[Cerpen] Menghabiskan Waktu

“Malam ini kita jadi ke rumah sepupu lo itu, Gi?” tanya Dion yang sedang sibuk mengotak-ngatik radio tape di mobil Gio.
          “Jadi dong. Tadi gue baru aja ditelepon. Keluarga besar udah ngumpul semua,” jawab Gio yang duduk di balik kemudi mobil sedan berwarna hitam.
          Dion merespon dengan sebuah anggukan kepala. Sesaat kemudian lagu Undertow dari Mr. Big pun terdengar melantun dari radio tape.
Sepanjang perjalanan Gio menceritakan latar belakang sepupunya kepada Dion. Dan seperti biasa, Dion tak terlalu antusias mendengar cerita Gio. Sebenarnya bukan tak antusias dengan cerita mengenai sepupunya Gio, tapi ia tak antusias karena pembawaan Gio bila sudah bercerita. Apalagi saat menceritakan seorang perempuan. Ia akan sedikit memainkan imajinasinya.

“Kalau aja dia bukan sepupu gue, yon. Pastinya udah gue gebet! Seksi bangeet!” ungkap Gio yanhg nampak begitu antusias. Hampir di setiap kalimat yang ia ucapkan selalu terselip decak kagumnya pada sepupunya itu.
“Kurang-kurangin deh gi imajinasi lo itu. Apalagi ke sepupu sendiri.”
“Yah... namanya juga cowok, yon. Wajarlah kalau punya sedikit fantasy. Ya, nggak?” Senyum mesum Gio sesaat sempat merekah dan tersungging di wajahnya. Dion yang sempat melihat senyum itu sesegera mungkin mengalihkan perhatiannya. Ia geli.
          Penderitaan Dion pun akhirnya berakhir untuk sementara waktu. Ia tak perlu lagi mendengar Gio bercerita tentang perempuan dan imajinasinya saat mereka sudah sampai di tempat tujuan. Kediaman sepupunya Gio. Rumah yang tak terlalu besar, namun memiliki halaman yang cukup luas. Bahkan terbilang asri karena terdapat beberapa pohon dan beberapa tanaman bunga yang tertanam rapi di sekitar halamannya. Sepertinya keluarga yang baru saja pindahan ini ingin membawa nuansa asri di Jakarta yang sudah penat dengan polusi.
Begitu memasuki halaman rumah Gio langsung disambut hangat oleh tantenya. Bila dilihat dari penampilannya, kulitnya yang masih terawat, dan juga tubuhnya yang belum begitu melar, usia tantenya itu mungkin masih tergolong muda. Sekitar kepala empat. Apalagi keriput di wajah tantenya itu belum terlalu terlihat. Oh, iya, malam itu tantenya tak menggunakan make-up sama sekali di wajahnya. Makanya Dion bisa memprediksi kalau tantenya Gio itu belum terlalu tua.
Setelah cukup berbasa-basi tantenya pun mengajak Gio dan Dion untuk masuk ke rumahnya. Mereka dipandu menuju halaman belakang. Sesampainya di sana ternyata ada aroma daging panggang yang sudah sedia menyambut mereka. Aroma yang mampu membuat cacing-cacing di perut mereka berdua mengggeliat dan memberontak secara membabi buta.
“GIOO!!” tiba-tiba saja terdengar seruan dari dalam rumah. Suara yang membuyarkan fokus Gio dan Dion dari aroma daging panggang yang sempat menggugah selera mereka untuk makan. Suara yang sudah lama tak didengar oleh Gio tapi begitu dikenalnya. Suara langkah kaki pun seketika terdengar dari dalam rumah. Langkah kakinya terdengar cepat seperti orang yang sedang berlari maraton menuju garis finish. Saat suara langkah kaki itu terdengar semakin dekat Gio pun bersiap untuk segera membalikkan tubuhnya. Ini adalah kebiasaan yang selalu Gio lakukan bila sudah bertemu dengan sepupunya yang satu ini. Mereka akan saling berpelukan tiap kali mereka bertemu. Dan sesaat kemudian perempuan itu pun tak ragu untuk melompat ke dalam pelukan Gio.
“Gioooo!!! Sumpah kangen banget gue sama lo! Kangen-kangen-kangeeeenn!!!” seru perempuan itu yang sudah berada di dalam pelukan Gio. Ia juga memeluk Gio dengat eratnya. Matanya terpejam menghayati pertemuan ini. Untuk sesaat mereka berdua seperti kembar bersaudara yang sudah lama terpisah dan kembali dipertemukan di dalam sebuah acara reality show.
“Ras... Ras..,” suara Gio terdengar datar memanggil sepupunya. Namun, sepupunya tak mengindahkannya. Ia tak menghiraukan panggilan Gio karena terlalu hanyut meluapkan kerinduannya.
“Ras... Ras..,” sekali lagi Gio memanggilnya. Kali ini ia memanggil seraya menggamit lengan sepupunya.
“Hmmm..,” seketika Sepupunya pun membuka kedua matanya dengan senyum yang masih melengkung di wajahnya. Sejenak ia merasa aneh begitu yang ia lihat di depannya saat ini adalah Gio yang sedang menatapnya datar. Keningnya mengernyit. Jika Gio yang ada di hadapannya sekarang, lantas siapa yang sedang dipeluknya saat ini?
“......”
Suasana hening dan canggung sejenak bergelayutan di antara dirinya dan Gio. Dan beberapa detik kemudian ia pun sadar bila ia salah memeluk orang. Reflek, ia pun segera melonggarkan sedikit pelukannya. Kepalanya sedikit menengadah. Seketika wajahnya pun berhadapan dengan wajah seorang pria. Jarak yang begitu dekat. Hanya sejengkal. Tatapan mata pun tak dapat terelakan lagi. Kini suasana hening menyelimuti mereka. Irama jantung mereka sudah tak lagi beraturan, semakin cepat berdegup seperti ingin meledak. Lima detik yang terasa begitu lama bagi keduanya. Lima detik yang cukup mendebarkan. Terutama bagi Dion.
“Duh! Sori! Sori banget! Maaf banget! Gue nggak sengaja. Maaf, ya! Maaf!” seru Laras begitu ia melepaskan pelukannya dari tubuh Dion. Ia terus menundukkan wajahnya menahan malu. Kulit pipinya nampak memerah. Tangannya mendekap di depan bibirnya layaknya orang yang hindu jika sedang berdoa. Ia terus menunduk berusaha untuk menyembunyikan wajahnya yang seketika berubah merah padam. Dion sendiri sempat mematung untuk beberapa saat. Untuk beberapa detik tak sedikit pun Dion mengalihkan pandangannya dari sosok perempuan yang ada di depannya saat ini. Sosok perempuan yang berhasil membuat jantungnya berdebar kencang tak beraturan saat ia menatap matanya. Seketika rona wajah Dion pun berubah. Rona wajah yang jarang sekali terlukis di wajahnya. Raut wajah yang seketika bisa dipahami oleh Gio bila sahabatnya itu terpikat oleh sepupunya, pada pandangan pertama.
Gadis itu bernama Laras. Ialah sepupu Dion yang baru saja pindah dari Bali. Kepindahan keluarganya terjadi karena keluarganya kini membuka usaha barunya di Jakarta. Mereka pun memutuskan untuk menetap sementara di Jakarta demi mengembangkan usaha barunya tersebut.
Malam itu menjadi yang pertama kalinya bagi Laras dan Dion untuk saling berkenalan. Tapi menjadi malam yang ke sekian kalinya bagi Gio untuk dihabiskannya bersama Dion, dan juga kini ditambah dengan sepupunya, Laras. Malam itu akan menjadi malam yang panjang bagi mereka bertiga, terutama bagi Dion. Karena sejak malam itu ia telah menjadikan wajah Laras sebagai sampul depan di dalam imajinasi nirwana buatannya sendiri.
***
Nirwana yang dituju Dion pun semakin dekat di pelupuk matanya. Apalagi Laras yang baru saja pindahan dari Bali kini berkuliah di salah satu universitas di Jakarta. Universitas di mana Dion dan Gio berkuliah juga. Semangat Dion untuk ke kampus kini menjadi berlipat ganda. Walaupun memang kini tujuan utamanya ke kampus bukan lagi untuk masuk ke kelas sesuai jadwal, melainkan hanya untuk bertemu dengan Laras.
Dion pun mulai melakukan banyak hal dalam memulai perburuan cintanya itu. Dion mulai sering mengajak Laras untuk makan siang bersama, mengantar dan menjemputnya kuliah, hingga menemani Laras saat latihan basket di kampusnya. Ya, Laras termasuk wanita yang gemar bermain basket. Wajar memang bila melihat dari bentuk tubuhnya yang ramping seperti perempuan kebanyakan yang memang senang berolah raga. Selain itu tampilannya yang sporty itulah yang membuat Dion semakin kepincut dengannya. Apalagi saat melihat Laras bermain basket. Dion tak akan berhenti mengagumi daya pikat yang dimiliki olehnya. Matanya akan terus mengikuti ke mana Laras bergerak, bagaimana Laras mendribel bola, bagaimana Laras mengikat rambut panjangnya yang lurus itu sebelum mulai bermain, dan bagaimana menawannya ketika Laras menyeka keringat yang menumpuk di wajahnya dengan tangannya. Ooohhh... benar-benar sebuah panorama yang selalu berhasil membuat Dion tak berhenti memujanya. Indah... begitulah kata Dion bila sudah melayang dibuatnya
Dan satu hal lagi yang tak pernah dilewati oleh Dion tiap kali menemani Laras bermain basket, yaitu saat Laras sedang meminum sebotol air mineral dan duduk di sampingnya. Saat itulah Dion tak akan melepaskan pandangan matanya sedetik pun dari sosok perempuan yang berhasil mencuri perhatiannya itu. Menurutnya itulah saat di mana Laras begitu terlihat menggairahkan dan memesona baginya.
Waktu terus bergulir. Kedekatan Dion dan Laras pun semakin terlihat jelas. Bahkan Gio sudah berkali-kali memaksa Dion untuk menyatakan cintanya kepada sepupunya itu. Namun, Dion selalu bergeming, “belum waktunya.” itu adalah jawaban andalan Dion tiap kali Gio memaksanya. Dion memang merasa bila Laras sudah memberikan jalan untuknya, tapi Dion ingin memastikannya lebih jauh lagi. Ia tak ingin gegabah.
***
Malam itu. Laras dan Dion kembali menghabiskan waktu mereka berdua di sebuah taman. Di atas sebuah bangku panjang, Laras mulai bercerita tentang sisi lain dirinya yang belum diketahui oleh Dion. Menceritakan sedikit tentang rahasia kecilnya. Awalnya Dion cukup antusias mendengar cerita Laras, namun saat ada pria lain yang muncul di dalam ceritanya, raut wajah Dion pun seketika berubah. Matanya yang sempat memandang Laras penuh makna berubah menjadi tatapan hampa. Hatinya seperti ditusuk oleh ribuan jarum. Kecil memang, tapi terasa perih dan menyakitkan.
Malam itu dengan lugunya Laras menceritakan tentang kekasihnya yang telah lama pergi. Kekasihnya yang pergi untuk melanjutkan pendidikannya ke London. Kekasihnya sejak SMA yang sudah pergi hampir setahun lamanya. Kekasihnya yang sudah tak lagi memberinya kabar sejak 8 bulan terakhir ini. Dan Laras masih tetap setia menunggunya. Ia masih tetap menutup hatinya, ia masih tetap menyimpan asa, dan ia masih tetap menyimpan cintanya untuk pria itu. Semua itu terus ia jaga hanya demi seseorang yang ia sendiri tak tahu kapan pria itu akan kembali pulang ke pelukannya. Dan Dion harus menahan kecewa karena ia baru sadar bila selama ini ia bahkan belum menyentuh seinchi pun hati Laras.
“Ras...,” sapa Dion dengan suara yang terdengar lirih saat Laras tengah memandangi bulan sabit. “Kalau kamu berlomba dengan jarak dan waktu yang saling memburu, sampai kapan kamu kuat menunggu orang yang kamu cinta untuk datang menghampiri kamu?”
Laras tersenyum simpul. Matanya masih memaku menatap bulan. Ada ketulusan yang tersirat di dalam senyumannya dan dari sorot matanya. Dan Dion bisa menangkap itu.
“Di galaksi ini bulan hanya ada satu. Matahari juga hanya satu. Begitu juga dengan cinta kita yang hanya untuk satu orang,” Laras menarik napasnya panjang sebelum kembali dihembuskannya. Ia melemparkan senyum manisnya ke Dion. “Aku akan tetap menunggu. Aku nggak akan lelah menunggu karena lelah adalah permainan sang waktu. Dan bosan adalah permainan sang jarak,” ungkapnya yang terdengar begitu optimis.
Terdengar optimis baginya, tapi justru jawaban optimisnya itulah yang membuat Dion menjadi pesimis. Harapan dan cintanya yang selama ini telah tertanam kuat seolah-olah sirna begitu saja ditelan bumi. Terkubur dan tak membekas.
Namun, Dion tak lantas patah arang. Ia tetap berusaha melanjutkan perburuan cintanya walau sakit seringkali harus ia rasakan. Apalagi ia begitu sering menghabiskan waktu bersama dengan Laras. Dan selama itulah ia selalu bahagia tiap kali melihat sebuah senyum dapat terpancar dari wajah cantiknya. Dan selama itulah ia harus menahan sakit dan kecewa tiap kali tersadar bila senyum manis Laras itu bukanlah miliknya, bukan untuknya, dan mungkin tak ‘kan pernah untuknya. Bisakah kau rasakan perihnya saat-saat seperti itu?
***
Waktu tak lantas berhenti, apalagi mundur. Hari terus berlanjut hingga pada suatu hari Laras terlihat murung dan tak seceria biasanya. Belakangan ini Laras sering absen bermain basket. Dan sudah beberapa hari juga ia tak ingin lagi dijemput maupun diantar oleh Dion. Ia seperti ingin menyendiri. Awalnya Dion memang tak tahu apa yang terjadi dengan laras, tapi akhirnya ia pun mendapatkan jawabannya. Gio memberitahunya bila kemurungan Laras itu berhubungan dengan kekasihnya yang telah lama pergi. Ternyata kekasihnya itu telah kembali dan sudah menemui Laras. Namun, pria itu kembali bukan untuk Laras, melainkan untuk orang lain. Ia memberikan sebuah undangan kepada Laras. Undangan pernikahan yang terukir nama pria itu dan nama calon mempelai wanitanya. Sebuah kartu undangan yang membuat Laras harus menahan pilu. Air matanya tak berhenti mengalir sejak saat itu. Laras menangisi pria itu dengan segenap jiwanya. Kini hatinya layaknya sebuah perahu yang hancur terbengkalai dihantam ombak dan tersapu oleh batu karang. Dibiarkan menggulung hingga tercerai berai tiap bagiannya di dalam gulungan ombak. Dihempaskan ke bebatuan karang hingga semakin hancur. Dan yang tersisa hanyalah potongan-potongan kayu tak berarti yang terseret ke tepian pantai. Hancur, tapi dibiarkan tersisa untuk terus merasakan luka.
Mengetahui hal itu membuat Dion tak ingin diam begitu saja. Saat ia tahu alasan di balik murungnya Laras, Dion pun bersiasat untuk mengajaknya pergi. Bukan untuk mencari kesempatan, melainkan untuk kembali menemukan senyum Laras yang telah hilang. Bagaimanapun mencintai seseorang akan membuatmu mati-matian untuk membuatnya tersenyum lagi, walaupun kau sendiri tahu bukan kaulah yang menjadi alasannya menangis.
Sore itu Dion dan Laras tengah menghabiskan waktu mereka berdua di Dufan. Namun, sejak pagi tadi tak banyak wahana yang mereka naiki. Hanya ada satu wahana yang mereka naiki, yaitu biang lala. Berbagai hal telah Dion coba lakukan untuk menghibur Laras, tapi sia-sia. Laras lebih memilih membisu. Matanya masih mengisyaratkan kepedihan. Hingga akhirnya Dion pun menanyakan sikap Laras yang berubah seperti ini ketika Laras membuang es krim cokelat pemberiannya.
“Kamu lagi kenapa sih, Ras? Dari tadi diem aja? Aku ajak naik wahana nggak mau. Aku beliin es krim malah dibuang. Kayak anak kecil aja kamu,” ujar Dion sambil memberikan penekanan di kalimat akhir ucapannya. Mendengar itu membuat air wajah Laras berubah. Keningnya seketika mengerut dan matanya menatap sinis pada Dion.
“Aku kan udah bilang kalau aku nggak mau keluar, tapi kamu maksa! Siapa sekarang yang kayak anak kecil?” hardik Laras yang tak sedikitpun melepaskan tatapan sinisnya dari Dion.
Dion menghela napas sejenak. “Murung dan kecewa karena pilihannya sendiri. Dan akhirnya patah hati karena ditinggal menikah. Apa itu nggak mirip sama anak kecil?” sindir Dion yang balas menatap Laras. Laras sempat tertegun saat kalimat itu terlontar dari mulut Dion. Ia tak habis pikir bila Dion akan mengatakan hal seperti itu kepadanya. Kalimat yang menyakitkan baginya. Seketika Laras beranjak dari duduknya. Tatapan tajamnya kembali ia tujukan kepada Dion.
“Denger, ya. Aku nggak pernah meminta kamu untuk ikut campur urusan aku. Nggak usah sok peduli sama aku! Ngerti?!” serunya dengan suara yang meninggi hingga urat lehernya nampak menyembul dari balik kulit halusnya. Setelah itu ia pun memunggungi Dion dan melangkahkan kakinya untuk pergi.
“Aku peduli karena aku cinta sama kamu!” seru Dion dengan suara yang begitu lantang terdengar. Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Mulutnya seperti bergerak sendiri untuk menahan kepergian Laras. Kalimat itu memang mampu membuat langkah kaki Laras terhenti. Dan kalimat itu mampu membuat Laras menitikkan air matanya. Di belakangnya, Dion berharap bila Laras akan berbalik dan menghampirinya. Tapi nyatanya, tidak. Laras lebih memilih untuk tetap memunggungi Dion dan pergi meninggalkannya. Ia tak menghiraukan ungkapan hati Dion kepadanya. Itulah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Dion kepada Laras. Karena sejak saat itu Laras tak lagi menghubunginya, bahkan semua panggilan Dion selalu saja direject olehnya.
Hati memang tak dapat dipaksakan bila sudah berurusan dengan cinta. Itulah mengapa Dion tak ingin memaksa untuk bertemu dengan Laras sejak kejadian itu. Dan ia juga tak bisa memaksa hatinya sendiri untuk berhenti mengharapkan Laras untuk menjadi pengisi ruang kosong di hatinya. Enam bulan sudah berlalu dan mereka kembali dipertemukan di hari yang penting. Yaitu hari di mana mereka diwisuda. Walaupun masih sedikit canggung, tapi mereka akhirnya berada di satu frame foto wisuda bersama dengan Gio, meskipun sebelumnya Gio harus bersusah payah untuk merayu keduanya. Dan setelah foto bersama, Dion akhirnya kembali menghampiri Laras. Masih dengan suasana yang canggung. Tanpa melontarkan sepatah katapun Dion memberikan sebuah kaset CD kepada Laras. Setelah Laras menerimanya, Dion pun melangkahkan kakinya pergi. Dion pergi tanpa sedetik pun menoleh ke belakang. Itu mungkin terakhir kalinya ia bisa menatap mata Laras.
***
Hari itu Laras menghabiskan sorenya di kamar, sendirian. Wisuda ternyata membuat harinya cukup melelahkan. Saat tengah bingung ingin melakukan apa, ia teringat kembali dengan CD yang tadi diberikan oleh Dion kepadanya. Laras pun beranjak menuju komputernya untuk melihat apa isi CD itu sebenarnya. Tak pernah dikira sebelumnya, ternyata isi CD itu berupa sebuah rekaman video dari Dion. Dengan rasa penasaran Laras pun memplay video tersebut, dan seketika wajah Dion pun muncul di dalam video itu.
“Hai, Ras. Aku tahu kalau kamu masih marah sama aku. Semenjak ucapan aku yang lancang itu, kamu seperti memberikan jarak di antara kita. Tapi, sudahlah, aku nggak mau terlalu memikirkannya. Aku cuma mau kamu tahu kalau apa yang aku ucapkan ke kamu waktu itu adalah benar,” Dion menghela napasnya sejenak. “Aku benar-benar mencintai kamu.”
“Oh, iya! Aku mau sedikit cerita. Aku pernah jatuh hati kepada seorang perempuan pada pandangan pertama. Lucunya, aku nggak tahu sama sekali nama perempuan itu karena aku baru pertama kali melihatnya saat aku berlibur ke Bali. Aku sih punya koleksi fotonya.”
Di dalam video itu Dion memperlihatkan foto perempuan yang dimaksud olehnya. Foto-foto yang diambilnya sekitar tiga tahun yang lalu. Laras memerhatikan dengan seksama foto-foto yang ditunjukkan oleh Dion di dalam videonya.
Namun, seketika Laras menarik napasnya panjang saat ia menyadari bila perempuan di dalam foto-foto itu adalah dirinya. Dirinya saat masih tinggal di Bali tiga tahun lalu. Saat itu banyak momen yang diabadikan oleh Dion dengan kameranya. Dion pun menunjukkan salah satu foto yang paling ia suka. Itu adalah foto saat Laras tengah bermain pasir di pantai Bali. Di foto itu Laras terlihat begitu riang dan bahagia. Senyum manisnya merekah lebar hingga putih giginya begitu terlihat. Bahkan Laras masih ingat betul bagaimana gembiranya ia saat itu. Hari itu sinar mentari melukiskan bayangannya yang menari di atas pasir pantai yang terasa lembut ketika telapak kaki ini menyentuhnya. Suara deburan ombak yang menggulung beriringan dengan hembusan angin sepoy yang mengayun masih terekam di memorinya. Laras seperti kembali ke masa itu. Laut Bali yang begitu biru, bahkan langit dan mentari pun dapat bercermin di permukaannya. Barisan pohon bakau di tepian pantai membuat kesejukannya sendiri, seperti sebuah peredam bagi teriknya mentari siang itu. Pantai yang menawarkan sebuah nirwana duniawi.
Video itu terus berjalan hingga akhirnya Dion pun mulai mengatakan sebuah kalimat perpisahan kepada Laras. Ya, sebuah perpisahan karena Dion akan terbang ke Belanda untuk memulai karirnya di sana. Dan ia akan terbang sore ini. Perlahan air mata Laras teruntai turun membasahi pipinya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk tak menangis. Namun, kesedihannya tak mampu lagi ia bendung. Ia pun menyerah dan membiarkan emosinya meluap melalui tangis sendunya. Ia hanya bisa menangis karena ia sadar bila saat ini ia sudah terlambat untuk menyadari perasaannya kepada Dion. Kini ia hanya bisa menangis dan menunggu. Menunggu hingga Dion kembali. Dan bila ia ingin berjumpa kembali dengan Dion maka ia harus menunggunya di Bali. Seperti yang dikatakan Dion di dalam videonya bila enam bulan lagi ia akan kembali ke tempat di mana ia pertama kali melihatnya. Tempat di mana ia pertama kali jatuh cinta pada seorang perempuan pada pandangan pertama. Cinta yang ia pikir akan hilang dan sirna begitu saja, tapi ternyata ia salah. Karena ternyata ia dipertemukan kembali dengan perempuan itu hingga benih cinta itu kembali merekah dan berseri. Cinta yang akan selalu dinanti dan disimpan dengan baik oleh Dion hingga ia kembali.
Di tengah tangis sendunya, Laras pun bertekad untuk menunggu Dion kembali. Dan ia akan berada di Bali bila saatnya tiba nanti. Ia tak akan lelah menunggu. Ia sudah bertekad di dalam hatinya untuk tak menyia-nyiakan seseorang yang tulus mencintainya. Ia akan menunggu Dion kembali karena ia yakin bila mereka berdua tercipta untuk saling memiliki hingga kebahagiaan menyertai mereka. Kebahagiaan? Bila bicara tentang kebahagiaan maka ucapan Dion di dalam videonya tentang ‘kebahagiaan’ itu akan selalu terngiang di benak Laras.


Bila seandainya ada yang bertanya kepadaku tentang kebahagiaan, maka aku akan mendefiniskan bila kebahagiaan itu adalah kamu. Karena menurutku kebahagiaan adalah saat di mana aku bisa menghabiskan waktu bersama denganmu tanpa harus ada pertanyaan ‘kapan ini akan berakhir?’ -Dion-

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

3 Responses to [Cerpen] Menghabiskan Waktu

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.