan setelah itu, Topan tak lagi mendapati kabar lanjutan dari perusahaan tersebut.
Selalu begitu dan begitu. Topan benar-benar tak mengerti apa yang salah dengan jawabannya selama ini. Bukankah aku sudah menjawab semua pertanyaan dengan sangat amat jujur, batinnya meratapi.
“Lihatlah sisi baiknya sekarang, Damar. Mereka mengecapku sebagai orang gila, bukan lagi sebagai seorang pengangguran,” ujar Topan sambil mengumbar senyumnya. Sebatang rokok masih diapitnya di sela-sela jarinya. “Bukankah ideku ini brilliant, Damar? Mereka percaya jika aku benar-benar gila dan membawaku ke tempat ini.”
Bukan idenya yang brilliant, malah idenya bisa dibilang kelewat tolol! Tetapi tingkahnyalah yang luar biasa hebatnya sehingga mampu meyakinkan pihak keluarga dan orang sekampung kalau ia sudah benar-benar gila. Yang tak masuk akal lagi, ia bisa meyakinkan keluarganya untuk membawanya ke panti rehabilitasi seperti ini, bukan malah mengungkungnya di kamar paling belakang dengan kaki yang dirantai. Belum lagi, ia bisa meyakinkan pihak rumah sakit jika ia benar-benar sudah tak waras lagi.
Tetapi bukankah dunia memang sudah berisi kegilaan, pikir Damar. Tak ada seorang pun yang benar-benar tahu mana orang yang waras dan mana yang hanya mengaku waras, mana yang pura-pura gila dan mana yang benar-benar gila.
Entah bagaimana lelaki itu punya ideyang entah bisa dibilang—brilliant atau tolol seperti ini. Berpura-pura jadi gila hanya demi terbebas dari bahan pergunjingan tetangga dan dari status ‘sarjana pengangguran’.
Semenjak masuk ke panti rehabilitasi ini, Topan memang tak lagi dikenal sebagai sarjana pengangguran, melainkan sarjana yang gila. Baginya, gelar yang disandangnya saat ini lebih baik daripada saat ia masih dicap sebagai sarjana pengangguran. Entahlah, tetapi bagi seorang sarjana sepertinya menyandang status pengangguran itu jelas hal yang sangat memalukan.
“Apa kau yakin tak ingin berhenti berpura-pura gila dan keluar dari tempat ini?” bujuk Damar sekali lagi. Sudah tak lagi terhitung berapa kali Damar menanyakan hal ini kepada Topan.
Topan menggeleng. Ia menyesap lagi rokoknya yang tinggal setengah batang. “Aku sudah nyaman tinggal di sini.
Tapi cobalah perhatikan aku sekarang, Topan,” sela Damar. Sekarang aku adalah seorang manajer. Sekarang aku bisa menerimamu sebagai karyawan di tempat kerjaku. Kau tak perlu lagi tinggal di tempat seperti ini. Kau bisa mulai bekerja dan menjalani hidup normal seperti orang lain kebanyakan.”
“Hidup normal?” Topan tergelak hingga hampir-hampir terbatuk dibuatnya.Bagiku inilah kehidupan normalku, Damar. Bukankah kau sudah tahu jika aku amat mendambakan hidup yang tenang seperti ini?”
Damar menyesap rokoknya yang sudah amat pendek, lalu menjatuhkannya ke lantai dan menginjaknya. “Memang ketenangan apa yang kau dapatkan di tempat ini?”
“Pakaian, makanan, dan tempat tinggal sudah disediakan untukku di tempat ini dengan cuma-cuma. Jadi aku tak perlu memikirkan apa-apa lagi selain menikmati setiap udara yang kuhirup. Belum lagi di sini aku bisa melihat banyak hal yang menakjubkan. Nah, coba kau lihat di sebelah sana,” tunjuknya. “Tidakkah kau lihat naga itu benar-benar ada? Itu. Itu buktinya! Lalu, di sana. Coba kau lihat. Bajak laut itu benar-benar ada! Dan di sebelah sana, ada penyihir yang amat malas. Kerjaannya hanyalah mengupil saja seharian. Tidakkah semua hal yang menakjubkan itu hanya bisa didapatkan di tempat ini?”
Damar mengernyitkan kening. Sesungguhnya yang ia lihat sejak tadi hanyalah orang-orang yang berpakaian serupa dengan Topan. Mereka hanya manusia biasa. Naga yang ditunjuk Topan tadi bukanlah naga yang sebenarnya naga, melainkan seorang lelaki remaja yang berlari-larian sambil membungkukkan tubuhnya dan merentangkan kedua tangannya jauh ke depan. Lelaki itu memang berjalan sambil meliuk-liukkan tubuhnya. Tetapi tak mirip naga. Bagi Damar lelaki itu justru lebih menyerupai belut sawah.
Lalu, seorang bajak laut yang ditunjuk Topan pun hanyalah lelaki paruh baya yang berdiri pada sebuah pelantar sambil terus bertolak pinggang. Bahkan lelaki itu selalu berseru soal Flying Dutchman dan dendam kesumatnya. Dan untuk si penyihir? Damar hanya melihat perempuan paruh baya yang duduk bersandar di bawah pohon mangga. Kerjaannya memang hanya mengupil seharian. Tak lebih dan tak kurang. Tapi entah dari mana Topan bisa menilai jika ia adalah seorang penyihir. Bahkan tongkat sihir atau sapu terbang pun ia tak punya.
Jangan-jangan temanku ini sudah setengah gila, pikir Damar mulai benar-benar cemas, atau malah sudah benar-benar gila.
“Kenapa kau memandangiku seperti itu?” sergah Topan yang mulai merasa tak nyaman dengan tatapan Damar.
“Ah, tidak. Tidak apa. Aku hanya...”
“Pasti kau sedang berpikir jika aku ini benar-benar gila, kan?”
Damar membatu.
Topan tergelak. Ia menjatuhkan rokoknya yang tersisa kurang dari setengah batang, lalu menginjaknya tanpa sungkan. “Tenanglah, Damar. Aku ini belum benar-benar gila. Aku tahu bila mereka itu bukanlah seperti yang kukatakan tadi. Tak ada naga di sini. Juga tak ada bajak laut maupun penyihir. Yang ada hanya orang-orang sepertiku. Orang-orang gila!”
Damar masih bergeming. Topan masih tergelak. Seorang perawat wanita melintas di dekat mereka. Ia mengumbar senyumnya. Damar pun membalasnya.
“Ya sudah kalau begitu. Jika memang kau masih ingin di sini, maka aku tak bisa memaksamu,ujar Damar menyerah. Ia pun kemudian memutuskan untuk pamit. Tetapi, belum sempat Damar berbalik Topan sudah lebih dulu menghentikan niatnya.
Boleh kuminta rokokmu sebatang lagi?” pinta Topan tersenyum sipu. Tanpa berpikir lama, Damar pun mengambil bungkusan rokok dari saku calananya, lalu memberikannya kepada sahabatnya itu. Ambillah semua, katanya sambil melemparnya kepada Topan.
“Terima kasih, Damar. Kau memang teman baikku.” Topan tersenyum lebar. Dan sebentar kemudian Damar pun berlalu memunggungi Topan. Ia pun menghilang setelah melewati pintu berjeruji besi itu.
Sementara itu, Topan masih amat masyuk duduk di kursi anyaman dari bambu dan belum mengalihkan pandangannya dari arah perginya Damar. Kasihan dia, gumamnya sambil menarik sebatang rokok dari bungkusnya, coba kalau dia mau mengikuti ideku, pasti saat ini hidupnya akan lebih tenang seperti hidupku. Sebentar kemudian, ia pun mencari-cari keberadaan Si Naga.
“Hei naga! Kemarilah!” panggil Topan begitu mendapati naga yang tengah meliuk-liuk di dekat Si Penyihir. “Aku butuh api untuk merokok. Keluarkan sedikit apimu,” pintanya kemudian.
Naga itu mendongak, lalu membuka mulutnya. Sesaat kemudian menyemburlah api yang kemerahan dari sana. Apinya membumbung tinggi, serupa api unggun pada sebuah acara perkemahan. Dengan hati-hati, seolah takut ikut terbakar, Topan pun menyulut ujung rokoknya ke api itu. Setelah rokoknya menyala, Topan pun mengucapkan terima kasih dan meminta naga itu untuk pergi.
Memang lebih enak hidup jadi orang gila, gumamnya semringah seraya mengepulkan asap dari mulutnya penuh kelegaan.***

Bekasi, 30 November 2014

Catatan: Cerpen ini juga pernah dimuat di sastramu.com

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

4 Responses to [Cerpen] 1/2 Gila

  1. Setiap mendengar kisah Flying Dutchman ingetnya film spongebob :)

    Saya kira endingnya topan terbakar api sang naga :)
    cerpen yang menarik, trims sudah share

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih juga karena sudah bersedia membaca :)

      Hapus
  2. kelinci99
    Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
    HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
    NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
    Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
    Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
    segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
    yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
    yukk daftar di www.kelinci99.casino

    BalasHapus
  3. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.