![]() |
(gambar: www.infolombok.net) |
“Oke, good! Kita break dulu 15
menit, ya!” seru Keane setelah merasa cukup puas dengan hasil jepretannya. Ia
pun kemudian mengangkat kameranya dari sebuah tripod dan melangkahkan kakinya
menuju tempat duduknya. Melalui LCD kameranya, Keane mulai melihat-lihat
kembali hasil bidikannya tadi. Ia melihat satu persatu hasil fotonya dengan
detail. Matanya fokus melihat hasil jepretannya. Namun, saat Keane tengah fokus
untuk melihat foto-foto yang ada di kameranya tiba-tiba saja ia mendengar
bisikan di telinganya.
“Gimana hasil fotonya?” bisikan yang
cukup membuat Keane bergidik ketika mendengarnya. Tepatnya lebih membuat
libidonya naik saat mendengarnya. Suara yang sedikit parau, namun terdengar merdu.
“Yahh... seperti biasa. Banyak yang
cantik tapi jarang yang menjiwai seperti kamu,” ujar Keane memuji. “Seperti...”
“Seperti melihat foto benda mati.
Nyata, tapi nggak pernah hidup dan bernyawa, kan?” sambar perempuan itu memotong
ucapan Keane. Ia pun menunjukkan senyum lengkungnya.
Nyata
tapi nggak pernah hidup dan bernyawa, kalimat yang pernah diucapkan oleh
Keane sebelumnya kepadanya. Tepatnya ketika pertamakalinya ia menjadi model
untuk Keane.
“Yap!” seru Keane sembari
menganggukkan kepalanya. “Lebih baik kamu sekarang siap-siap dulu. 30 menit
lagi giliran kamu,” Keane menunjukkan arloji kecil yang melingkar di lengan
kirinya.
“Siap, bos!” seru perempuan itu
sembari menaruh tangannya ke keningnya. Ia membuat sikap layaknya sedang
hormat. Lalu, ia pun melangkah pergi setelah sebelumnya sempat menunjukkan
kembali senyum manisnya kepada Keane. Sebuah senyum lengkung yang menawan di
mata Keane.
Namanya
adalah Vanessa, seorang model yang telah lama dikenal Keane. Baginya, Vanessa
adalah seorang model yang berbeda dari model-model kebanyakan. Ia seperti bunga
momo yang tumbuh di antara
bunga-bunga sakura yang bermekaran di
musim semi. Terlihat sama secara kasat mata, tapi sebenarnya berbeda. Ia lebih
terlihat cantik karena bentuk mahkota bunganya yang lebih runcing dan indah
dibandingkan sakura. Dan bagi Keane,
mahkota bunga momo yang runcing itu
selalu mengingatkan ia kepada Vanessa; jika model yang satu itu memiliki
kecantikan luar biasa yang tak bisa dilihat secara kasat mata. Ia memiliki
kecantikan dengan detail yang luar biasa. Kecantikan yang tak hanya ada pada
fisiknya, tapi juga pada sikap dan juga pemikirannya. Itu menurut Keane.
Dan bagi Keane letak keindahan Vanessa
ada di matanya. Perempuan berambut ikal itu memiliki bola mata berwarna cokelat.
Mata itu seolah bisa bicara. Mata yang selalu menunjukkan kejujuran. Tatapannya
seperti kucing; tajam, namun tetap menawan. Matanya itu selalu mampu membuat
Keane terbius hingga membuat Kaeane tak ingin lekas berkedip tiap kali matanya
bertemu dengan mata Vanessa. Pernah Vanessa merasa terganggu oleh pandangan
mata Keane yang tak mau lepas darinya. Bahkan Vanessa sampai menegur Keane
karena hal itu.
“Sori, ya, mas. Bisa nggak anda
singkirin tatapan mata anda itu dari saya?”
“Emmm... Siapa yang menatap ke mbak?
Dari tadi mata saya hanya tertuju ke lukisan yang ada di belakang mbak,” sanggah
Keane seraya melirik ke sebuah lukisan yang tergantung di dinding cafe. Lukisan
seorang Ibu yang tengah menyusui anaknya. Dan saat Vanessa melihat lukisan itu,
ia makin menancapkan tatapan sinisnya kepada Keane.
“Oohh! Jadi anda menjadikan saya
sebagai objek imajinasi anda yang kotor itu?! Dasar cowok brengsek!”
Plak! Tamparan pun
mendarat di pipi kiri Keane dan Vanessa seketika melengos dengan meninggalkan
jejak merah di pipi Keane. Jejak tangan yang cukup membuat Keane merasakan
nyeri, dan juga malu karena saat itu banyak pengunjung cafe yang melihatnya
ditampar oleh seorang perempuan yang ia sendiri bahkan tak tahu namanya.
Ya,
itulah pertama kalinya Keane mengenal Vanessa hingga akhirnya mereka pun
bertemu kembali di sebuah studio foto saat Vanessa menjadi model untuk cover
majalah fashion. Pertemuan yang tak terduga sebelumnya. Keane tak pernah
mengira ia akan kembali bertemu dengan perempuan yang pernah menamparnya dan pernah
membuatnya menahan malu. Dan Vanessa juga tak pernah mengira jika ia akan
menjadi model dari pria yang pernah dituduhnya memiliki otak mesum.
Namun,
seringnya waktu yang mempertemukan mereka baik di studio foto ataupun di outdoor rupanya telah membuat mereka
semakin akrab dan dekat. Membuat mereka semakin sering menghabiskan waktu
berdua saat sama-sama menekuni profesi mereka masing-masing. Perkenalan mereka
pun berlanjut hingga sekarang. Dan tanpa mereka sadari, ada benih cinta yang
secara tak sengaja tertanam di dalam diri mereka. Tepatnya salah satu dari
mereka. Ya, hanya salah satu dari mereka.
“Minggu depan kamu ada waktu kosong,
sa?” tanya Keane di tengah-tengah obrolan santainya dengan Vanessa sehabis sesi
pemotretan.
“Emm... Ada sih, kayaknya. Kenapa
memang?”
Keane mendeham pelan. Ia membenarkan
posisi duduknya. “Jadi, gini. Minggu depan aku ada project baru. Pemotretan di Lombok dan sekalian diminta oleh pihak
sana untuk sekaligus mempromosikan tempat-tempat wisata yang ada di Lombok,”
Vanessa masih memerhatikan Keane dengan seksama. Tangan kanannya masih menopang
dagunya dengan siku yang menempel di meja.
“Dan aku masih bingung kira-kira siapa
yang pantes aku jadiin model.”
“Aku mau!!” seru Vanessa dengan penuh
antusias. Senyum lebar pun tersungging di wajahnya. Ia terlihat bersemangat.
“Lombok, kan? Udah lama aku mau liburan ke sana. Ajak aku aja! Pliiisssss,”
Vanessa memohon. Kali ini sinar matanya benar-benar seperti kucing yang meminta
untuk dibelai oleh majikannya.
Keane menimbang-nimbang. Ia
mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke dagunya sambil terus memandangi Vanessa.
Sebenarnya Keane hanya sok menimbang-nimbang. Jauh di lubuk hatinya, ia kini
sedang berteriak riuh rendah sambil melonjak-lonjak kegirangan saat tahu bila
Vanessa begitu antusias untuk ikut bersamanya.
“Oke, kamu lolos seleksi,” ujar Keane
sambil tersenyum lebar. Vanessa pun menyambutnya dengan tersenyum bahagia. Ia
juga sempat melonjak kegirangan. Sepintas garis senyum Vanessa itu begitu membekas
di mata Keane. Cantik, begitulah
batin Keane selalu memuja.
Ya,
Benih cinta itu tak sengaja tertanam di dalam diri Keane. Benih cinta yang
sebenarnya tak pernah ia inginkan sama sekali. Tapi, apalah daya, ia tak bisa
menolak sama sekali saat cinta itu sudah tumbuh dan merekah indah di dalam
hatinya tanpa bisa ia hentikan. Ia tak bisa mencabut begitu saja benih cinta
yang sudah terlanjur tumbuh itu. Bukankah mencabut cinta yang sudah tumbuh
memang tak semudah mencabut gigi susu? Bahkan untuk mencabut gigi susu pun kita
harus menunggunya goyang dan tak lagi kokoh terlebih dahulu, agar sakitnya tak
terlalu menyerang.
Namun,
sampai saat ini keadaan hanya mengijinkannya untuk memendam rasa cintanya pada
perempuan bermata cokelat itu. Keane hanya bisa memuja di dalam hatinya. Ia tak
pernah mengungkapkan isi hatinya yang sebenarnya karena sebuah alasan. Tak enak
memang rasanya bila harus memendam sebuah perasaan, apalagi bila sudah
berurusan soal cinta. Menyakitkan, perih, dan terkekang, begitulah kata-kata yang
selalu keluar dari mulut para pujangga bila sudah berbicara soal cinta yang
terpendam.
***
Di bawah langit yang biru dengan untaian
awan-awan kecil yang melayang di bawahnya, Vanessa tengah berpose dengan anggunnya
di antara barisan batu karang yang berwarna hitam keabu-abuan. Suara deburan
ombak yang menghantam bebatuan karang, serta hembusan angin yang membawa serta aroma
air laut menghiasi sesi pemotretan hari pertama mereka di Lombok siang itu.
Hingga senja mulai menampakkan wujudnya di kaki langit Lombok, barulah Keane
menyudahi sesi pemotretannya bersama Vanessa untuk hari itu.
“Gimana hasil fotonya?”
“Not
good,” jawab Keane sambil memasang raut wajah kecewa.
“Hah? Serius?” Vanessa tak percaya.
Beberapa
detik kemudian Keane pun terkekeh. “Bercanda, kok,” jawabnya di sela-sela
tawanya. Dan sedetik kemudian Keane yang riang berubah menjadi Keane yang
meringis menahan sakit akibat cubitan di perutnya yang ia dapatkan dari
Vanessa. Cubitan andalan perempuan saat mereka tengah sebal sehabis dikerjai.
Sore itu di bawah langit senja yang
berwarna jingga, Keane dan Vanessa memutuskan untuk menikmati senja dari sebuah
Pura yang dibangun di atas bebatuan karang di tepian pantai Senggigi. View di tempat itu begitu menawan,
apalagi bila harus menikmati senja seperti ini dengan seseorang yang spesial.
Setidaknya itulah yang saat ini dirasakan oleh Keane.
“Kenapa kamu memutuskan untuk jadi
seorang fotografer, Keane?”
“Emm... kenapa, ya?” ujar Keane ragu sembari
terus mengabadikan sunset dengan kameranya. “Mungkin karena aku selalu ingin
mengabadikan sesuatu yang indah,” lanjutnya yang sempat menoleh sejenak ke Vanessa.
“Lalu, kamu sendiri kenapa memutuskan
menjadi seorang model?” Keane gantian bertanya.
“Emm...” Vanessa mengernyitkan keningnya,
“Mungkin karena aku ingin menjadi sesuatu yang indah...,” ia berhenti sejenak. “Sesuatu
yang indah yang nanti akan diabadikan oleh orang seperti kamu,” candanya yang
langsung disambung oleh tawa mereka.
Untuk beberapa detik, sekali lagi, senyum
Vanessa mampu membius Keane. Senyum lengkungnya yang indah itu selalu mampu
membuat Keane terpaku. Ingin rasanya ia mengabadikan senyum indah itu. Bukan.
Tapi semua senyum indah yang selalu Vanessa tunjukkan tiap kali berbincang
dengannya. Ya, setidaknya itulah yang diinginkan oleh Keane. Bukan senyum yang
selalu ia perlihatkan saat harus berpose di depan lensanya sebagai model.
Baginya, senyum Vanessa laksana mentari yang perlahan turun dan tenggelam di
balik samudra. Terkesan alami, indah, dan nyata. Oleh karena itu ia begitu
ingin mengabadikannya. Walau harus diam-diam.
Sore
itu, di bawah langit senja yang berwarna jingga dengan sunset yang memantulkan
cahaya oranye kekuning-kuningan di permukaan air laut yang tampak tenang, Keane
menghabiskan sorenya dengan Vanessa. Saat itu, entah mengapa sunset bukan lagi
menjadi objek favorit bagi Keane,
melainkan Vanessa. Dan juga senyum manisnya yang merekah indah yang dapat ia
saksikan begitu dekat.
Hari
itu, kebersamaan mereka terus berlanjut hingga malam menguasai semesta. Tiap
detik, menit, bahkan tiap helaan napas yang keluar kali ini terasa begitu bermakna
bagi Keane. Ia merasa bila hidupnya begitu berwarna seperti pelangi. Mungkin
memang seperti ini rasanya bila sudah jatuh cinta. Tak peduli apakah cinta kita
hanya bertepuk sebelah tangan atau tidak. Tak peduli apakah cinta kita dapat
dirasakan olehnya atau tidak. Bagaimanapun, mencintai adalah hal terindah dan
anugerah dari sang pencipta. Maka, nikmatilah cinta itu tanpa harus memikirkan
luka.
Di
bawah langit malam yang tak berbintang, Keane menghabiskan waktunya di depan
kamar Vanessa. Kebetulan saat itu kamar Keane berada di lantai dua, tepat di
atas kamar Vanessa. Mereka duduk berdua di kursi yang terbuat dari anyaman
bambu di depan kamar Vanessa. Malam itu langit tak berbintang, namun entah
bagaimana langit tetap mampu menunjukkan keindahannya. Keane selalu kagum
dengan itu.
“Aku
selalu kagum dengan langit malam. Sekalipun ia tak berbintang ia selalu
terlihat menarik. Selalu nyaman untuk dipandang.”
Vanessa
mendongakkan kepalanya. Ia menatap langit. Perlahan senyumnya mulai merekah.
“Iya, ya. Kok aku baru menyadarinya.”
Keane
tersenyum simpul. “Kamu tahu apa yang langit malam ajarkan kepada kita?”
Vanessa
menggeleng. “Apa?”
“Ia
selalu mengajarkan tentang kesederhanaan. Tidakkah kamu lihat jika langit malam
begitu sederhana,” Keane berhenti sejenak untuk sedikit meneguk susu jahe
hangatnya. “Kesederhanaannya membuatnya sangat nyaman untuk dipandang. Ia
sangat sederhana karena hanya bulan yang menjadi sumber cahayanya. Tak ada
cahaya yang berlebihan. Tanpa bulan pun ia akan tetap menenangkan untuk
dipandangi. Tapi begitu bulan dan bintang bercahaya, maka jangan heran jika ia
menjadi sangat mengagumkan. Bulan dan bintang adalah perhiasannya.”
Vanessa
nampak mengangguk. Ia belum mengalihkan pandangannya dari langit malam. Bahkan
ia tak menyadari jika Keane memandanginya penuh kagum untuk beberapa saat.
“Rupanya
kamu orang yang memiliki pengamatan yang bagus juga, ya.”
Keane
mengernyitkan keningnya. “Maksud kamu?”
“Yaa...
kamu bisa menyimpulkan tentang langit malam sedetail itu. Hal yang mungkin
nggak disadari oleh semua orang, Kean,” ujar Vanessa memuji.
Keane
tersenyum sipu. “Tidak sebagus itu,” ujarnya merendah. Ya, tak sebagus itu,
karena hingga saat ini aku masih belum tahu apa kamu memiliki perasaan yang
sama halnya denganku atau tidak, Vanessa. Keane membatin.
Malam
itu obrolan mereka pun berlanjut hingga larut. Malam itu mejadi malam yang
panjang bagi mereka. Tapi tidak bagi Keane. Ya, baginya malam itu terlalu cepat
berlalu. Mungkin karena ia terlalu menggebu-gebu, atau karena cinta yang
membuat waktu seolah terasa begitu cepat. Bukankah orang yang sedang jatuh
cinta selalu merasakan jika waktu berjalan begitu cepat saat ia sedang bersama
cintanya.
***
“Ini apa, Kean?!!” hardik Vanessa
sambil memperlihatkan sebuah buku ke hadapan Keane yang tengah dipegangnya. Saat
itu Keane hanya bisa terpaku ketika Vanessa tiba-tiba saja menghampirinya
dengan raut wajah yang menunjukkan kemarahan. Tapi bukan kemarahan Vanessa yang
saat itu membuatnya terkesiap, melainkan bukunya yang ada di tangan Vanessa.
“Em-mm.. i-itu..,” Keane tergeragap.
Tiba-tiba saja lidahnya terasa kelu. Sepertinya Vanessa sudah tahu apa isi dari
buku yang nampak tebal dan bercover hitam itu.
“Sudahlah! Kamu nggak perlu ngomong
apa-apa lagi! Kamu tahu kan kalau aku orang yang menjunjung tinggi
profesionalitas dalam bekerja. Aku kecewa sama kamu, Keane!” hardik Vanessa
sembari membanting buku itu ke atas meja hingga menimbulkan suara yang gaduh. Ia
melempar buku itu hingga terbuka. Buku itu terbuka tepat di salah satu halaman,
di mana pada halaman itu terdapat sebuah foto saat Vanessa tengah berjalan
dengan bertelanjang kaki di tepian pantai Kuta. Foto yang diabadikannya setahun
yang lalu. Di bawah foto itu juga terdapat beberapa bait curahan hati Keane
yang ditulisnya sendiri. Ungkapan hatinya tentang kekagumannya pada Vanessa.
Ungkapan tentang cintanya.
“Sa. Tunggu, sa. Aku bisa jelasin!”
Keane merengkuh tangan Vanessa, berusaha menghentikannya yang akan pergi.
“Jelasin apa? Kamu mau ngejelasin
kalau kamu sengaja ngajak aku ke sini karena keinginan kamu untuk ngedeketin
aku, iya?!” suara Vanessa meninggi. “Licik kamu!” hardiknya seraya menunjuk
Keane.
Skakmat! Keane berusaha menyanggahnya
tapi tetap tak berhasil. Vanessa sudah tahu semuanya, termasuk perasaan Kean
yang sebenarnya kepadanya. Bego! Tolol! Kenapa buku itu bisa tertinggal semalam?!
Kean hanya bisa mengumpat dalam hati. Ia hanya bisa menyesali keteledorannya.
Vanessa pun pergi dengan sejuta amarah
dan kekecewaannya terhadap Keane. Ia memang pergi dengan amarah, tapi ia tak
sadar jika ia telah pergi meninggalkan luka. Luka yang membekas di relung hati
Keane yang paling dalam. Luka yang siap menganga kapan saja. Terutama setiap
kali Keane mengingat bagaimana murkanya Vanessa kepadanya. Bagaimana mata
cokelat yang menawan itu berubah menjadi mata yang penuh amarah. Mata yang
menatapnya penuh benci. Mata yang mengisyaratkan jika ia begitu membenci
perasaan untuknya yang terlanjur tumbuh di dalam diri Keane. Mata yang saat itu
mampu membunuh harapan dan juga perasaan Keane.
Itulah
terakhir kalinya Kean bertatap muka dengan Vanessa sebelum akhirnya Kean lebih
memilih resign sebagai seorang
fotografer di majalah fashion tempatnya bekerja begitu mereka kembali dari
Lombok. Keane merasa bila ia memang bukanlah orang yang bisa profesional dalam
bekerja. Ia tak bisa bila harus bertemu dengan Vanessa, menatap matanya saat harus
membidiknya dengan kameranya, dan menerima tatapan Vanessa yang kosong saat
menatapnya, bahkan benci. Keane tak bisa bila harus bekerja seperti itu. Ia tak
‘kan sanggup. Maka ia pun lebih memilih pergi untuk beberapa saat. Atau mungkin
untuk selamanya. Ya, sepertinya memang untuk selamanya. Ia mengasingkan
dirinya. Ia berharap semoga cintanya yang telah terlanjur tumbuh itu perlahan
bisa layu, kering, tumbang, dan mati, layaknya pohon cemara yang hidup di gurun
sahara. Akan mati dan mengering.
Di
dalam pengasingannya, masih terngiang jelas semua ucapan Vanessa di benaknya.
Bahkan masih melekat betul bagaimana perempuan itu begitu benci menatapnya saat
itu. Tapi yang paling diingatnya saat itu atalah ucapan Vanessa soal
profesionalitas. Ya, profesionalitas dalam bekerja. Keane pun membatin penuh
tanya.
Apa
perlu kita lebih memilih menjunjung tinggi profesionalitas ketimbang kata hati?
Bagaimana bila tiba-tiba cinta itu datang menghampiri dengan menggebu-gebu?
Bukankah cinta datang di saat dan waktu yang tak terduga. Bahkan tanpa permisi.
Lalu, apakah profesionalitas dalam bekerja itu bisa jauh lebih penting bila
sudah berurusan dengan cinta? Tapi, bukankah kekuatan cinta itu jauh lebih
besar dari aturan yang ada. Apalagi hanya aturan soal profesionalitas dalam
bekerja. Ya, kekuatan cinta bisa begitu besar. Cinta bisa membuat orang
melanggar aturan yang berlaku menurut budayanya, bahkan menurut agamanya. Ya,
bukankah kekuatan cinta bisa sebesar itu. Lalu, mengapa untuk melanggar aturan
dalam bekerja saja ia tak mampu? Mungkin karena cintanya yang hanya bertepuk
sebelah tangan.
Kini,
Keane hanya bisa menyerahkan semuanya kepada sang waktu. Biarkan waktu yang
menjawabnya. Menjawab semua kegundahan yang kini bersarang di relung hatinya
yang paling dalam. Lagipula, bukankah sang waktu juga yang telah mempertemukan
mereka dan membuat mereka semakin dekat, hingga cinta itu dapat tumbuh dan
bersemi. Walau hanya di satu sisi.
***
Tepat di sebuah Pura yang dibangun di
atas batuan karang di tepian pantai Senggigi, Keane tengah mengabadikan sunset
dengan kameranya. Kali ini tak ada Vanessa, maupun senyum manisnya yang
menemani Keane. Hanya ada suara ombak yang menggulung dan angin dengan aroma
air laut yang menemaninya untuk menikmati sunset sore ini. Keane kembali ke
tempat ini untuk berlibur sekaligus mengenang saat-saat itu. Tepatnya setahun
yang lalu. Baginya tempat ini sangatlah berarti. Walau saat itu hanya sebentar,
tapi begitu membekas di benaknya. Mungkin itulah yang disebut dengan kenangan.
Saat mentari semakin terbenam dan
senja mulai terlihat pudar, Keane merasakan sebuah getaran di sekitar pahanya.
Ternyata getaran itu berasal dari ponselnya yang ia taruh di saku celananya. Keane
meraih ponselnya dan keningnya sempat mengerut saat ia sadar hanya ada
rangkaian nomor telepon di layar ponselnya. Tak ada nama.
Keane mengangkat telponnya.
“Hai, Keane. Apa kabar? Sudah lama
juga ya nggak mendengar suara kamu.”
Keane terpaku untuk beberapa saat. Bibirnya
mendadak kelu untuk beberapa saat. Suara di balik telepon ini terdengar akrab
di telinganya. Ia seperti mengenalinya.
“Kok, diem aja? Udah lupa ya dengan
suaraku? Wajar sih, setahun kita sudah nggak saling bicara.”
“Va-Vanessa?”
“Oh, ternyata kamu masih ingat. Aku
pikir kamu sudah lupa denganku.”
“Mana mungkin aku bisa melupakanmu,” jawabnya
seraya tertawa pelan. Di balik telepon itu Vanessa juga terdengar sedang
tertawa. “Ada apa kamu menelpon?”
“Aku mau mengembalikan bukumu yang
tertinggal di ruang kerjamu saat kamu resign.
Si bos sempat ingin membuangnya, tapi karena aku tahu buku ini berarti untukmu
jadi kuputuskan untuk menyimpannya.”
Buku? Keane mengernyitkan keningnya.
Ia berusaha mengingatnya. Ah, sial! Album fotoku yang berisikan foto Vanessa!
Keane menepuk jidatnya. Pantas saja album itu tak bisa kutemukan di kamarku!
Keane membatin.
“Nggak apa-apa, sa. Simpan aja. Anggap
aja itu kenangan dari aku.”
“Oohh, ya udah kalau itu mau kamu,”
Vanessa terdengar kecewa. “Oh, iya. Aku pikir kamu tadi terlalu banyak mengabadikan
sunset dengan kameramu. Cobalah untuk sesekali kamu menikmati sunset tanpa
kameramu. Bukankah sunset terlihat sangat indah bila dilihat dari tempatmu
berdiri sekarang.”
Keane terperanjat. Spontan ia membalikkan
tubuhnya. Matanya menerawang melihat sekitar. Kosong. Tak ada seorang pun di
sana. Hanya ada dirinya yang sendirian bersama bayangannya di tempatnya berada
sekarang ini. Lalu, bagaimana bisa dia? Keane kembali mendekatkan ponselnya ke
telinganya. Tuut... Tutt... Tuut...
Kini yang terdengar hanyalah nada sibuk. Keane kembali memerhatikan sekitar dan
beberapa saat kemudian matanya melihat sesuatu di kejauhan. Ada orang lain di
kejauhan yang berjalan menyisiri tepian pantai Senggigi dengan bertelanjang
kaki. Orang itu berjalan sendirian di bawah langit senja pantai Senggigi. Ia
berjalan menjauh dari tempat Keane berada saat ini. Rambut panjangnya nampak
menari-nari di udara tersapu angin laut yang sore itu berhembus cukup kencang. Keane
memicingkan matanya untuk memastikan orang di kejauhan itu. Ia pun membatin.
Mungkinkah
itu...
-Sekian-
"Tak peduli apakah cinta kita hanya bertepuk sebelah tangan atau tidak. Tak peduli apakah cinta kita dapat dirasakan olehnya atau tidak. Bagaimanapun, mencintai adalah hal terindah dan anugerah dari sang pencipta. Maka, nikmatilah cinta itu tanpa harus memikirkan luka." <astagaastagaa:')
BalasHapusKeren bgtbgt cerpennya:')
Thanks :')
HapusIni juga keren, Kak. Alurnya ngalir, endingnya nyess bgt :D
BalasHapus