Pandanganku
masih memaku pada hamparan laut yang tak lagi membiru, melainkan berwarna yang
senada dengan langit senja. Kerlap-kerlip keemasan tak ayal terbit di
permukaannya, seolah banyak permata yang mengapung di sana. Langit yang disaput
awan telah berwarna jingga seiring sang surya yang perlahan merendah.
Menciptakan siluet-siluet alam yang indah, seolah sebuah lukisan yang dibuat
langsung oleh tangan Tuhan. Aroma air laut yang khas tak urung lesap dari
hidungku tatkala angin terus berdesir menerpa. Deru ombak masih terdengar jelas
menghantam bebatuan karang yang berarak tak beraturan tepat di depanku. Lidah-lidah
ombak yang pecah ketika menghantam karang akan menjelma menjadi buliran kecil
dan melayang di udara, lalu terbawa oleh angin yang berhembus, sebelum akhirnya
menyergapku tepat dari arah depan. Hingga akhirnya angin laut itu
menyelubungiku dengan kehangatan yang mengular di sekujur tubuhku, lalu
kemudian mengendap dan berdenging di telingaku. Seolah angin laut tengah memelukku
seraya berbisik padaku; dia akan datang,
begitu katanya. Terus dan terus begitu bisiknya.
Kakiku
yang tak beralas belum kupindahkan dari pasir pantai yang lembut dan basah.
Sisa-sisa lidah ombak yang mampu melewati celah-celah bebatuan karang tak
jarang menjamahi kakiku yang telah meninggalkan jejak, sebelum akhirnya surut
kembali dan menyisakan buih-buih keputihan. Aku masih bersandar pada sebuah
batu karang yang hitam. Sebuah batu karang tempat kita dulu sering bercengkrama
dan berbagi rasa. Tempat di mana pertama kali aku melihatmu yang selalu
menyendiri. Kamu seperti mengasingkan diri dari kehidupan yang sudah sangat
asing ini. Bersandar dan menyendiri di tempat ini seolah tak lagi peduli dengan
sekitar, sebab kamu hanya memiliki sebuah tujuan. Dan tujuan itulah yang kini
menjadi alasanku berada di tempat ini. Menyendiri dan mengasingkan diri.
Masih
ingatkah kamu dengan janjimu itu, Geitsha? Aku harap kamu tak lupa, sebab aku
masih akan berada di sini sampai kamu menepati janjimu. Ya, janjimu. Janji yang
membuatku percaya dengan hal takhayul yang selalu kamu sebut itu sebagai cinta.
Apa
kamu lupa? Tidak. Kamu tidak boleh lupa Geitsha. Tidak boleh.
∞∞∞
Hari
itu, pertama kalinya bagiku menginjakkan kakiku di tanah Lombok. Dan aku begitu
takjub ketika mendapati sebuah pantai yang indah─yang kutahu bernama Pantai
Senggigi. Lautnya biru dengan ombak yang tak terlalu menerjang. Pasirnya putih
dengan bebatuan karangnya yang hitam. Namun, hal yang menarik perhatianku di
pantai ini adalah adanya sebuah pura yang berdiri di atas bebatuan karang hitam
yang besar dan menjorok ke laut. Pura yang diberi nama Pura Batu Bolong, sebab
pura itu berdiri di atas batu karang hitam yang besar dan memiliki bolong di
tengahnya seperti pintu sebuah goa. Sepintas, pura ini begitu mirip dengan pura
yang ada di Tanah Lot, Bali. Bahkan sejuta keindahan dan kedamaian di pura ini
pun sama menjanjikannya. Tak salah memang aku memilih tempat ini untuk
menepikan diriku sejenak dari penatnya Jakarta. Kota yang hanya menyodorkan
kegemerlapannya jika dilihat dari luar, namun hanya sebuah kenestapaan yang
didapat ketika terlanjur terjebak di dalamnya.
Kata
mereka, senja di tempat ini pun adalah salah satu senja terindah yang ada di
negeri ini. Menjadi salah satu senja yang paling dicari oleh banyak orang.
Entah mengapa ketika mendengar itu membuatku seolah menjadi orang yang gemar berburu
senja. Pindah dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk melihat senja,
memotretnya, lalu mengenangnya. Padahal semua senja sama; selalu berwarna
jingga.
Awalnya
kupikir perhatianku di tempat ini seutuhnya hanya akan terbagi pada semua itu. Namun,
rupanya aku salah. Tak kusangka, justru yang paling menarik perhatianku di
tempat ini adalah kamu yang selalu menyendiri di antara bebatuan karang tak
jauh dari pura itu berada. Kamu selalu berdiri dengan agak bersandar pada
sebuah batu karang, dan tak ubahnya seorang teman bagimu. Wajahmu tak pernah
teralihkan dari birunya laut. Tubuhmu tak pernah beranjak sejengkal pun dari
batu karang itu. Aku sempat bertanya-tanya; apa yang sebenarnya membuatmu
bersedia menyendiri dan betah berlama-lama berada di sana?
Pernah
kulihat beberapa anak kecil berlarian di sekitarmu tanpa pernah menganggap
keberadaanmu di sana. Mereka hanya berlari melewatimu begitu saja tanpa mau berbagi
senyum denganmu. Bahkan beberapa orang dewasa pun melakukan hal yang serupa.
Mereka berhenti di dekatmu, lalu berfoto dan saling tertawa di sana. Namun, tak
satu pun dari mereka yang mengacuhkan kehadiranmu hingga mereka beranjak pergi
kemudian. Kamu seperti orang yang terasingkan. Atau mungkin dapat kubilang
terkucilkan. Mungkin mereka melihatmu tak berbeda dengan bebatuan karang yang
berarak di tepian pantai. Tak bernilai dan hanya menjadi sebuah hiasan semata.
“Apa
yang membuatmu betah berlama-lama di tempat ini? Lautnya, anginnya, atau
pemandangannya?” tanyaku begitu kuputuskan untuk menghampirimu.
Kamu
menoleh padaku, namun hanya sebentar. Setelah itu kamu memandang lagi ke laut
lepas yang terbentang di depanmu.
Karena
kamu tak menjawabku, maka kuputuskan untuk mendekatimu lagi. Aku mendekat dan
bersandar pada batu karang yang sedang kamu sandarkan. Kita bersandar saling
berdekatan, bahkan lengan kita saling bersentuhan. Saat itu kurasakan kulitmu
begitu halus dan dingin. Sedingin sorot matamu yang sayu itu ketika menatapku
tadi.
Sejenak,
aku ikut memandangi hamparan laut yang membiru. Kulihat di sudut sana, di dekat
pura yang menjorok, dua orang lelaki tengah menceburkan diri mereka ke laut
sambil membawa jaring, sedangkan dua lelaki lainnya menunggu di atas perahu
sampan mereka. Kupikir saat itu mereka adalah nelayan tradisional yang sedang
berusaha menangkap ikan.
“Apa
yang sedang kamu tunggu?” tanyaku sekali lagi. “Senja atau sunset?”
“Bukankah
senja dan sunset sudah satu paket?”
Aku
berpikir sejenak. Sesaat kemudian aku pun tersenyum. Aku menertawai kebodohanku
sendiri.
“Lantas
apa yang membuatmu betah berada di sini?”
Lagi-lagi
kamu diam.
“Aku
menunggu kekasihku,” jawabmu kemudian. “Ia telah berjanji akan membawakanku
hadiah terindah di hari ulang tahunku nanti.”
“Kamu
akan berulang tahun? Kapan?”
“Tepat
satu minggu lagi.”
Satu
minggu lagi? aku membatin. Seingatku, aku pun akan berulang tahun satu minggu
lagi. Tetapi, bila berpatokan pada hari ini, maka hari ulang tahunku satu
minggu lebih tiga hari lagi.
“Kalau
masih satu minggu lagi, terus kenapa kamu sudah menunggunya sekarang? Apa kamu
enggak terlalu cepat menunggu?”
“Aku
ingin menyambutnya.”
“Menyambutnya?”
keningku mengernyit. “Memang seistimewa apa hadiahnya sampai-sampai kamu mau menyambutnya
dari jauh-jauh hari?”
Kamu
menghela napasmu sejenak. Embusan napasmu tak terdengar karena telah tersamar oleh
desau angin. “Sesuatu hal yang istimewa. Hanya dia yang bisa memberikan hal itu
kepadaku.” Kali ini kulihat bola matamu yang cokelat itu begitu jauh memandang ke
depan. Entah bermuara di mana.
Aku
semakin mengernyitkan keningku. Sesungguhnya obrolan ini membuat banyak
pertanyaan muncul di benakku. Seolah sebuah pertanyaan yang muncul mulai
beranak pinak dan memenuhi isi kepalaku. Lidah ombak lagi-lagi menubruk
bebatuan karang yang berarak hingga pecah. Beberapa masih dapat mengalir dari
sela-sela bebatuan karang hingga mampu menjamahi kaki kita berdua; kakimu tak
beralas, sedangkan kakiku beralaskan sandal jepit.
“Hanya
dia yang bisa memberikan? Apa kekasihmu seorang arkeolog yang akan memberikanmu
sepasang gading dari seekor mammoth,
atau kekasihmu seorang pesulap yang akan mengecilkan bulan, lalu akan
memberikannya padamu sebagai hadiah?” tukasku sedikit jengkel.
Kamu
diam. Sebelah tanganmu menyisikan sisi rambutmu yang hitam berkilat ke belakang
telingamu. Beberapa helainya masih tampak menari-nari oleh embusan angin. “Kamu
enggak akan mengerti. Sekalipun aku jelaskan kamu enggak akan mengerti.”
Aku
menghela napasku amat dalam. Pantas bila orang-orang itu tak ada yang mau
menyapamu. Andai kutahu akan begini jadinya, aku pun tak ‘kan sudi menyapamu. Kupikir
kamu adalah gadis yang rumit. Bahkan untuk menjawab pertanyaanku saja kamu
memberikan jawaban yang justru menimbulkan banyak pertanyaan lagi.
“Yaahh...
Aku rasa aku memang enggak bisa memahami gadis yang rumit sepertimu. Aku
pergi.”
Aku
pun melangkah menjauhimu. Kulihat beberapa orang tengah duduk di atas pasir
yang putih tanpa alas. Tubuh mereka basah dan dipenuhi oleh bintik-bintik pasir.
Kulihat dua anak kecil yang hanya mengenakan celana dalam sedang asyik berusaha
membangun istana pasir. Tetapi, yang jadi hanyalah gunungan pasir.
Sesaat
setelah kurasa cukup jauh memunggungimu, kuputuskan untuk menoleh sejenak ke
belakang. Kudapati jejak-jejak kakiku pada permukaan pasir yang putih. Dan kamu
masih belum beranjak sejengkal pun dari tempatmu berada. Garis wajahmu masih tampak
begitu tenang layaknya air danau yang berada di antara bukit-bukit terjal.
Seolah menunggu di tengah kesunyian sudah jadi hal yang biasa dalam hidupmu. Apa
yang sebenarnya kamu harapkan? Aku benar-benar tak mengerti denganmu.
∞∞∞
Entah
mengapa semenjak pertemuan kedua kita, aku merasa ingin selalu menemuimu. Bukan
karena kita sudah saling menyebutkan nama; kamu Geitsha dan aku Radam, tetapi
lebih kepada rasa penasaranku dengan hal yang kamu tunggu. Apalagi ketika kamu
semakin membuatku bingung dengan jawabanmu dari pertanyaanku waktu itu.
“Bagaimana
bila ternyata kekasihmu enggak datang juga? Apa kamu akan tetap menunggu dan
masih ingin menyambutnya di sini?”
“Kekasihku
memang enggak akan datang.”
Aku
mengernyitkan kening seraya menatapmu heran.
“Aku
tak menunggu raganya. Aku menunggu cintanya,” sambungmu. “Dia pernah berjanji
padaku, bila raganya sudah tak lagi ada di dunia ini, maka dia akan datang
padaku dengan raga yang lain. Tapi dengan cinta yang masih sama.”
Aku
sempat menahan tawa. “Apa kamu percaya dengan hal takhayul semacam itu?”
“Ya,
aku percaya.”
Lagi-lagi,
saat itu kulihat sebuah keyakinan terpancar kuat dari sorot matamu. Entah apa
yang bisa membuat matamu yang sayu itu begitu kuat memancarkan keyakinan.
Tetapi,
selain ingin menemukan maksud dari pernyataanmu waktu itu, niatku ingin sekali
bertemu denganmu karena aku juga ingin memberitahumu soal cerita yang baru saja
kudengar dari lelaki paruh baya yang kutemui di bar semalam. Katanya, setahun
yang lalu pernah ditemukan seorang gadis yang sudah tak bernyawa di tepi pantai
Senggigi, tak jauh dari Pura Batu Bolong. Dan katanya, gadis itu mati
kedinginan karena menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang. Aku sangat ingin
memberitahumu soal cerita itu. Entahlah, tapi ada sedikit rasa khawatir kepadamu
setelah aku mendengar cerita itu.
“Ya,
aku pernah mendengarnya,” jawabmu begitu mendengar ceritaku. Nadamu terdengar tenang,
seolah tak ada ketakutan dalam dirimu bila hal itu juga akan menimpamu kelak.
“Tapi
aku bingung. Bagaimana bisa gadis itu mati kedinginan di tempat seperti ini, bukankah
hypotermia biasanya menyerang mereka
yang berada di daerah pegunungan?”
“Mungkin
bukan dinginnya udara yang membunuhnya waktu itu,” sahutmu. “Dikecewakan itu
sangat jauh menyiksa. Bahkan bisa membuat jiwa seseorang kosong seketika. Mungkin
karena itu dia bisa mati kedinginan.”
“Jawaban
yang enggak masuk akal,” selaku tersenyum geli.
Aku
rasakan lagi air laut itu membasuh dan menggenangi kakiku. Semilir angin
beraromakan ari laut yang khas kembali menerpa. Kehangatan kurasakan mengular
di sekujur tubuhku. Sepasang remaja melintas di depan kita sambil bergandengan,
lalu mereka berhenti pada sebuah batu karang tak jauh dari tempat kita, dan mereka
saling mengambil gambar di sana.
“Aku
masih bingung. Sebenarnya apa yang membuatmu masih percaya untuk menunggu cintamu
itu?”
“Ketulusannya.
Kehangatannya.”
Aku
tersenyum geli. Sejujurnya, yang aku percaya bisa menghangatkan itu hanyalah
selimut dan segelas tequila.
Sedangkan untuk ketulusan? Aku sama sekali tak percaya soal ketulusan setelah
melihat kenyataan di dunia yang munafik ini. Dunia di mana orang-orang akan
marah karena tak mendapatkan sesuatu yang setimpal dari apa yang pernah
diberinya dulu.
“Memang
terdengar lucu,” sahutmu kemudian begitu menyadari jika aku menertawai
jawabanmu. “Tapi kamu akan tahu rasanya bila kamu sudah merasakannya nanti.”
“Maaf,
aku enggak percaya takhayul. Bagiku, cinta tulus yang kamu percayai itu
hanyalah sebuah takhayul. Enggak jauh beda seperti hantu.”
“Apa
kamu pernah melihat hantu?”
“Enggak
pernah. Belum.”
“Aku
yakin, suatu saat nanti kamu akan percaya dengan hal yang selama ini kamu
anggap takhayul,” ujarmu sambil tersenyum. Sebelah tanganmu menyisikan sisi
rambutmu ke belakang telingamu. Sejujurnya, aku selalu suka setiap kali kamu
melakukan itu, Geitsha.
“Yaaah...
coba saja,” jawabku yang menghela napas kemudian. Sepasang remaja tadi melintas
lagi di depan kita dan masih bergandengan, lalu mereka melangkah memunggungi
kita. Jejak-jejak kaki mereka tertinggal di permukaan pasir. Entah jejak-jejak
itu akan sampai di mana.
∞∞∞
Harus
kuakui Geitsha, kamu telah membuatku sedikit percaya dengan hal yang selama ini
kuanggap takhayul. Tentang ketulusan cinta dan kehangatannya. Ya, kamu boleh
menertawaiku saat ini karena kamu telah berhasil membuatku percaya dengan hal
itu. Bahkan aku sampai rela memperpanjang jadwal liburanku di sini hanya untuk
bisa menemanimu sampai di hari ulang tahunmu. Padahal uang tabunganku pun
tinggal sedikit.
Dan
hari itu adalah tepat hari ulang tahunmu, Geitsha. Ya, hari di mana kita berdua
kembali bersandar pada sebuah batu karang yang hitam. Ditemani dengan deburan
ombak, desir pasir, dan angin yang berdesau syahdu. Serta senantiasa menanti
senja melukiskan jingganya pada hamparan langit biru.
“Kenapa
kamu memilih ketulusan dan kehangatan cinta sebagai hadiah di hari ulang
tahunmu? Padahal semua itu enggak berwujud dan enggak berfisik. Sangat mudah
dimanipulasi dan dibuat-buat, kan?” tanyaku setelah kita sejak tadi lebih
banyak diam.
“Tak
ada nilai lebih dari sebuah benda bagiku. Semahal apa pun harganya, cepat atau
lambat benda itu akan rusak juga. Tapi, cinta lebih dari sekedar benda. Cinta yang
tulus tak akan pernah rusak. Bahkan sampai kita mati.”
Saat
itu aku melihat ada seberkas cahaya yang menaungi wajahmu. Sungguh, aku
benar-benar melihatnya. Wajahmu begitu bercahaya, pun dengan matamu. Kamu tahu
Geitsha, saat itu aku merasakan debar tak beraturan pada dada kiriku. Bahkan,
aku merasakan sebuah getaran mengular di sekujur tubuhku. Entahlah, tapi aku
benar-benar merasakan sensasi itu.
Entah
apa yang merasuki jiwaku saat itu. Sebelah tanganku bergerak dengan sendirinya
dan perlahan menghampiri tanganmu. Lalu tanganku menggenggam tanganmu tanpa
canggung, dan kamu membalasnya. Dari genggaman yang sederhana menjadi genggaman
erat penuh makna. Dan anehnya, saat itu tak ada lagi tangan yang dingin seperti
saat pertama kali kita saling berjabat tangan dan menyebutkan nama. Yang ada
hanyalah tangan yang halus dan penuh kehangatan.
“Geitsha,
bagaimana jika ternyata kehangatan dan ketulusan cinta yang bersamamu saat ini
bukanlah yang kamu tunggu selama ini?” tanyaku yang berusaha menyelaraskan otak
dan mulutku.
Kamu
tak segera menjawabnya. Kita hanya saling memandang. Kamu biarkan keheningan
menaungi kita. Kamu biarkan aku melucuti jiwamu lewat tatapanku. Dan tanpa
disadari kita telah saling bercinta lewat ruang kecil yang terhubung di antara
mata kita. Lalu kamu pun tersenyum simpul.
“Bukankah
ini senja yang indah?” sahutmu kemudian seraya mengalihkan matamu dariku.
Aku
memalingkan wajah. Aku menoleh sedikit ke kanan─ke arah tatapanmu berlari. Sungguh,
tak kusangka aku akan mendapati panorama seindah ini. Matahari telah berwarna
merah saga. Merubah langit kebiruan menjadi langit jingga. Larik-larik
semburatnya yang keemasan pun melintang sepanjang permukaan laut. Kerlap-kerlip
keemasan tak ayal terbit di permukaannya, seolah banyak permata yang mengapung
di sana. Siluet-siluet alam pun mulai bermunculan di kejauhan, seolah ada tangan
Tuhan yang tengah melukis di sana. Dan yang paling mengesankan, terlukislah
siluet Gunung Agung Bali─yang tak tersaput awan─tepat di sisi matahari yang
sebentar lagi akan merebah.
“Radam,”
sahutmu lirih yang seketika membuyarkan keheningan di antara kita. “Apa kamu bisa
merasakannya?”
Aku
diam sejenak─mencoba memastikan bila yang kamu maksud adalah kehangatan yang
kurasakan di sekujur tubuhku saat itu, dan berpusat di dadaku. Aku menatapmu
kemudian. Namun, seketika kurasakan jantungku mencelus ketika kudapati wajahmu
dinaungi oleh semerbak cahaya. Seperti bulan di kala purnama. Perlahan, sinar
itu mulai menyebar ke tangan hingga ke seluruh tubuhmu. Entahlah, tapi seperti
ada cahaya yang keluar dari pori-pori kulitmu. Wujudmu kini bak malaikat yang
sering kudengar dari cerita guru agamaku. Seketika aku kelu.
“Terima
kasih, Radam. Kamu telah memberikan kehangatan cinta dari kekasihku yang selama
ini kutunggu. Sekarang aku bisa pergi dari tempat ini,” ucapmu seraya tersenyum
simpul. Kamu menatapku penuh arti. Dan kita masih saling menggenggam. “Aku
telah mendapatkan hadiah terindah dalam hidupku. Senja dan juga kehangatan
cinta.”
Susah
payah aku ingin bersuara. Otak dan mulutku sangat sulit untuk diselaraskan. Namun,
akhirnya bibirku mampu bergerak juga. “A-apa kamu?”
“Ya,
Radam. Akulah gadis itu. Aku gadis yang mati di tempat ini karena menunggu cintaku
terlalu lama.”
“Ta-tapi,
kenapa? Kenapa kamu justru pergi ketika aku sudah mulai percaya?”
“Aku
hanya akan pergi untuk sebentar. Karena nanti aku akan kembali untukmu dengan
raga yang lain. Tapi dengan cinta yang sama.”
“Kamu
tahu kan bila aku sulit untuk percaya hal semacam itu.”
“Percayalah.
Seperti kamu mempercayai apa yang kamu rasakan ini.”
Saat
itu kurasakan damai di wajahmu begitu nyata. Bahkan sorot matamu semakin
membuatku sulit untuk bergerak. Sungguh Geitsha, saat itu aku merasa bila
kamulah yang lebih indah dari senja. Kamu lebih dari sekedar senja yang
kemudian menghilang dan berubah menjadi gelap.
Setelah
itu, perlahan tubuhmu mulai menjelma menjadi partikel-partikel kecil dan meruap
ke udara. Seperti butiran-butiran pasir yang perlahan terkikis dan tersapu oleh
angin. Kurasakan kehangatan dalam genggamanku pun semakin hilang. Rasanya aku
seperti menggenggam pasir yang semakin lama semakin berkurang. Hingga akhirnya
kamu benar-benar sirna dari pelupuk. Kamu telah meninggalkanku sendirian,
Geitsha. Meninggalkanku dalam keterasingan kita berdua.
∞∞∞
Itulah
terakhir kalinya aku melihatmu, Geitsha. Padahal, itu pertama kalinya aku bisa
merasakan sebuah kehangatan cinta. Apa ada sesuatu yang lebih menghangatkan
jiwa ketika kita bisa memandangi senja dan matahari yang terbenam bersama
dengan seseorang yang selalu membuat jantung kita berdebar? Aku rasa tidak ada,
Geitsha.
Kamu
tahu, saat ini aku masih bersandar pada bebatuan karang yang sama.
Bertelanjangkan kaki dan membiarkan sisa-sisa lidah ombak menjamahi kakiku ini.
Sambil memandangi lautan biru yang dihiasi oleh kerlap-kerlip keemasan pada
permukaannya, aku mau kamu mendengar ini Geitsha; aku percaya bila kamu akan datang. Aku percaya itu dan aku akan
menunggumu.
Ah,
tidak. Maksudku, aku akan menyambutmu. Di sini, di tempat yang sama.
“Apa
yang membuatmu betah berlama-lama di tempat ini? Lautnya, anginnya, atau batu
karangnya?” tiba-tiba saja terdengar suara seorang gadis yang sudah ada di
sampingku.
Sejenak,
aku menoleh padanya. “Aku menunggu kekasihku. Ia telah berjanji akan datang di
hari ulang tahunku.”
“Oh,
ya? Memang kapan ulang tahunmu?”
“Hari
ini.” ***
Catatan: Cerpen ini telah dibukukan ke dalam buku Antologi Kado Terindah, Kotak Kesadaran untuk Ibu (Leutikaprio, 2015)
hemm....
BalasHapushemm....
BalasHapusManfaat Buah Buahan
BalasHapusBahaya asap rokok pada kehamilan
Bahaya makanan pedas pada kehamilan
bagus gan ceritanya, mana lagi nih cerpen yg barunya?
BalasHapusNanti malam akan saya posting lagi cerpen barunya... Terima kasih ya sudah bersedia meluangkan waktu membaca cerpen ini :)
Hapuskelinci99
BalasHapusTogel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino
Keren ceritanya, mas!
BalasHapusMampir ke blog saya ya..mudah-mudahan bisa diberikan kritik dan sarannya ��