“Iya,
Ayana.”
“Ayah,
aku bosan selalu minum susu kedelai ini. Tak bisakah sesekali aku mencoba susu
sapi?”
“Tidak
boleh, Ayana. Apa kau mau menjadi monster api?”
Ayana
terdiam sejenak. “Tidak, Ayah.”
“Kalau
begitu habiskanlah susumu. Sebentar lagi jemputan sekolahmu akan datang.”
Dengan
wajah yang merajuk sebab keinginannya tak dituruti, gadis kecil itu pun meraih
segelas susu kedelai yang ada di depannya. Sambil menahan napas karena tak
begitu suka dengan bau langu dari kedelai yang begitu kentara, ia pun
mereguknya perlahan. Gadis kecil itu meminum susunya tak ubahnya orang yang
sedang menyelam tanpa tabung oksigen. Kadang Ayana akan berhenti sejenak untuk
sekedar mengambil napas, sebelum kembali mereguk susunya seraya menahan
napasnya lagi.
Ayahnya
memang tak pernah mengijinkan Ayana untuk meminum susu sapi. Katanya, bila
Ayana sampai meminum susu sapi, maka ia akan menjelma menjadi monster api.
Tubuhnya akan mengeluarkan bulu lebat berwarna merah menyala seperti api. Lalu,
ia akan mendesis seperti ular. Ayah akan selalu menceritakan hal itu setiap
kali Ayana merengek meminta susu sapi. Maka, setelah mendengar itu, Ayana pun akan
diam dan berhenti merengek. Ia tak mau berubah menjadi monster api. Untuk
itulah ia terpaksa selalu meminum susu kedelai yang sebenarnya bau dan rasannya tak begitu disukainya. Apalagi kadang rasa susu kedelai itu suka
tertinggal di merihnya.
“Ayah,
aku tak mau minum susu kedelai ini lagi. Rasanya tak terlalu enak,” keluh Ayana
seraya meletakkan gelasnya lagi ke atas meja. Sebelah tangannya menyeka
sisa-sisa susu yang menempel di sekitar mulutnya.
“Kalau
kau tak meminum susu, nanti kau tak bisa bertambah tinggi Ayana.”
“Tapi,
aku tidak suka dengan bau susu ini, Ayah. Rasanya juga agak aneh. Ayana tak
suka.”
Ayahnya
tak menjawab. Klakson mobil yang berbunyi dua kali terdengar tepat di depan
rumah. Pasti itu mobil jemputan sekolah Ayana.
“Aku
berangkat sekolah dulu ya, Ayah.” Ayana turun dari kursinya, mengambil tas punggung
berwarna merah jambunya yang disandarkan di kaki kursinya, lalu menghampiri
Ayahnya yang duduk di seberang mejanya. Dan ia lekas mencium tangan ayahnya.
“Ibu
masih tidur ya, Ayah?”
“Iya,
Ayana. Ibumu masih tidur. Berangkatlah sekarang.”
Ayana
pun berlari keluar dengan wajah riangnya. Langkah kecilnya menciptakan suara
tuk, tuk, tuk, dari sepatunya. Dan suara itu pun sirna seketika tatkala ia
menghilang di balik pintu. Suara mesin mobil yang menderum pun tak lama
terdengar, yang kemudian menjadi sayup-sayup hingga benar-benar hilang tak
dapat lagi terdengar oleh telinga. Seolah menjadi sebuah isyarat bagi ayahnya bila
Ayana telah berangkat menuju sekolahnya.
Angga
berhenti mengunyah sepotong roti isi menteganya sejenak. Dilihatnya susu
kedelai Ayana yang masih tersisa setengah gelas. Padahal biasanya Ayana selalu
meminumnya hingga tandas. Sementara itu roti isi mentega Ayana telah habis tak
tersisa hingga bersih piringnya. Apa Ayana memang sudah bosan dengan susu
kedelainya, batinnya bertanya.
“Apa
anak itu sudah berangkat sekolah?” tanya perempuan itu tatkala ia keluar dari
kamar dengan mata yang masih segaris. Rambut panjangnya yang kecokelatan itu kusut.
Jalannya pelan dan sempoyongan menuju meja makan.
Lelaki
itu melenguh. “Tak baik bila kau selalu bangun sesiang ini Marla. Seharusnya
kau bangun lebih pagi dariku.”
“Aku
akan bangun lebih pagi bila tak harus mengurusi anak itu.”
“Tak
bisakah kau menerima kehadirannya?”
“Apa
piring dan gelas ini adalah bekasnya tadi?” tanya perempuan itu yang tak
menanggapi ucapan suaminya. “Bereskan semua ini. Aku malas mencuci gelas dan
piringnya,” tampiknya serta merta.
Angga
menghela napasnya sejenak. Ia pun bangkit dari duduknya. Diangkatnya piring dan
gelas Ayana tadi. Lalu, ia membawanya ke bak cucian piring. Setelah
menyingsingkan lengan kemeja kerjanya, dengan senantiasa ia pun mencuci gelas
dan piring Ayana.
“Bahkan
untuk mencuci piringnya saja kau begitu malas. Sampai kapan kau akan seperti
ini?”
“Sudah
kukatakan bila aku tak mengharapkan kehadirannya. Apa kau belum mengerti juga?”
∞∞∞
Angga
tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi istrinya, Marla. Perempuan itu tak
bertindak selayaknya istri sebagaimana mestinya. Istri yang seharusnya mengurusi
suami, menyiapkan sarapan untuk suami, mencucikan pakaian suami, menuruti
permintaan suami, atau mendengarkan semua perkataan suami. Namun, ia tidak. Ia
lebih mirip seorang remaja perempuan yang belum menikah, belum bersuami. Remaja
yang masih menjadikan ‘mencari jati diri’ sebagai sebuah alasan untuk
membangkang dan melawan. Tak suka aturan. Arogan. Marla pun demikian. Bahkan ia
pun tak bertindak sebagai seorang Ibu sebagaimana mestinya. Menyiapkan sarapan
pagi untuk anaknya, menyambut anaknya pulang sekolah, membantu anaknya
mengerjakan PR sekolah, atau memberikan kecupan kepada anaknya di setiap malam
sebelum tidur. Ia tak pernah melakukan semua itu. Bahkan sejak Ayana bayi,
Marla tak pernah sekalipun mau mengurusinya. Semuanya─dari urusan besar hingga
tetek bengeknya─ia alihkan kepada suaminya, Angga.
“Tak
bisakah kau tinggal di rumah sehari saja? Sebentar lagi Ayana pulang sekolah.
Sambutlah dia sesekali.”
“Tak
bisa, Angga. Kau tahu kan sebentar lagi aku akan mewujudkan mimpiku. Tidakkah
kau akan bangga juga bila nantinya memiliki istri seorang pengusaha sepertiku?”
“Mengapa
kau repot-repot berbisnis dengan temanmu? Bukankah kau bisa membantuku
mengembangkan bisnisku.”
Marla
tak mengindahkan ucapan suaminya. Ia baru saja selesai mengenakan gincunya.
Bibirnya yang tebal itu pun kini terbalut warna merah muda yang menawan. Membuat
bibirnya tampak menggoda. Seperti jambu air yang baru ranum. Tak dapat ditampik
oleh Angga, bila bibirnya itulah salah satu daya pikatnya. Bahkan saat ini,
Angga masih mengagumi kecantikan istrinya itu dari tempat tidurnya.
Marla
beranjak dari meja riasnya. Ia berjalan ke sebuah kaca sebadan yang tersemat
pada pintu lemari bajunya, lalu ia berpose di sana. Bak model yang sedang
beraksi di depan kamera. Sambil bertolak pinggang, ia meliukkan tubuhnya ke
kanan dan ke kiri. Dilihatnya lekuk-lekuk tubuhnya yang masih kencang itu di
balik dress floralnya yang berwarna
dasar hitam. Tak ada lemak yang menumpuk di pinggang, perut, maupun lengannya.
Tubuhnya masih padat dan kencang seperti anak perawan yang belum pernah
dipinang. Kulitnya pun masih putih dan bersih laksana ratu yang selalu
bermandikan air susu.
Angga
membenarkan posisi duduknya. Ia menumpuk dua bantal di belakang punggungnya
untuk kemudian ia sandarkan. Kini hanya tubuh bagian bawahnya yang masih
terbungkus oleh selimutnya. Bagian atas tubuhnya ia biarkan bertelanjang dada
begitu saja. Seolah ia tak mempedulikan dinginnya udara di dalam kamarnya.
“Apa
kau harus berpakaian seperti ini setiap kali bertemu dengan teman-temanmu?”
Marla
berdecak. “Bukankah sudah kubilang bila sebentar lagi aku akan mewujudkan
mimpiku? Lagi pula tak salah bila aku selalu tampil seperti ini saat menemui
mereka. Mengingat aku yang ingin berbisnis di bidang fashion.”
“Mengapa
kau tak membantuku saja mengembangkan bisnisku? Dengan begitu kau bisa bekerja
dari dalam rumah. Aku pun tak perlu lagi menolak pertemuanku dengan klien demi
menyambut Ayana pulang sekolah.”
“Aku
tak suka berbisnis dibidang properti sepertimu. Aku lebih suka dengan bisnis
yang ingin kujalani saat ini.” Marla berhenti sejenak. Ia tengah duduk seraya
mengenakan wedgesnya. “Lagi pula, Aku
tak mau urusan karierku jadi terhalang hanya karena perkara seorang anak kecil.”
“Apa
sebegitu penting kariermu itu dibandingkan keluargamu? Bahkan demi karir kau
mengabaikan perintah suamimu sendiri.”
Marla
bangkit. Diraihnya tas tangan hitamnya dari atas meja rias. “Jaman sudah
berubah, Angga. Inilah emansipasi wanita, di mana wanita bisa menentukan
pilihannya sendiri. Kau tak bisa sembarangan membatasiku. Mengerti?” ujarnya
yang melengos dan pergi.
“Tak
bisakah kau tetap di sini sampai kita menyelesaikan pembicaraan ini?!”
Tak
ada jawaban yang didapatkan oleh Angga, kecuali sebuah bantingan pintu tatkala
Marla keluar kamar meninggalkannya.
Cih!
Apa tak mendengarkan kata suami juga termasuk dalam emansipasi wanita? Bukankah
itu lebih terlihat seperti sebuah bangkangan, umpat Angga membatin. Kini ia hanya
bisa duduk bersandar di atas tempat tidurnya. Menyesali dan meratapi sikap
Marla yang menjengkelkan itu.
Angga
tak habis pikir mengapa dulu ia bisa menikahi perempuan seperti Marla. Mungkin memang
benar jika dulu ia menikahinya hanya karena napsu semata, bukan karena cinta
seperti yang dikiranya. Memanglah benar apa kata orang, bila cinta dan napsu
sangat sukar dibedakan. Bahkan tak jarang mereka saling berjalan beriringan. Saling
membuntuti dan juga saling mendahului. Membuat manusia sering salah kaprah
dalam mengartikan apa yang dirasakannya saat itu; cinta atau napsukah.
Memang
tak bisa dipungkirinya bila Marla adalah perempuan yang begitu cantik dengan
tubuh yang menggoda. Bahkan dulu ia pun kepincut dengan Marla hanya dari sekali
tatapan saja. Kulitnya putih. Rambutnya hitam, lurus, dan panjang sepinggang.
Sorot matanya tajam dan binal. Alisnya melintang. Lehernya jenjang. Seluruh
bagian tubuhnya kencang hampir tak berlemak. Apalagi di bagian dada dan juga
perutnya yang begitu nyata lekuknya. Membuat lelaki mana pun akan langsung
berfantasi begitu memandangnya. Lelaki mana yang tak ingin memiliki Marla saat
itu?
Semua
itulah yang membuat Angga memutuskan untuk mendekati Marla tanpa perlu berpikir
dua kali lagi. Bahkan hanya dalam sekali perkenalan dalam sekali pertemuan
saja, Angga sudah bisa mendapatkan nama dan juga nomer ponselnya. Entahlah,
semua itu berjalan begitu cepat. Berjalan begitu saja. Seperti sebuah rutinitas
yang setiap hari dilakoninya. Bahkan Angga pun tak begitu ingat kalimat buaya
apa yang sudah diucapkannya kepada Marla sehingga ia bisa dengan mudah
mendapatkan nama dan nomer ponselnya.
Dan
semenjak perkenalan itulah hubungannya dengan Marla semakin dekat. Hingga
akhirnya ia memutuskan untuk menikahinya, walau belum genap enam bulan mereka
saling mengenal. Sebab yang ia rasakan, semua kriteria gadis idamannya sudah ada
pada Marla. Memang diakuinya bila saat itu kecantikan dan kemolekan tubuh Marla
benar-benar telah membiusnya. Bahkan sampai saat ini─sembilan tahun pernikahan
mereka berjalan─tak sedikit pun yang berubah dari Marla secara kasat mata. Ia
seperti dewi dari khayangan yang diilhami keabadian dan awet muda. Sejujurnya,
Angga pun merasa bangga memiliki istri sepertinya yang pandai merawat tubuh. Membuatnya
akan menegakkan kepala setiap kali menggandeng istrinya itu di mana pun mereka
berada. Bahkan, membuatnya tak pernah terbesit sedikit pun niat untuk berselingkuh.
Tetapi,
apa pentingnya semua kecantikannya itu bila kini Marla tak sedikit pun
menunaikan tugasnya sebagai seorang istri? Bahkan ada perasaan menyesal dalam
diri Angga karena telah menikahi perempuan itu. Tak seharusnya ia meninggalkan
orang yang telah mengasihinya dulu demi Marla. Penyesalan itu perlahan bangkit
kembali dalam dirinya. Merambat ke sekujur tubuhnya. Lalu, mengendap dan
mengasai kepalanya. Lebih-lebih penyesalan itu membuncahkan hatinya. Ia
tenggelam dalam masa lalunya. Tetapi buru-buru Angga menampiknya. Ia tak ingin
lagi mengingat-ingat masa lalunya. Bagian itu sudah dikuburnya dalam-dalam.
Bagaimanapun ia tak mau lagi menggali apa yang sudah dikuburnya dulu.
∞∞∞
“Ayana,
minumlah dulu susumu. Nanti kamu bisa sakit, nak.”
“Tidak
mau, Ayah. Ayana sehat kok. Ayana tak mau lagi minum susu kedelai ini.”
Lalu,
gadis kecil itu pun berlari dengan langkah kecilnya. Mengeluarkan suara, tuk,
tuk, tuk, dari sepatunya yang perlahan menghilang ketika sudah melewati pintu
depan.
Angga
menghela napasnya sejenak. Dialihkannya pandangannya dari pintu depan pada segelas
susu di dekatnya yang tak berkurang sedikit pun isinya. Sebelah tangannya
menjulur meraih gelas itu. Ia dekati bibir gelas itu ke hidungnya. Tak lama
wajahnya pun menekuk tatkala ia menghirup baunya. Benar kata Ayana, aromanya
memang agak aneh, batinnya yang baru menyadari. Tetapi, sambil mengabaikan
baunya yang agak aneh itu, direguknya kemudian susu itu hingga tandas.
Lagi-lagi, ialah yang harus menghabiskan susu Ayana.
Akhir-akhir
ini Ayana sudah tak mau lagi meminum susu kedelainya. Setiap pagi, ia hanya
menghabiskan sarapannya dan hanya meminum segelas air putih. Lalu, ia akan
berangkat sekolah tanpa menyentuh susu kedelainya lagi. Seminggu yang lalu,
Ayana memang sudah bilang bila ia tak mau lagi meminum susu kedelainya.
Katanya, ia sudah tak mau lagi meminum susu kedelai karena bosan. Apalagi,
rasanya yang aneh itu terus menempel di merihnya hingga ia sudah berada di
kelas. Membuatnya ingin membasahi merihnya dan memasukkan tangannya ke dalam
untuk menggosok-gosoknya agar rasa aneh itu dapat hilang segera. Angga sedikit
khawatir dengan hal itu. Apalagi mengingat Ayana yang tak pernah mendapati ASI
dari ibunya sejak kecil. Tentunya, ia perlu susu kedelai untuk pertumbuhan dan
daya tahan tubuhnya.
Angga
menghela napasnya lagi. Dikunyahnya sepotong roti isi menteganya yang hanya
tinggal setengah. Benaknya tak bisa berhenti memikirkan Ayana. Sesaat terdengar
suara mendenging yang begitu panjang dari sebuah teko yang tengah dipanaskannya
di atas kompor. Uap pun tampak menyembul deras dari mulut teko. Air yang
dipanaskannya telah mendidih. Namun, Angga tak kunjung beranjak dari tempatnya.
Perhatiannya masih terpusat pada putri kesayangannya. Sejujurnya ia masih
begitu mencemaskan putri kesayangannya itu. Ia tak ingin bila nanti Ayana nekat
meminum susu sapi hanya karena ia begitu penasaran dengan rasanya.
Di
tengah cemasnya, terbesit di benaknya untuk segera menelepon sekolah Ayana.
Dengan lekas, ia pun meraih ponsel dari saku celananya. Mencari kontak sekolah
anaknya. Lalu, segera menghubunginya. Ia ingin memastikan bila seluruh pihak
sekolah masih memperhatikan Ayana dengan baik. Ia juga ingin memastikan bila
seluruh guru di sekolah Ayana masih ingat betul pesannya; Ayana tak boleh
meminum susu sapi, sebab ia bisa menjadi monster api!
Tak
dikira, kecemasan Angga salah besar. Apa yang ditakutkannya tak terjadi di
sekolah Ayana. Tetapi, hal itu justru terjadi di rumahnya sendiri. Ketika sore
menjelang, Angga yang tengah bersantai menonton televisi di ruang tengah
mendadak terperanjat tatkala mendengar jeritan Marla dari dapur. Dengan
tergopoh-gopoh Angga pun segera berlari menuju dapur. Tak disangkanya, ia
mendapati Ayana yang tengah tersungkur di lantai dekat meja makan. Dengan lekas
Angga pun segera meraihnya.
Dalam
dekapannya, mata Ayana hanya tampak segaris. Peluh pun berderai di wajahnya. Tubuhnya
lunglai tak bertenaga. Dadanya kembang-kempis seiring napasnya yang
tersengal-sengal. Membuat napasnya terdengar mengeluarkan suara yang mendesis.
Tangannya penuh dengan bintik-bintin merah. Bahkan bintik-bintik itu menjalar
dengan cepat ke lehernya. Membuat kulit Ayana memerah seperti terbakar.
Membuatnya tampak seperti monster api.
Sesungguhnya
saat ini Angga benar-benar panik. Ia tak mengira bila hal ini akan menimpa
anaknya lagi. Sebelah tangannya masih terus menepuk-nepuk pelan pipi Ayana.
Suaranya bergetar memanggil-manggil namanya. Tetapi, Ayana tak sekalipun
menyahutnya. Bahkan napas gadis itu semakin terdengar berat. Peluhnya pun
semakin menumpuk di keningnya.
“Kenapa
dengan Ayana?” tanya Marla gemetar.
Angga
tak segera menjawab. Perhatiannya masih terpusat pada putrinya. Sesaat, ia
menatap ke meja makan yang tepat berada di sebelahnya. Dilihatnya sebuah benda
kotak berwarna putih yang tak asing baginya. Tanpa melepaskan Ayana dari
dekapannya, ia segera menjangkau benda itu.
“Apa
kau memberikan ini kepada Ayana?!”
“Ti-tidak.
A-aku tidak memberikannya. Aku menaruhnya tadi di dalam kulkas. Tapi saat ku
kembali susu kotakku sudah berada di tangan Ayana,” jawab Marla tergeragap.
“Bodoh!!”
umpat Angga serta merta. “Bukankah sudah kukatakan untuk tidak membawa makanan
dan minuman apa pun yang mengandung susu sapi ke rumah ini? Tidakkah kau
mendengarku?!”
“Ma-maafkan
aku, Angga. Tapi aku benar-benar lupa. Aku merasa sayang membuang susu kotak
yang tadi baru kuminum sedikit. Makanya tadi kubawa pulang dan kuletakkan di
kulkas.”
“Kau
memang istri yang tak becus! Sekarang lihat bagaimana kondisi Ayana? Aku pun
yakin kau lupa bila Ayana alergi pada susu sapi.”
“Ta-tapi
aku benar-benar lupa Angga. Aku lupa.”
Tanpa
mengindahkan penyesalan Marla, Angga pun segera membopong Ayana menuju mobil. Dengan
hanya mengenakan setelan kaos biru dan celana pendek hitamnya, ia pun segera
mengendarai mobilnya. Ia harus segera membawa Ayana menuju rumah sakit
terdekat. Bagaimanapun Ayana harus segera mendapatkan pertolongan. Ia tak mau
bila sampai ada reaksi penyumbatan saluran pernapasan dalam diri anaknya. Sebab
bila itu terjadi maka, anaphylaxis sudah
menyerang anaknya untuk yang kedua kalinya. Dan itu berarti nyawa Ayana
benar-benar sudah di ujung kuku.
Dalam
sekejap, Xenia hitam itu pun melaju menguasai jalanan. Lajunya cepat membelah
senja yang kala itu baru saja melukiskan jingganya di langit biru. Padatnya
jalanan sore itu seolah tak jadi halangan bagi Angga. Klakson mobilnya selalu
ia bunyikan. Mobilnya ia pacu begitu kencangnya. Sesungguhnya Angga tak ingin
bila Ayana harus menyusul ibunya karena kelalaiannya sebagai seorang Ayah.
Sudah cukup rasanya ia menderita karena kelalaiannya yang juga sebagai seorang
suami. Sudah cukup juga ia menanggung dosa karena ketidak becusannya di masa
lalu.
Bertahanlah,
Ayana. Kau tak boleh mati sekarang. Janji Ayah adalah menjagamu sampai kau
dewasa, nak. Sampai waktumu untuk tahu siapa ibumu. Bila nanti kau mati maka,
apa yang harus kukatakan kepada Anaya nanti? Apa yang bisa Ayah katakan kepada
ibumu nanti?! Tak disadarinya buliran bening pun terbit di sudut matanya.
Namun, dengan lekas ia menyekanya. Kecemasan telah mengalir di pembuluh
darahnya. Membuat ingatan di masa lalunya kembali menghantuinya. Tetapi,
sekarang bukan waktunya untuk membuka kembali ingatan itu. Bukan waktunya.
∞∞∞
Baru
saja Angga menginjakkan kakinya di rumah sakit, sebuah tamparan sera merta
menyambutnya. Murka ibunya telah menjadi ucapan selamat datang yang berdenging
di telinganya. Bahkan orangtua Anaya hanya bisa terisak di dekat tubuh anaknya
yang telah terbujur kaku di sana─terbaring di atas tempat tidurnya. Kala itu wajah
Anaya tampak berseri. Tak ada sedikit pun kesakitan atau keletihan yang tersirat
pada garis mukanya yang tampak damai. Padahal baru saja ia menghabiskan
tenaganya untuk mengeluarkan bayi yang telah bersemayam dalam perutnya selama
sembilan bulan lamanya. Tetapi, tak sedikit pun hilang seberkas cahaya dari
wajahnya.
“Dasar
suami tak tahu diuntung, kau! Sadar istrimu mengandung, tapi kau malah bermain
dengan perempuan lain!”
Angga
tak bersuara. Air mukanya memelas penuh penyesalan. Masih dirasakannya nyeri
pada pipinya. Tangan ibunya begitu keras menamparnya.
“Tak
tahukah kau bagaimana istrimu begitu mengharapkan kehadiranmu? Tapi sampai ia
menutup matanya pun kau tak datang. Tak kukira aku bisa melahirkan manusia tak
berhati sepertimu! Bahkan bisa kutebak, bila kau baru saja pulang dari bersenang-senang
dengan istri keduamu itu, iya kan?!”
Ibunya
terus mengumpat. Suaranya lantang meruap ke segala arah. Matanya terbelalak
seolah bola matanya hendak keluar. Uratnya menyembul nyata dari balik kulit
lehernya yang telah dipenuhi kerutan. Beberapa suster jaga melihat ke arahnya
terheran-heran. Tetapi, perempuan paruh baya itu terus saja menghardik anaknya
tanpa peduli pada sekitar.
Angga
hanya bergeming. Ia tak pernah sekalipun membalas. Suara ibunya terus
berdenging di telinganya. Tangannya terus memukul-mukul wajah dan bagian
tubuhnya yang lain. Tetapi, Angga tetap bergeming. Ia menerima semua perlakuan
dari ibunya dengan suka hati. Sudah cukup memang ia membantah kata-kata
orangtuanya. Disadarinya penyesalan yang amat dalam di hatinya.
Perlahan
ia angkat lagi wajahnya setelah ibunya tak lagi memukulinya. Ia memandang jauh
ke belakang ibunya yang masih mencercanya habis-habisan. Di balik pintu yang
terbuka itu, matanya menatap nanar pada istrinya yang telah terbaring tak
bernyawa di sana. Tubuhnya yang kurus itu semakin mirip dengan papan kayu
ketika sudah terbujur kaku. Tetapi, Wajahnya yang putih itu tampak berseri dan
tersenyum. Sungguh, baru kali ini Angga menyadari bila wajah istrinya itu
begitu damai dan menenangkan ketika sedang terlelap. Bagaimana bisa ia
melewatkan semua itu hingga akhirnya takdir memisahkan mereka.
Sejujurnya,
baru kali ini Angga mau memerhatikan wajah istrinya yang tengah terpejam.
Bahkan selama mereka menikah, tak pernah sekalipun Angga menyisakan waktunya
untuk memandangi istrinya yang tengah terlelap. Sebab ia memang tak pernah
tidur di rumahnya. Sekalipun tidur di rumah, ia tak tidur satu kamar dengan
Anaya. Ia hanya pernah tidur dengan Anaya di malam pertama mereka. Hanya itu,
saja. Selebihnya, Angga lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah.
Bersenang-senang dengan wanita lain.
Penyesalan
tersirat nyata dari sorot matanya yang sayu memandangi istrinya di sana.
Membuat dadanya sesak setiap kali mengingat semua perlakuannya. Bahkan hingga
akhir napasnya, perempuan itu masih juga mengharapkan kehadirannya.
Anaya
memang tak cantik. Tak juga berbadan aduhai. Sungguh, tak ada yang bisa
dibanggakan dari dirinya. Matanya bulat. Alisnya tipis dan melintang. Hidungnya
mungil. Dagunya meruncing. Bibirnya tipis. Kulitnya putih. Badannya tak
berlemak, juga tak berdaging. Bahkan tubuhnya benar-benar seperti papan tatkala
Angga melihat seutuhnya di malam pertama mereka. Ia memang hanya perempuan
biasa pada umumnya. Perempuan yang tak memiliki daya tarik lebih di matanya. Atau
mungkin di mata lelaki lainnya. Sangat jauh bila dibandingkan dengan Marla,
perempuan yang dinikahinya dua bulan lalu. Ya, sangat jauh berbeda.
Napsunya
sebagai lelaki yang mendambakan istri rupawan dan berbadan aduhai membuat
pernikahannya dengan Anaya terasa hambar. Apalagi pernikahan mereka terjadi
karena sebuah perjodohan. Kecemasan orangtuanya dengan Angga yang suka pulang
malam dan gonta-ganti pasangan membuat mereka menjodohkan Angga dengan Ayana─anak
dari teman sejawat Ibu Angga. Namun, rupanya harapan orangtuanya yang berharap
Angga akan dapat berubah ketika sudah menikah benar-benar meleset jauh. Angga
justru semakin menjadi-jadi. Ia masih sering pulang larut dan tak mempedulikan
Anaya selayaknya seorang istri.
Karena
tak mendapatkan istri seperti yang didambakannya, pada akhirnya Angga pun
menikah lagi dengan perempuan yang jauh lebih terlihat sempurna. Dambaan setiap
pria. Dan perempuan itu adalah Marla. Perempuan yang baru dikenalnya tak kurang
enam bulan lamanya. Sejak itulah, Angga seperti menelantarkan Anaya. Ia hanya
menafkahinya, tetapi tak pernah mau menganggapnya sebagai istri. Bahkan untuk
tidur bersamanya pun ia enggan. Dan selama Anaya mengandung, Angga tak pernah
peduli dan mengurusinya. Ia tak pernah mengantarkan Anaya untuk memeriksakan
kandungannya, membelikan susu untuk kehamilannya, atau sekedar membelikannya
makanan yang bervitamin untuk Ibu hamil. Angga tak pernah melakukan itu. Bahkan
saat itu nasib Anaya bisa dibilang tak seberuntung istri simpanan pejabat yang
bergelimpangan harta. Bermandikan emas. Berumahkan istana. Dan masih banjir
perhatian.
Tetapi,
entah bagaimana, perasaan yang dulu tak pernah tumbuh dalam diri Angga seketika
lahir begitu saja. Rasa kehilangan yang amat dalam ketika ia mendapati kabar istrinya
telah tiada. Entahlah, Angga pun tak mengerti mengapa hatinya dapat berubah
begitu saja. Apa ini bukti bila hati manusia begitu mudah rapuhnya? Apalagi
ketika ia memandangi istrinya yang telah terbaring tak bergerak di sana.
Membuatnya kembali teringat dengan seluruh perlakuan Anaya kepadanya. Sungguh
perlakuan yang berbeda. Anaya tak pernah terlambat membuatkan sarapan untuknya.
Ia selalu bangun lebih pagi darinya sekalipun usia kandungannya sudah besar.
Bahkan, setiap kali Angga pulang larut, tak pernah ditemuinya meja makannya
dalam keadaan kosong. Selalu ada makanan kesukaannya di sana. Sayur tumis
kangkung dan tempe goreng. Perempuan itu tak pernah lupa mencuci pakaiannya.
Bahkan Anaya selalu merapikan kamar tidur di mana Angga lebih memilih tidur di
sana dibandingkan tidur bersamanya di kamar yang semestinya.
Angga
merasakan sesak di dadanya. Rasanya seperti dihunjam oleh sebuah jarum. Sakit
yang amat kecil. Tetapi, terasa begitu perih tatkala sebuah jarum itu
menghunjam ribuan kali banyaknya. Rasa yang begitu menyiksanya. Rasa sakit itu
perlahan berubah menjadi kehampaan. Ia merasakan kekosongan dalam hatinya.
Seperti tak lagi dapat merasakan apa itu marah, apa itu sedih, apa itu senang,
dan apa itu cinta. Ia tak bisa lagi merasakan semua itu. Membuatnya seolah tak
lagi hidup selayaknya manusia. Bisakah kau bayangkan bagaimana hidup dalam
sebuah kehampaan seperti itu? Bahkan orang gila pun masih bisa merasakan apa
itu senang dan bahagia hingga ia masih bisa tertawa lepas sesukanya.
“Anakmu
perempuan, Angga. Dia sangat cantik dan mirip seperti ibunya.”
Dari
balik kaca, Angga menatap anaknya yang baru saja lahir itu lekat-lekat. Anak
itu tampak lucu dan menggemaskan. Bayi itu kini tengah terlelap bersama dengan
kain yang melingkari tubuhnya. Ya, anak ini memang begitu mirip dengan ibunya.
Tak disadarinya, sebuah senyum tersungging di wajahnya. Wajah bayi itu benar-benar
mengingatkannya kepada istrinya, Anaya yang telah tiada.
“Siapa
namanya, Ayah?”
“Anaya
belum memberikannya nama. Sebelum meninggal, istrimu sempat berpesan agar kau
yang memberikan nama untuk anak kalian.” Ayahnya menghela napasnya sejenak.
“Tidakkah kau lihat bakti istrimu? Bahkan untuk menamai anaknya pun, ia
serahkan kepadamu.”
Angga
tertegun. Lagi-lagi, ada yang retak di dalam dirinya. Sesuatu yang tak berfisik,
tapi begitu nyata terasa. Penyesalan seketika merambat di sekujur tubuhnya.
Menjalar masuk melalui pembuluh darahnya. Lalu, mengendap di rongga-rongga
relung hatinya. Sungguh, penyesalannya itu telah membuat hatinya sakit. Rasa
sakit yang lebih cepat menjalar daripada bisa ular. Rasa sakit yang lebih sakit
daripada sebuah sayatan samurai. Inikah rasanya hati yang terluka? Beginikah
perasaan Anaya selama ini kepadanya? Sesakit inikah perasaannya saat itu?
Bagaimana bisa ia menahan rasa sakit yang amat dalam seperti ini begitu lama?
Sungguh, perasaan sakit ini membuat Angga tak dapat bernapas dengan lega.
Dadanya terasa amat sesak. Bagian terdalamnya terasa amat sakit. Seperti ada
tombak yang menghunjam jantungnya. Lalu, mengoyak-ngoyaknya dari dalam hingga
benar-benar hancur berantakan.
Angga
tak mau lagi merasakan sakit ini. Ia tak mau mengulang hal yang serupa kepada
anaknya nanti. Ia tak mau lagi.
“Akan
kunamakan anakku, Ayana, Ayah. Ayana Putri Sekar Wangi.”
Ayahnya
tersenyum simpul hingga muncul kerutan di sudut bibirnya. “Nama yang bagus.
Lalu, siapa nama panggilannya?”
“Ayana.
Agar aku selalu ingat dengan ibunya, Anaya.”
∞∞∞
Ayana
masih terpejam dalam ketidaksadarannya. Air masih menitik dari botol infus,
mengisi selang yang ujungnya tersemat di pergelangan tangan mungilnya. Di
sisinya, Angga masih terjaga menunggunya agar bisa melihat senyum indah anaknya
lagi. Sebelah tangannya masih terus menggenggam tangan mungil Ayana. Matanya yang
telah kering dari derai air mata itu tak lekang memandangi anaknya penuh harap.
Dan senyumnya pun seketika mengembang, tatkala ia mendapati Ayana telah bisa
membuka matanya.
“Ayah?”
“Kau
sudah bangun, Ayana?”
Ayana
mengangguk kecil. Angga tersenyum lengkung seraya membelai lembut rambut Ayana.
“Ayah,
aku tak mau lagi minum susu sapi. Menjadi monster api benar-benar tak enak.
Ayana berasa sesak napas. Ayana mau minum susu kedelai saja,” sesal gadis itu
lirih.
Angga
tersenyum simpul. Tak dipungkirinya bila perasaannya begitu lega ketika dapat
mendengar celotehan anaknya lagi. Tangan kirinya masih membelai rambut Ayana,
dan tangan kanannya masih terus menggenggam tangan mungil anaknya.
“Ayah,
Ibu mana?”
“Ibumu
masih di rumah, Ayana.”
“Ibu
masih malu ya, Ayah?”
Ayahnya
tersenyum seraya mengangguk kecil. “Tapi kau tak perlu khawatir. Ada Ayah yang
akan selalu di dekatmu. Ayah tak ‘kan pernah meninggalkanmu lagi walau hanya
sebentar.”
“Ayana
tak khawatir, Ayah. Tadi sudah ada yang selalu menemani Ayana.”
“Oh,
ya? Siapa yang menemani Ayana selain Ayah?” tanya Ayah seraya tersenyum
penasaran.
“Ada,
Ayah. Nama perempuan itu mirip dengan nama Ayana. Namanya... Anaya.”
***
Baru mampir langsung nyaman sama tulisannya, nggak sia-siap baca daritadi :)
BalasHapuswww.fikrimaulanaa.com
thanks udah mau mampir dan ngebaca tulisan gue :)
HapusKeren ceritnya, ada lanjutannya lagi ga? Haha
BalasHapusAda, tapi beda judul :p
Hapus