Tubuhku
mendadak kaku. Napasku terasa amat berat. Jantungku berderu tak beraturan. Inginku
meronta tapi saraf otakku seolah terasa mati. Bahkan aku begitu sulit untuk
menjerit. Hariku yang tenang mendadak mencekam karena ulah jahil temanku yang tiba-tiba
saja mengalungiku benda hidup ini. Benda hidup yang menjijikkan! Benda hidup
melata yang paling kubenci!
Benda hidup ini melengkari leherku. Kulitnya berwarna
kuning ke-emasan. Otot-otot tubuhnya terasa nyata bergerak lambat pada
tengkukku. Membuatku bergidik jijik. Berkali-kali aku berusaha mengatur napasku
ketika kepalanya yang berbentuk segitiga itu bergerak-gerak tak tahu arah di
bahuku. Sialan! Aku hanya tak ingin digigit! Aku hanya tak ingin digigitnya, batinku
panik setengah mati. Mataku selalu mengawasi kepalanya agar aku bisa terus
waspada. Sedangkan matanya yang bulat itu seolah selalu mengintai, siap
menyerangku. Aku benar-benar tak ingin merasakan gigitannya!
Tapi, di tengah panikku sempat kudengar temanku berbisik:
“Tenang.
Tenang. Jangan panik. Kalau kau tak panik, maka dia tak ‘kan menyerangmu.
Kuncinya adalah jangan panik.”
Bagaimana bisa orang yang sudah meletakkan benda hidup menjijikkan
di leherku ini justru menyuruhku untuk tenang? Orang ini dengan sengaja mengganggu
jam istirahatku di ruang sekretariat Himpunan Mahasiswa Jurnalistik. Dasar
orang gila!
Tapi,
entah mengapa perlahan aku menuruti perintahnya. Mungkin karena kepanikanku
yang membuatku mau mendengarkannya. Mulai kutarik napasku pelan-pelan dan amat
dalam, lalu kuembuskan lagi setelahnya. Jantungku yang sempat memburu perlahan
kembali normal lagi. Hanya satu yang belum; aku masih merasakan kaku dan dingin
di sekujur tubuhku.
Kurasakan tangannya menyentuh lenganku. Ia sedikit
memberi dorongan pada lenganku, tapi aku melawannya. Ia berbisik lagi padaku.
“Sudah, tenang saja, tenang. Percaya saja kepadaku.”
Kali ini ia menggenggam pergelangan tanganku. Aku ikuti
ke mana ia membawanya. Tapi, sesaat kemudian aku menarik napas dalam-dalam lagi
ketika tanganku mulai dibawanya mendekati kepala makhluk menjijikkan itu.
Sambil berulang kali membisikkan kata ‘tenang’ di telingaku, ia terus membimbing
tanganku untuk menyentuhnya.
Tak kusangka kini tanganku menggetilnya! Jantungku sempat
memburu lagi, tapi itu tak berlangsung lama. Karena setelah itu tanpa kusadari
kepala makhluk itu sudah berada di antara ibu jari dan telunjukku. Antara
percaya tak percaya─senang sekaligus aneh─benda hidup yang selama ini menjijikkan
dan begitu menakutkan buatku kini berada dalam genggamanku. Aku menatap temanku
dengan perasaan setengah takut sekaligus aneh. Ia tersenyum renyah padaku.
“Tidak semua ular berbahaya. Ular ini contohnya. Ball Phyton, salah satu jenis ular yang
jinak dan bisa dipelihara oleh manusia,” jelasnya.
Aku mengangguk. Entah bagaimana, kali ini aku sangat
percaya padanya. Aku yakin ia tak sedang membodohiku. Rasanya ketakutan tentang
ular yang selama ini bersarang dalam diriku memang sedikit keliru. Kulitnya
yang berwarna kuning ke-emasan dengan loreng hitam dan bergaris putih ini
ternyata bisa tampak begitu jinak di tanganku. Tak kusangka aku bisa mengalahkan
kepanikan yang sempat menguasai diriku tadi.
Saat itulah aku sadar bila selama ini aku terlalu takut
pada ular tanpa sebab yang jelas. Aku memang tahu soal ular hanya dari cerita
turun temurun nenek moyangku, buku-buku pelajaran yang kubaca, dan juga
acara-acara televisi semacam Discovery
Channel yang penuh penaklukan. Kebanyakan hanya menceritakan ular-ular yang
berbahaya seperti ular Derik, Death Adder,
Tiger Snake, hingga King Kobra yang
begitu mematikan. Hal itu jelas membuatku terlanjur takut lebih dulu. Mungkin
tak hanya aku, tapi juga untuk sebagian orang. Padahal aku belum pernah sekalipun
bersua langsung dengan ular. Tapi aku justru takut dengan ular tanpa sebab yang
jelas. Jangankan bersua, membayangkannya saja sudah membuatku bergidik!
“Mulailah
dari memberanikan diri menyentuh ular yang jinak seperti ini. Lambat laun kau
akan terbiasa menyentuh ular yang lebih besar lagi. Dan ketakutanmu tentang
ular yang tanpa sebab itu perlahan akan sirna. Tapi, ingat! Terkecuali yang
berbisa. Jangan sekali-kali kau coba menjinakkannya tanpa kemahiran,”
peringatnya padaku.
Sambil memandangi benda hidup yang kini melingkar dan
bergerak lambat di tangan kananku, aku mengangguk dan tersenyum pada temanku. Berkatnya
aku sudah tak lagi takut pada hewan berdarah dingin ini. Walau masih ada sedikit
rasa waswas dalam diri, tapi aku sudah bisa mengendalikannya. Dan apa kau tahu
hal yang begitu luar biasa saat ini? Itu adalah karena aku bisa menaklukan rasa
takutku sendiri.
Dari awal aku udah nebak bahwa hewan yang melingkar di leher itu ular meskipun pas di tengah aku ragu sama tebakanki sendiri tapi ternyata tebakanku benar hehe, tapi tapi keren kok aku mana bisa bikin yang seperti ini (:
BalasHapusIni salah satu tulisan jelek yang pernah gue buat. Dan gue yakin, elu bisa menulis lebih baik dari ini.
BalasHapus