“Malam
ini kita jadi ke rumah sepupu lo itu, Gi?” tanya Dion yang sedang sibuk
mengotak-ngatik radio tape di mobil
Gio.
“Jadi dong. Tadi gue baru aja ditelepon.
Keluarga besar udah ngumpul semua,” jawab Gio yang duduk di balik kemudi mobil
sedan berwarna hitam.
Dion merespon dengan sebuah anggukan
kepala. Sesaat kemudian lagu Undertow
dari Mr. Big pun terdengar melantun dari radio tape.
Sepanjang
perjalanan Gio menceritakan latar belakang sepupunya kepada Dion. Dan seperti
biasa, Dion tak terlalu antusias mendengar cerita Gio. Sebenarnya bukan tak
antusias dengan cerita mengenai sepupunya Gio, tapi ia tak antusias karena
pembawaan Gio bila sudah bercerita. Apalagi saat menceritakan seorang
perempuan. Ia akan sedikit memainkan imajinasinya.
“Kalau
aja dia bukan sepupu gue, yon. Pastinya udah gue gebet! Seksi bangeet!” ungkap
Gio yanhg nampak begitu antusias. Hampir di setiap kalimat yang ia ucapkan
selalu terselip decak kagumnya pada sepupunya itu.
“Kurang-kurangin
deh gi imajinasi lo itu. Apalagi ke sepupu sendiri.”
“Yah...
namanya juga cowok, yon. Wajarlah kalau punya sedikit fantasy. Ya, nggak?” Senyum mesum Gio sesaat sempat merekah dan
tersungging di wajahnya. Dion yang sempat melihat senyum itu sesegera mungkin
mengalihkan perhatiannya. Ia geli.
Penderitaan Dion pun akhirnya berakhir
untuk sementara waktu. Ia tak perlu lagi mendengar Gio bercerita tentang
perempuan dan imajinasinya saat mereka sudah sampai di tempat tujuan. Kediaman
sepupunya Gio. Rumah yang tak terlalu besar, namun memiliki halaman yang cukup
luas. Bahkan terbilang asri karena terdapat beberapa pohon dan beberapa tanaman
bunga yang tertanam rapi di sekitar halamannya. Sepertinya keluarga yang baru
saja pindahan ini ingin membawa nuansa asri di Jakarta yang sudah penat dengan
polusi.
Begitu
memasuki halaman rumah Gio langsung disambut hangat oleh tantenya. Bila dilihat
dari penampilannya, kulitnya yang masih terawat, dan juga tubuhnya yang belum
begitu melar, usia tantenya itu mungkin masih tergolong muda. Sekitar kepala
empat. Apalagi keriput di wajah tantenya itu belum terlalu terlihat. Oh, iya, malam
itu tantenya tak menggunakan make-up sama
sekali di wajahnya. Makanya Dion bisa memprediksi kalau tantenya Gio itu belum
terlalu tua.
Setelah
cukup berbasa-basi tantenya pun mengajak Gio dan Dion untuk masuk ke rumahnya.
Mereka dipandu menuju halaman belakang. Sesampainya di sana ternyata ada aroma
daging panggang yang sudah sedia menyambut mereka. Aroma yang mampu membuat
cacing-cacing di perut mereka berdua mengggeliat dan memberontak secara membabi
buta.
“GIOO!!”
tiba-tiba saja terdengar seruan dari dalam rumah. Suara yang membuyarkan fokus
Gio dan Dion dari aroma daging panggang yang sempat menggugah selera mereka
untuk makan. Suara yang sudah lama tak didengar oleh Gio tapi begitu
dikenalnya. Suara langkah kaki pun seketika terdengar dari dalam rumah. Langkah
kakinya terdengar cepat seperti orang yang sedang berlari maraton menuju garis finish. Saat suara langkah kaki itu
terdengar semakin dekat Gio pun bersiap untuk segera membalikkan tubuhnya. Ini
adalah kebiasaan yang selalu Gio lakukan bila sudah bertemu dengan sepupunya
yang satu ini. Mereka akan saling berpelukan tiap kali mereka bertemu. Dan
sesaat kemudian perempuan itu pun tak ragu untuk melompat ke dalam pelukan Gio.
“Gioooo!!!
Sumpah kangen banget gue sama lo! Kangen-kangen-kangeeeenn!!!” seru perempuan
itu yang sudah berada di dalam pelukan Gio. Ia juga memeluk Gio dengat eratnya.
Matanya terpejam menghayati pertemuan ini. Untuk sesaat mereka berdua seperti
kembar bersaudara yang sudah lama terpisah dan kembali dipertemukan di dalam
sebuah acara reality show.
“Ras...
Ras..,” suara Gio terdengar datar memanggil sepupunya. Namun, sepupunya tak
mengindahkannya. Ia tak menghiraukan panggilan Gio karena terlalu hanyut
meluapkan kerinduannya.
“Ras...
Ras..,” sekali lagi Gio memanggilnya. Kali ini ia memanggil seraya menggamit
lengan sepupunya.
“Hmmm..,”
seketika Sepupunya pun membuka kedua matanya dengan senyum yang masih melengkung
di wajahnya. Sejenak ia merasa aneh begitu yang ia lihat di depannya saat ini
adalah Gio yang sedang menatapnya datar. Keningnya mengernyit. Jika Gio yang
ada di hadapannya sekarang, lantas siapa yang sedang dipeluknya saat ini?
“......”
Suasana
hening dan canggung sejenak bergelayutan di antara dirinya dan Gio. Dan beberapa
detik kemudian ia pun sadar bila ia salah memeluk orang. Reflek, ia pun segera
melonggarkan sedikit pelukannya. Kepalanya sedikit menengadah. Seketika
wajahnya pun berhadapan dengan wajah seorang pria. Jarak yang begitu dekat. Hanya
sejengkal. Tatapan mata pun tak dapat terelakan lagi. Kini suasana hening
menyelimuti mereka. Irama jantung mereka sudah tak lagi beraturan, semakin
cepat berdegup seperti ingin meledak. Lima detik yang terasa begitu lama bagi
keduanya. Lima detik yang cukup mendebarkan. Terutama bagi Dion.
“Duh!
Sori! Sori banget! Maaf banget! Gue nggak sengaja. Maaf, ya! Maaf!” seru Laras
begitu ia melepaskan pelukannya dari tubuh Dion. Ia terus menundukkan wajahnya
menahan malu. Kulit pipinya nampak memerah. Tangannya mendekap di depan
bibirnya layaknya orang yang hindu jika sedang berdoa. Ia terus menunduk berusaha
untuk menyembunyikan wajahnya yang seketika berubah merah padam. Dion sendiri
sempat mematung untuk beberapa saat. Untuk beberapa detik tak sedikit pun Dion mengalihkan
pandangannya dari sosok perempuan yang ada di depannya saat ini. Sosok
perempuan yang berhasil membuat jantungnya berdebar kencang tak beraturan saat
ia menatap matanya. Seketika rona wajah Dion pun berubah. Rona wajah yang jarang
sekali terlukis di wajahnya. Raut wajah yang seketika bisa dipahami oleh Gio
bila sahabatnya itu terpikat oleh sepupunya, pada pandangan pertama.
Gadis
itu bernama Laras. Ialah sepupu Dion yang baru saja pindah dari Bali.
Kepindahan keluarganya terjadi karena keluarganya kini membuka usaha barunya di
Jakarta. Mereka pun memutuskan untuk menetap sementara di Jakarta demi
mengembangkan usaha barunya tersebut.
Malam
itu menjadi yang pertama kalinya bagi Laras dan Dion untuk saling berkenalan.
Tapi menjadi malam yang ke sekian kalinya bagi Gio untuk dihabiskannya bersama
Dion, dan juga kini ditambah dengan sepupunya, Laras. Malam itu akan menjadi
malam yang panjang bagi mereka bertiga, terutama bagi Dion. Karena sejak malam
itu ia telah menjadikan wajah Laras sebagai sampul depan di dalam imajinasi
nirwana buatannya sendiri.
***
Nirwana
yang dituju Dion pun semakin dekat di pelupuk matanya. Apalagi Laras yang baru
saja pindahan dari Bali kini berkuliah di salah satu universitas di Jakarta.
Universitas di mana Dion dan Gio berkuliah juga. Semangat Dion untuk ke kampus
kini menjadi berlipat ganda. Walaupun memang kini tujuan utamanya ke kampus
bukan lagi untuk masuk ke kelas sesuai jadwal, melainkan hanya untuk bertemu
dengan Laras.
Dion
pun mulai melakukan banyak hal dalam memulai perburuan cintanya itu. Dion mulai
sering mengajak Laras untuk makan siang bersama, mengantar dan menjemputnya
kuliah, hingga menemani Laras saat latihan basket di kampusnya. Ya, Laras
termasuk wanita yang gemar bermain basket. Wajar memang bila melihat dari
bentuk tubuhnya yang ramping seperti perempuan kebanyakan yang memang senang
berolah raga. Selain itu tampilannya yang sporty itulah yang membuat Dion
semakin kepincut dengannya. Apalagi saat melihat Laras bermain basket. Dion tak
akan berhenti mengagumi daya pikat yang dimiliki olehnya. Matanya akan terus
mengikuti ke mana Laras bergerak, bagaimana Laras mendribel bola, bagaimana Laras mengikat rambut panjangnya yang lurus
itu sebelum mulai bermain, dan bagaimana menawannya ketika Laras menyeka
keringat yang menumpuk di wajahnya dengan tangannya. Ooohhh... benar-benar
sebuah panorama yang selalu berhasil membuat Dion tak berhenti memujanya.
Indah... begitulah kata Dion bila sudah melayang dibuatnya
Dan
satu hal lagi yang tak pernah dilewati oleh Dion tiap kali menemani Laras
bermain basket, yaitu saat Laras sedang meminum sebotol air mineral dan duduk
di sampingnya. Saat itulah Dion tak akan melepaskan pandangan matanya sedetik
pun dari sosok perempuan yang berhasil mencuri perhatiannya itu. Menurutnya
itulah saat di mana Laras begitu terlihat menggairahkan dan memesona baginya.
Waktu
terus bergulir. Kedekatan Dion dan Laras pun semakin terlihat jelas. Bahkan Gio
sudah berkali-kali memaksa Dion untuk menyatakan cintanya kepada sepupunya itu.
Namun, Dion selalu bergeming, “belum waktunya.” itu adalah jawaban andalan Dion
tiap kali Gio memaksanya. Dion memang merasa bila Laras sudah memberikan jalan
untuknya, tapi Dion ingin memastikannya lebih jauh lagi. Ia tak ingin gegabah.
***
Malam
itu. Laras dan Dion kembali menghabiskan waktu mereka berdua di sebuah taman.
Di atas sebuah bangku panjang, Laras mulai bercerita tentang sisi lain dirinya
yang belum diketahui oleh Dion. Menceritakan sedikit tentang rahasia kecilnya.
Awalnya Dion cukup antusias mendengar cerita Laras, namun saat ada pria lain yang
muncul di dalam ceritanya, raut wajah Dion pun seketika berubah. Matanya yang
sempat memandang Laras penuh makna berubah menjadi tatapan hampa. Hatinya
seperti ditusuk oleh ribuan jarum. Kecil memang, tapi terasa perih dan
menyakitkan.
Malam
itu dengan lugunya Laras menceritakan tentang kekasihnya yang telah lama pergi.
Kekasihnya yang pergi untuk melanjutkan pendidikannya ke London. Kekasihnya sejak SMA yang sudah pergi hampir setahun
lamanya. Kekasihnya yang sudah tak lagi memberinya kabar sejak 8 bulan terakhir
ini. Dan Laras masih tetap setia menunggunya. Ia masih tetap menutup hatinya,
ia masih tetap menyimpan asa, dan ia masih tetap menyimpan cintanya untuk pria
itu. Semua itu terus ia jaga hanya demi seseorang yang ia sendiri tak tahu
kapan pria itu akan kembali pulang ke pelukannya. Dan Dion harus menahan kecewa
karena ia baru sadar bila selama ini ia bahkan belum menyentuh seinchi pun hati
Laras.
“Ras...,”
sapa Dion dengan suara yang terdengar lirih saat Laras tengah memandangi bulan
sabit. “Kalau kamu berlomba dengan jarak dan waktu yang saling memburu, sampai
kapan kamu kuat menunggu orang yang kamu cinta untuk datang menghampiri kamu?”
Laras
tersenyum simpul. Matanya masih memaku menatap bulan. Ada ketulusan yang
tersirat di dalam senyumannya dan dari sorot matanya. Dan Dion bisa menangkap
itu.
“Di
galaksi ini bulan hanya ada satu. Matahari juga hanya satu. Begitu juga dengan
cinta kita yang hanya untuk satu orang,” Laras menarik napasnya panjang sebelum
kembali dihembuskannya. Ia melemparkan senyum manisnya ke Dion. “Aku akan tetap
menunggu. Aku nggak akan lelah menunggu karena lelah adalah permainan sang
waktu. Dan bosan adalah permainan sang jarak,” ungkapnya yang terdengar begitu
optimis.
Terdengar
optimis baginya, tapi justru jawaban optimisnya itulah yang membuat Dion
menjadi pesimis. Harapan dan cintanya yang selama ini telah tertanam kuat
seolah-olah sirna begitu saja ditelan bumi. Terkubur dan tak membekas.
Namun,
Dion tak lantas patah arang. Ia tetap berusaha melanjutkan perburuan cintanya
walau sakit seringkali harus ia rasakan. Apalagi ia begitu sering menghabiskan
waktu bersama dengan Laras. Dan selama itulah ia selalu bahagia tiap kali
melihat sebuah senyum dapat terpancar dari wajah cantiknya. Dan selama itulah
ia harus menahan sakit dan kecewa tiap kali tersadar bila senyum manis Laras itu
bukanlah miliknya, bukan untuknya, dan mungkin tak ‘kan pernah untuknya.
Bisakah kau rasakan perihnya saat-saat seperti itu?
***
Waktu
tak lantas berhenti, apalagi mundur. Hari terus berlanjut hingga pada suatu
hari Laras terlihat murung dan tak seceria biasanya. Belakangan ini Laras sering
absen bermain basket. Dan sudah beberapa hari juga ia tak ingin lagi dijemput
maupun diantar oleh Dion. Ia seperti ingin menyendiri. Awalnya Dion memang tak
tahu apa yang terjadi dengan laras, tapi akhirnya ia pun mendapatkan
jawabannya. Gio memberitahunya bila kemurungan Laras itu berhubungan dengan
kekasihnya yang telah lama pergi. Ternyata kekasihnya itu telah kembali dan sudah
menemui Laras. Namun, pria itu kembali bukan untuk Laras, melainkan untuk orang
lain. Ia memberikan sebuah undangan kepada Laras. Undangan pernikahan yang
terukir nama pria itu dan nama calon mempelai wanitanya. Sebuah kartu undangan
yang membuat Laras harus menahan pilu. Air matanya tak berhenti mengalir sejak saat
itu. Laras menangisi pria itu dengan segenap jiwanya. Kini hatinya layaknya
sebuah perahu yang hancur terbengkalai dihantam ombak dan tersapu oleh batu
karang. Dibiarkan menggulung hingga tercerai berai tiap bagiannya di dalam
gulungan ombak. Dihempaskan ke bebatuan karang hingga semakin hancur. Dan yang
tersisa hanyalah potongan-potongan kayu tak berarti yang terseret ke tepian
pantai. Hancur, tapi dibiarkan tersisa untuk terus merasakan luka.
Mengetahui
hal itu membuat Dion tak ingin diam begitu saja. Saat ia tahu alasan di balik
murungnya Laras, Dion pun bersiasat untuk mengajaknya pergi. Bukan untuk
mencari kesempatan, melainkan untuk kembali menemukan senyum Laras yang telah
hilang. Bagaimanapun mencintai seseorang akan membuatmu mati-matian untuk
membuatnya tersenyum lagi, walaupun kau sendiri tahu bukan kaulah yang menjadi
alasannya menangis.
Sore
itu Dion dan Laras tengah menghabiskan waktu mereka berdua di Dufan. Namun,
sejak pagi tadi tak banyak wahana yang mereka naiki. Hanya ada satu wahana yang
mereka naiki, yaitu biang lala. Berbagai hal telah Dion coba lakukan untuk
menghibur Laras, tapi sia-sia. Laras lebih memilih membisu. Matanya masih
mengisyaratkan kepedihan. Hingga akhirnya Dion pun menanyakan sikap Laras yang
berubah seperti ini ketika Laras membuang es krim cokelat pemberiannya.
“Kamu
lagi kenapa sih, Ras? Dari tadi diem aja? Aku ajak naik wahana nggak mau. Aku
beliin es krim malah dibuang. Kayak anak kecil aja kamu,” ujar Dion sambil
memberikan penekanan di kalimat akhir ucapannya. Mendengar itu membuat air
wajah Laras berubah. Keningnya seketika mengerut dan matanya menatap sinis pada
Dion.
“Aku
kan udah bilang kalau aku nggak mau keluar, tapi kamu maksa! Siapa sekarang
yang kayak anak kecil?” hardik Laras yang tak sedikitpun melepaskan tatapan
sinisnya dari Dion.
Dion
menghela napas sejenak. “Murung dan kecewa karena pilihannya sendiri. Dan
akhirnya patah hati karena ditinggal menikah. Apa itu nggak mirip sama anak
kecil?” sindir Dion yang balas menatap Laras. Laras sempat tertegun saat
kalimat itu terlontar dari mulut Dion. Ia tak habis pikir bila Dion akan
mengatakan hal seperti itu kepadanya. Kalimat yang menyakitkan baginya. Seketika
Laras beranjak dari duduknya. Tatapan tajamnya kembali ia tujukan kepada Dion.
“Denger,
ya. Aku nggak pernah meminta kamu untuk ikut campur urusan aku. Nggak usah sok
peduli sama aku! Ngerti?!” serunya dengan suara yang meninggi hingga urat
lehernya nampak menyembul dari balik kulit halusnya. Setelah itu ia pun
memunggungi Dion dan melangkahkan kakinya untuk pergi.
“Aku
peduli karena aku cinta sama kamu!” seru Dion dengan suara yang begitu lantang
terdengar. Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Mulutnya seperti
bergerak sendiri untuk menahan kepergian Laras. Kalimat itu memang mampu
membuat langkah kaki Laras terhenti. Dan kalimat itu mampu membuat Laras
menitikkan air matanya. Di belakangnya, Dion berharap bila Laras akan berbalik
dan menghampirinya. Tapi nyatanya, tidak. Laras lebih memilih untuk tetap
memunggungi Dion dan pergi meninggalkannya. Ia tak menghiraukan ungkapan hati
Dion kepadanya. Itulah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Dion kepada Laras.
Karena sejak saat itu Laras tak lagi menghubunginya, bahkan semua panggilan
Dion selalu saja direject olehnya.
Hati
memang tak dapat dipaksakan bila sudah berurusan dengan cinta. Itulah mengapa
Dion tak ingin memaksa untuk bertemu dengan Laras sejak kejadian itu. Dan ia
juga tak bisa memaksa hatinya sendiri untuk berhenti mengharapkan Laras untuk
menjadi pengisi ruang kosong di hatinya. Enam bulan sudah berlalu dan mereka
kembali dipertemukan di hari yang penting. Yaitu hari di mana mereka diwisuda.
Walaupun masih sedikit canggung, tapi mereka akhirnya berada di satu frame foto
wisuda bersama dengan Gio, meskipun sebelumnya Gio harus bersusah payah untuk merayu
keduanya. Dan setelah foto bersama, Dion akhirnya kembali menghampiri Laras.
Masih dengan suasana yang canggung. Tanpa melontarkan sepatah katapun Dion
memberikan sebuah kaset CD kepada Laras. Setelah Laras menerimanya, Dion pun
melangkahkan kakinya pergi. Dion pergi tanpa sedetik pun menoleh ke belakang.
Itu mungkin terakhir kalinya ia bisa menatap mata Laras.
***
Hari
itu Laras menghabiskan sorenya di kamar, sendirian. Wisuda ternyata membuat
harinya cukup melelahkan. Saat tengah bingung ingin melakukan apa, ia teringat
kembali dengan CD yang tadi diberikan oleh Dion kepadanya. Laras pun beranjak
menuju komputernya untuk melihat apa isi CD itu sebenarnya. Tak pernah dikira
sebelumnya, ternyata isi CD itu berupa sebuah rekaman video dari Dion. Dengan
rasa penasaran Laras pun memplay video
tersebut, dan seketika wajah Dion pun muncul di dalam video itu.
“Hai,
Ras. Aku tahu kalau kamu masih marah sama aku. Semenjak ucapan aku yang lancang
itu, kamu seperti memberikan jarak di antara kita. Tapi, sudahlah, aku nggak
mau terlalu memikirkannya. Aku cuma mau kamu tahu kalau apa yang aku ucapkan ke
kamu waktu itu adalah benar,” Dion menghela napasnya sejenak. “Aku benar-benar
mencintai kamu.”
“Oh,
iya! Aku mau sedikit cerita. Aku pernah jatuh hati kepada seorang perempuan
pada pandangan pertama. Lucunya, aku nggak tahu sama sekali nama perempuan itu
karena aku baru pertama kali melihatnya saat aku berlibur ke Bali. Aku sih
punya koleksi fotonya.”
Di
dalam video itu Dion memperlihatkan foto perempuan yang dimaksud olehnya. Foto-foto
yang diambilnya sekitar tiga tahun yang lalu. Laras memerhatikan dengan seksama
foto-foto yang ditunjukkan oleh Dion di dalam videonya.
Namun,
seketika Laras menarik napasnya panjang saat ia menyadari bila perempuan di
dalam foto-foto itu adalah dirinya. Dirinya saat masih tinggal di Bali tiga
tahun lalu. Saat itu banyak momen yang diabadikan oleh Dion dengan kameranya.
Dion pun menunjukkan salah satu foto yang paling ia suka. Itu adalah foto saat
Laras tengah bermain pasir di pantai Bali. Di foto itu Laras terlihat begitu
riang dan bahagia. Senyum manisnya merekah lebar hingga putih giginya begitu
terlihat. Bahkan Laras masih ingat betul bagaimana gembiranya ia saat itu. Hari
itu sinar mentari melukiskan bayangannya yang menari di atas pasir pantai yang
terasa lembut ketika telapak kaki ini menyentuhnya. Suara deburan ombak yang
menggulung beriringan dengan hembusan angin sepoy yang mengayun masih terekam
di memorinya. Laras seperti kembali ke masa itu. Laut Bali yang begitu biru,
bahkan langit dan mentari pun dapat bercermin di permukaannya. Barisan pohon
bakau di tepian pantai membuat kesejukannya sendiri, seperti sebuah peredam
bagi teriknya mentari siang itu. Pantai yang menawarkan sebuah nirwana duniawi.
Video
itu terus berjalan hingga akhirnya Dion pun mulai mengatakan sebuah kalimat
perpisahan kepada Laras. Ya, sebuah perpisahan karena Dion akan terbang ke Belanda
untuk memulai karirnya di sana. Dan ia akan terbang sore ini. Perlahan air mata
Laras teruntai turun membasahi pipinya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha
untuk tak menangis. Namun, kesedihannya tak mampu lagi ia bendung. Ia pun
menyerah dan membiarkan emosinya meluap melalui tangis sendunya. Ia hanya bisa
menangis karena ia sadar bila saat ini ia sudah terlambat untuk menyadari perasaannya
kepada Dion. Kini ia hanya bisa menangis dan menunggu. Menunggu hingga Dion
kembali. Dan bila ia ingin berjumpa kembali dengan Dion maka ia harus
menunggunya di Bali. Seperti yang dikatakan Dion di dalam videonya bila enam
bulan lagi ia akan kembali ke tempat di mana ia pertama kali melihatnya. Tempat
di mana ia pertama kali jatuh cinta pada seorang perempuan pada pandangan
pertama. Cinta yang ia pikir akan hilang dan sirna begitu saja, tapi ternyata
ia salah. Karena ternyata ia dipertemukan kembali dengan perempuan itu hingga
benih cinta itu kembali merekah dan berseri. Cinta yang akan selalu dinanti dan
disimpan dengan baik oleh Dion hingga ia kembali.
Di
tengah tangis sendunya, Laras pun bertekad untuk menunggu Dion kembali. Dan ia
akan berada di Bali bila saatnya tiba nanti. Ia tak akan lelah menunggu. Ia
sudah bertekad di dalam hatinya untuk tak menyia-nyiakan seseorang yang tulus
mencintainya. Ia akan menunggu Dion kembali karena ia yakin bila mereka berdua
tercipta untuk saling memiliki hingga kebahagiaan menyertai mereka.
Kebahagiaan? Bila bicara tentang kebahagiaan maka ucapan Dion di dalam videonya
tentang ‘kebahagiaan’ itu akan selalu terngiang di benak Laras.
Bila seandainya ada yang bertanya kepadaku tentang
kebahagiaan, maka aku akan mendefiniskan bila kebahagiaan itu adalah kamu. Karena
menurutku kebahagiaan adalah saat di mana aku bisa menghabiskan waktu bersama
denganmu tanpa harus ada pertanyaan ‘kapan ini akan berakhir?’ -Dion-
Cuit cuit, berasa baca novel hehehe.
BalasHapusEndingnya cakep B)
BalasHapusKeren akhir ceritanya..
BalasHapusbikin yang kaya begini lagi gan..