[Cerpen] AYANA

(gambar: www.bodyrock.tv)
“Ayah, apa ini susu kedelai lagi?”
“Iya, Ayana.”
“Ayah, aku bosan selalu minum susu kedelai ini. Tak bisakah sesekali aku mencoba susu sapi?”
“Tidak boleh, Ayana. Apa kau mau menjadi monster api?”
Ayana terdiam sejenak. “Tidak, Ayah.”
“Kalau begitu habiskanlah susumu. Sebentar lagi jemputan sekolahmu akan datang.”
Dengan wajah yang merajuk sebab keinginannya tak dituruti, gadis kecil itu pun meraih segelas susu kedelai yang ada di depannya. Sambil menahan napas karena tak begitu suka dengan bau langu dari kedelai yang begitu kentara, ia pun mereguknya perlahan. Gadis kecil itu meminum susunya tak ubahnya orang yang sedang menyelam tanpa tabung oksigen. Kadang Ayana akan berhenti sejenak untuk sekedar mengambil napas, sebelum kembali mereguk susunya seraya menahan napasnya lagi.
Ayahnya memang tak pernah mengijinkan Ayana untuk meminum susu sapi. Katanya, bila Ayana sampai meminum susu sapi, maka ia akan menjelma menjadi monster api. Tubuhnya akan mengeluarkan bulu lebat berwarna merah menyala seperti api. Lalu, ia akan mendesis seperti ular. Ayah akan selalu menceritakan hal itu setiap kali Ayana merengek meminta susu sapi. Maka, setelah mendengar itu, Ayana pun akan diam dan berhenti merengek. Ia tak mau berubah menjadi monster api. Untuk itulah ia terpaksa selalu meminum susu kedelai yang sebenarnya bau dan rasannya tak begitu disukainya. Apalagi kadang rasa susu kedelai itu suka tertinggal di merihnya.
“Ayah, aku tak mau minum susu kedelai ini lagi. Rasanya tak terlalu enak,” keluh Ayana seraya meletakkan gelasnya lagi ke atas meja. Sebelah tangannya menyeka sisa-sisa susu yang menempel di sekitar mulutnya.
“Kalau kau tak meminum susu, nanti kau tak bisa bertambah tinggi Ayana.”
“Tapi, aku tidak suka dengan bau susu ini, Ayah. Rasanya juga agak aneh. Ayana tak suka.”
Ayahnya tak menjawab. Klakson mobil yang berbunyi dua kali terdengar tepat di depan rumah. Pasti itu mobil jemputan sekolah Ayana.
“Aku berangkat sekolah dulu ya, Ayah.” Ayana turun dari kursinya, mengambil tas punggung berwarna merah jambunya yang disandarkan di kaki kursinya, lalu menghampiri Ayahnya yang duduk di seberang mejanya. Dan ia lekas mencium tangan ayahnya.
“Ibu masih tidur ya, Ayah?”
“Iya, Ayana. Ibumu masih tidur. Berangkatlah sekarang.”
Ayana pun berlari keluar dengan wajah riangnya. Langkah kecilnya menciptakan suara tuk, tuk, tuk, dari sepatunya. Dan suara itu pun sirna seketika tatkala ia menghilang di balik pintu. Suara mesin mobil yang menderum pun tak lama terdengar, yang kemudian menjadi sayup-sayup hingga benar-benar hilang tak dapat lagi terdengar oleh telinga. Seolah menjadi sebuah isyarat bagi ayahnya bila Ayana telah berangkat menuju sekolahnya.
Angga berhenti mengunyah sepotong roti isi menteganya sejenak. Dilihatnya susu kedelai Ayana yang masih tersisa setengah gelas. Padahal biasanya Ayana selalu meminumnya hingga tandas. Sementara itu roti isi mentega Ayana telah habis tak tersisa hingga bersih piringnya. Apa Ayana memang sudah bosan dengan susu kedelainya, batinnya bertanya.
“Apa anak itu sudah berangkat sekolah?” tanya perempuan itu tatkala ia keluar dari kamar dengan mata yang masih segaris. Rambut panjangnya yang kecokelatan itu kusut. Jalannya pelan dan sempoyongan menuju meja makan.
Lelaki itu melenguh. “Tak baik bila kau selalu bangun sesiang ini Marla. Seharusnya kau bangun lebih pagi dariku.”
“Aku akan bangun lebih pagi bila tak harus mengurusi anak itu.”
“Tak bisakah kau menerima kehadirannya?”
“Apa piring dan gelas ini adalah bekasnya tadi?” tanya perempuan itu yang tak menanggapi ucapan suaminya. “Bereskan semua ini. Aku malas mencuci gelas dan piringnya,” tampiknya serta merta.
Angga menghela napasnya sejenak. Ia pun bangkit dari duduknya. Diangkatnya piring dan gelas Ayana tadi. Lalu, ia membawanya ke bak cucian piring. Setelah menyingsingkan lengan kemeja kerjanya, dengan senantiasa ia pun mencuci gelas dan piring Ayana.
“Bahkan untuk mencuci piringnya saja kau begitu malas. Sampai kapan kau akan seperti ini?”
“Sudah kukatakan bila aku tak mengharapkan kehadirannya. Apa kau belum mengerti juga?”
∞∞∞
Angga tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi istrinya, Marla. Perempuan itu tak bertindak selayaknya istri sebagaimana mestinya. Istri yang seharusnya mengurusi suami, menyiapkan sarapan untuk suami, mencucikan pakaian suami, menuruti permintaan suami, atau mendengarkan semua perkataan suami. Namun, ia tidak. Ia lebih mirip seorang remaja perempuan yang belum menikah, belum bersuami. Remaja yang masih menjadikan ‘mencari jati diri’ sebagai sebuah alasan untuk membangkang dan melawan. Tak suka aturan. Arogan. Marla pun demikian. Bahkan ia pun tak bertindak sebagai seorang Ibu sebagaimana mestinya. Menyiapkan sarapan pagi untuk anaknya, menyambut anaknya pulang sekolah, membantu anaknya mengerjakan PR sekolah, atau memberikan kecupan kepada anaknya di setiap malam sebelum tidur. Ia tak pernah melakukan semua itu. Bahkan sejak Ayana bayi, Marla tak pernah sekalipun mau mengurusinya. Semuanya─dari urusan besar hingga tetek bengeknya─ia alihkan kepada suaminya, Angga.
“Tak bisakah kau tinggal di rumah sehari saja? Sebentar lagi Ayana pulang sekolah. Sambutlah dia sesekali.”
“Tak bisa, Angga. Kau tahu kan sebentar lagi aku akan mewujudkan mimpiku. Tidakkah kau akan bangga juga bila nantinya memiliki istri seorang pengusaha sepertiku?”
“Mengapa kau repot-repot berbisnis dengan temanmu? Bukankah kau bisa membantuku mengembangkan bisnisku.”
Marla tak mengindahkan ucapan suaminya. Ia baru saja selesai mengenakan gincunya. Bibirnya yang tebal itu pun kini terbalut warna merah muda yang menawan. Membuat bibirnya tampak menggoda. Seperti jambu air yang baru ranum. Tak dapat ditampik oleh Angga, bila bibirnya itulah salah satu daya pikatnya. Bahkan saat ini, Angga masih mengagumi kecantikan istrinya itu dari tempat tidurnya.
Marla beranjak dari meja riasnya. Ia berjalan ke sebuah kaca sebadan yang tersemat pada pintu lemari bajunya, lalu ia berpose di sana. Bak model yang sedang beraksi di depan kamera. Sambil bertolak pinggang, ia meliukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Dilihatnya lekuk-lekuk tubuhnya yang masih kencang itu di balik dress floralnya yang berwarna dasar hitam. Tak ada lemak yang menumpuk di pinggang, perut, maupun lengannya. Tubuhnya masih padat dan kencang seperti anak perawan yang belum pernah dipinang. Kulitnya pun masih putih dan bersih laksana ratu yang selalu bermandikan air susu.
Angga membenarkan posisi duduknya. Ia menumpuk dua bantal di belakang punggungnya untuk kemudian ia sandarkan. Kini hanya tubuh bagian bawahnya yang masih terbungkus oleh selimutnya. Bagian atas tubuhnya ia biarkan bertelanjang dada begitu saja. Seolah ia tak mempedulikan dinginnya udara di dalam kamarnya.
“Apa kau harus berpakaian seperti ini setiap kali bertemu dengan teman-temanmu?”
Marla berdecak. “Bukankah sudah kubilang bila sebentar lagi aku akan mewujudkan mimpiku? Lagi pula tak salah bila aku selalu tampil seperti ini saat menemui mereka. Mengingat aku yang ingin berbisnis di bidang fashion.”
“Mengapa kau tak membantuku saja mengembangkan bisnisku? Dengan begitu kau bisa bekerja dari dalam rumah. Aku pun tak perlu lagi menolak pertemuanku dengan klien demi menyambut Ayana pulang sekolah.”
“Aku tak suka berbisnis dibidang properti sepertimu. Aku lebih suka dengan bisnis yang ingin kujalani saat ini.” Marla berhenti sejenak. Ia tengah duduk seraya mengenakan wedgesnya. “Lagi pula, Aku tak mau urusan karierku jadi terhalang hanya karena perkara seorang anak kecil.”
“Apa sebegitu penting kariermu itu dibandingkan keluargamu? Bahkan demi karir kau mengabaikan perintah suamimu sendiri.”
Marla bangkit. Diraihnya tas tangan hitamnya dari atas meja rias. “Jaman sudah berubah, Angga. Inilah emansipasi wanita, di mana wanita bisa menentukan pilihannya sendiri. Kau tak bisa sembarangan membatasiku. Mengerti?” ujarnya yang melengos dan pergi.
“Tak bisakah kau tetap di sini sampai kita menyelesaikan pembicaraan ini?!”
Tak ada jawaban yang didapatkan oleh Angga, kecuali sebuah bantingan pintu tatkala Marla keluar kamar meninggalkannya.
Cih! Apa tak mendengarkan kata suami juga termasuk dalam emansipasi wanita? Bukankah itu lebih terlihat seperti sebuah bangkangan, umpat Angga membatin. Kini ia hanya bisa duduk bersandar di atas tempat tidurnya. Menyesali dan meratapi sikap Marla yang menjengkelkan itu.
Angga tak habis pikir mengapa dulu ia bisa menikahi perempuan seperti Marla. Mungkin memang benar jika dulu ia menikahinya hanya karena napsu semata, bukan karena cinta seperti yang dikiranya. Memanglah benar apa kata orang, bila cinta dan napsu sangat sukar dibedakan. Bahkan tak jarang mereka saling berjalan beriringan. Saling membuntuti dan juga saling mendahului. Membuat manusia sering salah kaprah dalam mengartikan apa yang dirasakannya saat itu; cinta atau napsukah.
Memang tak bisa dipungkirinya bila Marla adalah perempuan yang begitu cantik dengan tubuh yang menggoda. Bahkan dulu ia pun kepincut dengan Marla hanya dari sekali tatapan saja. Kulitnya putih. Rambutnya hitam, lurus, dan panjang sepinggang. Sorot matanya tajam dan binal. Alisnya melintang. Lehernya jenjang. Seluruh bagian tubuhnya kencang hampir tak berlemak. Apalagi di bagian dada dan juga perutnya yang begitu nyata lekuknya. Membuat lelaki mana pun akan langsung berfantasi begitu memandangnya. Lelaki mana yang tak ingin memiliki Marla saat itu?
Semua itulah yang membuat Angga memutuskan untuk mendekati Marla tanpa perlu berpikir dua kali lagi. Bahkan hanya dalam sekali perkenalan dalam sekali pertemuan saja, Angga sudah bisa mendapatkan nama dan juga nomer ponselnya. Entahlah, semua itu berjalan begitu cepat. Berjalan begitu saja. Seperti sebuah rutinitas yang setiap hari dilakoninya. Bahkan Angga pun tak begitu ingat kalimat buaya apa yang sudah diucapkannya kepada Marla sehingga ia bisa dengan mudah mendapatkan nama dan nomer ponselnya.
Dan semenjak perkenalan itulah hubungannya dengan Marla semakin dekat. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menikahinya, walau belum genap enam bulan mereka saling mengenal. Sebab yang ia rasakan, semua kriteria gadis idamannya sudah ada pada Marla. Memang diakuinya bila saat itu kecantikan dan kemolekan tubuh Marla benar-benar telah membiusnya. Bahkan sampai saat ini─sembilan tahun pernikahan mereka berjalan─tak sedikit pun yang berubah dari Marla secara kasat mata. Ia seperti dewi dari khayangan yang diilhami keabadian dan awet muda. Sejujurnya, Angga pun merasa bangga memiliki istri sepertinya yang pandai merawat tubuh. Membuatnya akan menegakkan kepala setiap kali menggandeng istrinya itu di mana pun mereka berada. Bahkan, membuatnya tak pernah terbesit sedikit pun niat untuk berselingkuh.
Tetapi, apa pentingnya semua kecantikannya itu bila kini Marla tak sedikit pun menunaikan tugasnya sebagai seorang istri? Bahkan ada perasaan menyesal dalam diri Angga karena telah menikahi perempuan itu. Tak seharusnya ia meninggalkan orang yang telah mengasihinya dulu demi Marla. Penyesalan itu perlahan bangkit kembali dalam dirinya. Merambat ke sekujur tubuhnya. Lalu, mengendap dan mengasai kepalanya. Lebih-lebih penyesalan itu membuncahkan hatinya. Ia tenggelam dalam masa lalunya. Tetapi buru-buru Angga menampiknya. Ia tak ingin lagi mengingat-ingat masa lalunya. Bagian itu sudah dikuburnya dalam-dalam. Bagaimanapun ia tak mau lagi menggali apa yang sudah dikuburnya dulu.
∞∞∞
“Ayana, minumlah dulu susumu. Nanti kamu bisa sakit, nak.”
“Tidak mau, Ayah. Ayana sehat kok. Ayana tak mau lagi minum susu kedelai ini.”
Lalu, gadis kecil itu pun berlari dengan langkah kecilnya. Mengeluarkan suara, tuk, tuk, tuk, dari sepatunya yang perlahan menghilang ketika sudah melewati pintu depan.
Angga menghela napasnya sejenak. Dialihkannya pandangannya dari pintu depan pada segelas susu di dekatnya yang tak berkurang sedikit pun isinya. Sebelah tangannya menjulur meraih gelas itu. Ia dekati bibir gelas itu ke hidungnya. Tak lama wajahnya pun menekuk tatkala ia menghirup baunya. Benar kata Ayana, aromanya memang agak aneh, batinnya yang baru menyadari. Tetapi, sambil mengabaikan baunya yang agak aneh itu, direguknya kemudian susu itu hingga tandas. Lagi-lagi, ialah yang harus menghabiskan susu Ayana.
Akhir-akhir ini Ayana sudah tak mau lagi meminum susu kedelainya. Setiap pagi, ia hanya menghabiskan sarapannya dan hanya meminum segelas air putih. Lalu, ia akan berangkat sekolah tanpa menyentuh susu kedelainya lagi. Seminggu yang lalu, Ayana memang sudah bilang bila ia tak mau lagi meminum susu kedelainya. Katanya, ia sudah tak mau lagi meminum susu kedelai karena bosan. Apalagi, rasanya yang aneh itu terus menempel di merihnya hingga ia sudah berada di kelas. Membuatnya ingin membasahi merihnya dan memasukkan tangannya ke dalam untuk menggosok-gosoknya agar rasa aneh itu dapat hilang segera. Angga sedikit khawatir dengan hal itu. Apalagi mengingat Ayana yang tak pernah mendapati ASI dari ibunya sejak kecil. Tentunya, ia perlu susu kedelai untuk pertumbuhan dan daya tahan tubuhnya.
Angga menghela napasnya lagi. Dikunyahnya sepotong roti isi menteganya yang hanya tinggal setengah. Benaknya tak bisa berhenti memikirkan Ayana. Sesaat terdengar suara mendenging yang begitu panjang dari sebuah teko yang tengah dipanaskannya di atas kompor. Uap pun tampak menyembul deras dari mulut teko. Air yang dipanaskannya telah mendidih. Namun, Angga tak kunjung beranjak dari tempatnya. Perhatiannya masih terpusat pada putri kesayangannya. Sejujurnya ia masih begitu mencemaskan putri kesayangannya itu. Ia tak ingin bila nanti Ayana nekat meminum susu sapi hanya karena ia begitu penasaran dengan rasanya.
Di tengah cemasnya, terbesit di benaknya untuk segera menelepon sekolah Ayana. Dengan lekas, ia pun meraih ponsel dari saku celananya. Mencari kontak sekolah anaknya. Lalu, segera menghubunginya. Ia ingin memastikan bila seluruh pihak sekolah masih memperhatikan Ayana dengan baik. Ia juga ingin memastikan bila seluruh guru di sekolah Ayana masih ingat betul pesannya; Ayana tak boleh meminum susu sapi, sebab ia bisa menjadi monster api!
Tak dikira, kecemasan Angga salah besar. Apa yang ditakutkannya tak terjadi di sekolah Ayana. Tetapi, hal itu justru terjadi di rumahnya sendiri. Ketika sore menjelang, Angga yang tengah bersantai menonton televisi di ruang tengah mendadak terperanjat tatkala mendengar jeritan Marla dari dapur. Dengan tergopoh-gopoh Angga pun segera berlari menuju dapur. Tak disangkanya, ia mendapati Ayana yang tengah tersungkur di lantai dekat meja makan. Dengan lekas Angga pun segera meraihnya.
Dalam dekapannya, mata Ayana hanya tampak segaris. Peluh pun berderai di wajahnya. Tubuhnya lunglai tak bertenaga. Dadanya kembang-kempis seiring napasnya yang tersengal-sengal. Membuat napasnya terdengar mengeluarkan suara yang mendesis. Tangannya penuh dengan bintik-bintin merah. Bahkan bintik-bintik itu menjalar dengan cepat ke lehernya. Membuat kulit Ayana memerah seperti terbakar. Membuatnya tampak seperti monster api.
Sesungguhnya saat ini Angga benar-benar panik. Ia tak mengira bila hal ini akan menimpa anaknya lagi. Sebelah tangannya masih terus menepuk-nepuk pelan pipi Ayana. Suaranya bergetar memanggil-manggil namanya. Tetapi, Ayana tak sekalipun menyahutnya. Bahkan napas gadis itu semakin terdengar berat. Peluhnya pun semakin menumpuk di keningnya.
“Kenapa dengan Ayana?” tanya Marla gemetar.
Angga tak segera menjawab. Perhatiannya masih terpusat pada putrinya. Sesaat, ia menatap ke meja makan yang tepat berada di sebelahnya. Dilihatnya sebuah benda kotak berwarna putih yang tak asing baginya. Tanpa melepaskan Ayana dari dekapannya, ia segera menjangkau benda itu.
“Apa kau memberikan ini kepada Ayana?!”
“Ti-tidak. A-aku tidak memberikannya. Aku menaruhnya tadi di dalam kulkas. Tapi saat ku kembali susu kotakku sudah berada di tangan Ayana,” jawab Marla tergeragap.
“Bodoh!!” umpat Angga serta merta. “Bukankah sudah kukatakan untuk tidak membawa makanan dan minuman apa pun yang mengandung susu sapi ke rumah ini? Tidakkah kau mendengarku?!”
“Ma-maafkan aku, Angga. Tapi aku benar-benar lupa. Aku merasa sayang membuang susu kotak yang tadi baru kuminum sedikit. Makanya tadi kubawa pulang dan kuletakkan di kulkas.”
“Kau memang istri yang tak becus! Sekarang lihat bagaimana kondisi Ayana? Aku pun yakin kau lupa bila Ayana alergi pada susu sapi.”
“Ta-tapi aku benar-benar lupa Angga. Aku lupa.”
Tanpa mengindahkan penyesalan Marla, Angga pun segera membopong Ayana menuju mobil. Dengan hanya mengenakan setelan kaos biru dan celana pendek hitamnya, ia pun segera mengendarai mobilnya. Ia harus segera membawa Ayana menuju rumah sakit terdekat. Bagaimanapun Ayana harus segera mendapatkan pertolongan. Ia tak mau bila sampai ada reaksi penyumbatan saluran pernapasan dalam diri anaknya. Sebab bila itu terjadi maka, anaphylaxis sudah menyerang anaknya untuk yang kedua kalinya. Dan itu berarti nyawa Ayana benar-benar sudah di ujung kuku.
Dalam sekejap, Xenia hitam itu pun melaju menguasai jalanan. Lajunya cepat membelah senja yang kala itu baru saja melukiskan jingganya di langit biru. Padatnya jalanan sore itu seolah tak jadi halangan bagi Angga. Klakson mobilnya selalu ia bunyikan. Mobilnya ia pacu begitu kencangnya. Sesungguhnya Angga tak ingin bila Ayana harus menyusul ibunya karena kelalaiannya sebagai seorang Ayah. Sudah cukup rasanya ia menderita karena kelalaiannya yang juga sebagai seorang suami. Sudah cukup juga ia menanggung dosa karena ketidak becusannya di masa lalu.
Bertahanlah, Ayana. Kau tak boleh mati sekarang. Janji Ayah adalah menjagamu sampai kau dewasa, nak. Sampai waktumu untuk tahu siapa ibumu. Bila nanti kau mati maka, apa yang harus kukatakan kepada Anaya nanti? Apa yang bisa Ayah katakan kepada ibumu nanti?! Tak disadarinya buliran bening pun terbit di sudut matanya. Namun, dengan lekas ia menyekanya. Kecemasan telah mengalir di pembuluh darahnya. Membuat ingatan di masa lalunya kembali menghantuinya. Tetapi, sekarang bukan waktunya untuk membuka kembali ingatan itu. Bukan waktunya.
∞∞∞
Baru saja Angga menginjakkan kakinya di rumah sakit, sebuah tamparan sera merta menyambutnya. Murka ibunya telah menjadi ucapan selamat datang yang berdenging di telinganya. Bahkan orangtua Anaya hanya bisa terisak di dekat tubuh anaknya yang telah terbujur kaku di sana─terbaring di atas tempat tidurnya. Kala itu wajah Anaya tampak berseri. Tak ada sedikit pun kesakitan atau keletihan yang tersirat pada garis mukanya yang tampak damai. Padahal baru saja ia menghabiskan tenaganya untuk mengeluarkan bayi yang telah bersemayam dalam perutnya selama sembilan bulan lamanya. Tetapi, tak sedikit pun hilang seberkas cahaya dari wajahnya.
“Dasar suami tak tahu diuntung, kau! Sadar istrimu mengandung, tapi kau malah bermain dengan perempuan lain!”
Angga tak bersuara. Air mukanya memelas penuh penyesalan. Masih dirasakannya nyeri pada pipinya. Tangan ibunya begitu keras menamparnya.
“Tak tahukah kau bagaimana istrimu begitu mengharapkan kehadiranmu? Tapi sampai ia menutup matanya pun kau tak datang. Tak kukira aku bisa melahirkan manusia tak berhati sepertimu! Bahkan bisa kutebak, bila kau baru saja pulang dari bersenang-senang dengan istri keduamu itu, iya kan?!”
Ibunya terus mengumpat. Suaranya lantang meruap ke segala arah. Matanya terbelalak seolah bola matanya hendak keluar. Uratnya menyembul nyata dari balik kulit lehernya yang telah dipenuhi kerutan. Beberapa suster jaga melihat ke arahnya terheran-heran. Tetapi, perempuan paruh baya itu terus saja menghardik anaknya tanpa peduli pada sekitar.
Angga hanya bergeming. Ia tak pernah sekalipun membalas. Suara ibunya terus berdenging di telinganya. Tangannya terus memukul-mukul wajah dan bagian tubuhnya yang lain. Tetapi, Angga tetap bergeming. Ia menerima semua perlakuan dari ibunya dengan suka hati. Sudah cukup memang ia membantah kata-kata orangtuanya. Disadarinya penyesalan yang amat dalam di hatinya.
Perlahan ia angkat lagi wajahnya setelah ibunya tak lagi memukulinya. Ia memandang jauh ke belakang ibunya yang masih mencercanya habis-habisan. Di balik pintu yang terbuka itu, matanya menatap nanar pada istrinya yang telah terbaring tak bernyawa di sana. Tubuhnya yang kurus itu semakin mirip dengan papan kayu ketika sudah terbujur kaku. Tetapi, Wajahnya yang putih itu tampak berseri dan tersenyum. Sungguh, baru kali ini Angga menyadari bila wajah istrinya itu begitu damai dan menenangkan ketika sedang terlelap. Bagaimana bisa ia melewatkan semua itu hingga akhirnya takdir memisahkan mereka.
Sejujurnya, baru kali ini Angga mau memerhatikan wajah istrinya yang tengah terpejam. Bahkan selama mereka menikah, tak pernah sekalipun Angga menyisakan waktunya untuk memandangi istrinya yang tengah terlelap. Sebab ia memang tak pernah tidur di rumahnya. Sekalipun tidur di rumah, ia tak tidur satu kamar dengan Anaya. Ia hanya pernah tidur dengan Anaya di malam pertama mereka. Hanya itu, saja. Selebihnya, Angga lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah. Bersenang-senang dengan wanita lain.
Penyesalan tersirat nyata dari sorot matanya yang sayu memandangi istrinya di sana. Membuat dadanya sesak setiap kali mengingat semua perlakuannya. Bahkan hingga akhir napasnya, perempuan itu masih juga mengharapkan kehadirannya.
Anaya memang tak cantik. Tak juga berbadan aduhai. Sungguh, tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Matanya bulat. Alisnya tipis dan melintang. Hidungnya mungil. Dagunya meruncing. Bibirnya tipis. Kulitnya putih. Badannya tak berlemak, juga tak berdaging. Bahkan tubuhnya benar-benar seperti papan tatkala Angga melihat seutuhnya di malam pertama mereka. Ia memang hanya perempuan biasa pada umumnya. Perempuan yang tak memiliki daya tarik lebih di matanya. Atau mungkin di mata lelaki lainnya. Sangat jauh bila dibandingkan dengan Marla, perempuan yang dinikahinya dua bulan lalu. Ya, sangat jauh berbeda.
Napsunya sebagai lelaki yang mendambakan istri rupawan dan berbadan aduhai membuat pernikahannya dengan Anaya terasa hambar. Apalagi pernikahan mereka terjadi karena sebuah perjodohan. Kecemasan orangtuanya dengan Angga yang suka pulang malam dan gonta-ganti pasangan membuat mereka menjodohkan Angga dengan Ayana─anak dari teman sejawat Ibu Angga. Namun, rupanya harapan orangtuanya yang berharap Angga akan dapat berubah ketika sudah menikah benar-benar meleset jauh. Angga justru semakin menjadi-jadi. Ia masih sering pulang larut dan tak mempedulikan Anaya selayaknya seorang istri.
Karena tak mendapatkan istri seperti yang didambakannya, pada akhirnya Angga pun menikah lagi dengan perempuan yang jauh lebih terlihat sempurna. Dambaan setiap pria. Dan perempuan itu adalah Marla. Perempuan yang baru dikenalnya tak kurang enam bulan lamanya. Sejak itulah, Angga seperti menelantarkan Anaya. Ia hanya menafkahinya, tetapi tak pernah mau menganggapnya sebagai istri. Bahkan untuk tidur bersamanya pun ia enggan. Dan selama Anaya mengandung, Angga tak pernah peduli dan mengurusinya. Ia tak pernah mengantarkan Anaya untuk memeriksakan kandungannya, membelikan susu untuk kehamilannya, atau sekedar membelikannya makanan yang bervitamin untuk Ibu hamil. Angga tak pernah melakukan itu. Bahkan saat itu nasib Anaya bisa dibilang tak seberuntung istri simpanan pejabat yang bergelimpangan harta. Bermandikan emas. Berumahkan istana. Dan masih banjir perhatian.
Tetapi, entah bagaimana, perasaan yang dulu tak pernah tumbuh dalam diri Angga seketika lahir begitu saja. Rasa kehilangan yang amat dalam ketika ia mendapati kabar istrinya telah tiada. Entahlah, Angga pun tak mengerti mengapa hatinya dapat berubah begitu saja. Apa ini bukti bila hati manusia begitu mudah rapuhnya? Apalagi ketika ia memandangi istrinya yang telah terbaring tak bergerak di sana. Membuatnya kembali teringat dengan seluruh perlakuan Anaya kepadanya. Sungguh perlakuan yang berbeda. Anaya tak pernah terlambat membuatkan sarapan untuknya. Ia selalu bangun lebih pagi darinya sekalipun usia kandungannya sudah besar. Bahkan, setiap kali Angga pulang larut, tak pernah ditemuinya meja makannya dalam keadaan kosong. Selalu ada makanan kesukaannya di sana. Sayur tumis kangkung dan tempe goreng. Perempuan itu tak pernah lupa mencuci pakaiannya. Bahkan Anaya selalu merapikan kamar tidur di mana Angga lebih memilih tidur di sana dibandingkan tidur bersamanya di kamar yang semestinya.
Angga merasakan sesak di dadanya. Rasanya seperti dihunjam oleh sebuah jarum. Sakit yang amat kecil. Tetapi, terasa begitu perih tatkala sebuah jarum itu menghunjam ribuan kali banyaknya. Rasa yang begitu menyiksanya. Rasa sakit itu perlahan berubah menjadi kehampaan. Ia merasakan kekosongan dalam hatinya. Seperti tak lagi dapat merasakan apa itu marah, apa itu sedih, apa itu senang, dan apa itu cinta. Ia tak bisa lagi merasakan semua itu. Membuatnya seolah tak lagi hidup selayaknya manusia. Bisakah kau bayangkan bagaimana hidup dalam sebuah kehampaan seperti itu? Bahkan orang gila pun masih bisa merasakan apa itu senang dan bahagia hingga ia masih bisa tertawa lepas sesukanya.
“Anakmu perempuan, Angga. Dia sangat cantik dan mirip seperti ibunya.”
Dari balik kaca, Angga menatap anaknya yang baru saja lahir itu lekat-lekat. Anak itu tampak lucu dan menggemaskan. Bayi itu kini tengah terlelap bersama dengan kain yang melingkari tubuhnya. Ya, anak ini memang begitu mirip dengan ibunya. Tak disadarinya, sebuah senyum tersungging di wajahnya. Wajah bayi itu benar-benar mengingatkannya kepada istrinya, Anaya yang telah tiada.
“Siapa namanya, Ayah?”
“Anaya belum memberikannya nama. Sebelum meninggal, istrimu sempat berpesan agar kau yang memberikan nama untuk anak kalian.” Ayahnya menghela napasnya sejenak. “Tidakkah kau lihat bakti istrimu? Bahkan untuk menamai anaknya pun, ia serahkan kepadamu.”
Angga tertegun. Lagi-lagi, ada yang retak di dalam dirinya. Sesuatu yang tak berfisik, tapi begitu nyata terasa. Penyesalan seketika merambat di sekujur tubuhnya. Menjalar masuk melalui pembuluh darahnya. Lalu, mengendap di rongga-rongga relung hatinya. Sungguh, penyesalannya itu telah membuat hatinya sakit. Rasa sakit yang lebih cepat menjalar daripada bisa ular. Rasa sakit yang lebih sakit daripada sebuah sayatan samurai. Inikah rasanya hati yang terluka? Beginikah perasaan Anaya selama ini kepadanya? Sesakit inikah perasaannya saat itu? Bagaimana bisa ia menahan rasa sakit yang amat dalam seperti ini begitu lama? Sungguh, perasaan sakit ini membuat Angga tak dapat bernapas dengan lega. Dadanya terasa amat sesak. Bagian terdalamnya terasa amat sakit. Seperti ada tombak yang menghunjam jantungnya. Lalu, mengoyak-ngoyaknya dari dalam hingga benar-benar hancur berantakan.
Angga tak mau lagi merasakan sakit ini. Ia tak mau mengulang hal yang serupa kepada anaknya nanti. Ia tak mau lagi.
“Akan kunamakan anakku, Ayana, Ayah. Ayana Putri Sekar Wangi.”
Ayahnya tersenyum simpul hingga muncul kerutan di sudut bibirnya. “Nama yang bagus. Lalu, siapa nama panggilannya?”
“Ayana. Agar aku selalu ingat dengan ibunya, Anaya.”
∞∞∞
Ayana masih terpejam dalam ketidaksadarannya. Air masih menitik dari botol infus, mengisi selang yang ujungnya tersemat di pergelangan tangan mungilnya. Di sisinya, Angga masih terjaga menunggunya agar bisa melihat senyum indah anaknya lagi. Sebelah tangannya masih terus menggenggam tangan mungil Ayana. Matanya yang telah kering dari derai air mata itu tak lekang memandangi anaknya penuh harap. Dan senyumnya pun seketika mengembang, tatkala ia mendapati Ayana telah bisa membuka matanya.
“Ayah?”
“Kau sudah bangun, Ayana?”
Ayana mengangguk kecil. Angga tersenyum lengkung seraya membelai lembut rambut Ayana.
“Ayah, aku tak mau lagi minum susu sapi. Menjadi monster api benar-benar tak enak. Ayana berasa sesak napas. Ayana mau minum susu kedelai saja,” sesal gadis itu lirih.
Angga tersenyum simpul. Tak dipungkirinya bila perasaannya begitu lega ketika dapat mendengar celotehan anaknya lagi. Tangan kirinya masih membelai rambut Ayana, dan tangan kanannya masih terus menggenggam tangan mungil anaknya.
“Ayah, Ibu mana?”
“Ibumu masih di rumah, Ayana.”
“Ibu masih malu ya, Ayah?”
Ayahnya tersenyum seraya mengangguk kecil. “Tapi kau tak perlu khawatir. Ada Ayah yang akan selalu di dekatmu. Ayah tak ‘kan pernah meninggalkanmu lagi walau hanya sebentar.”
“Ayana tak khawatir, Ayah. Tadi sudah ada yang selalu menemani Ayana.”
“Oh, ya? Siapa yang menemani Ayana selain Ayah?” tanya Ayah seraya tersenyum penasaran.
“Ada, Ayah. Nama perempuan itu mirip dengan nama Ayana. Namanya... Anaya.”

***

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

4 Responses to [Cerpen] AYANA

  1. Baru mampir langsung nyaman sama tulisannya, nggak sia-siap baca daritadi :)

    www.fikrimaulanaa.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. thanks udah mau mampir dan ngebaca tulisan gue :)

      Hapus
  2. Keren ceritnya, ada lanjutannya lagi ga? Haha

    BalasHapus

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.