[Cerpen] Langit Senja Pantai Senggigi


(gambar: www.infolombok.net)
Suara jepretan kamera terdengar samar bersautan dengan silau flash yang selalu saja mengerjap tiap kali Keane menekan tombol shutter pada kamera DSLR-nya. Tepat di depan kamera, seorang model wanita tengah berpose sesuai dengan instruksi Keane sebelumnya. Siang itu di dalam studio foto, Keane menjalani aktivitas seperti biasanya, yaitu menjadi seorang fotografer untuk majalah fashion.
“Oke, good! Kita break dulu 15 menit, ya!” seru Keane setelah merasa cukup puas dengan hasil jepretannya. Ia pun kemudian mengangkat kameranya dari sebuah tripod dan melangkahkan kakinya menuju tempat duduknya. Melalui LCD kameranya, Keane mulai melihat-lihat kembali hasil bidikannya tadi. Ia melihat satu persatu hasil fotonya dengan detail. Matanya fokus melihat hasil jepretannya. Namun, saat Keane tengah fokus untuk melihat foto-foto yang ada di kameranya tiba-tiba saja ia mendengar bisikan di telinganya.
“Gimana hasil fotonya?” bisikan yang cukup membuat Keane bergidik ketika mendengarnya. Tepatnya lebih membuat libidonya naik saat mendengarnya. Suara yang sedikit parau, namun terdengar merdu.
“Yahh... seperti biasa. Banyak yang cantik tapi jarang yang menjiwai seperti kamu,” ujar Keane memuji. “Seperti...”
“Seperti melihat foto benda mati. Nyata, tapi nggak pernah hidup dan bernyawa, kan?” sambar perempuan itu memotong ucapan Keane. Ia pun menunjukkan senyum lengkungnya.
Nyata tapi nggak pernah hidup dan bernyawa, kalimat yang pernah diucapkan oleh Keane sebelumnya kepadanya. Tepatnya ketika pertamakalinya ia menjadi model untuk Keane.
“Yap!” seru Keane sembari menganggukkan kepalanya. “Lebih baik kamu sekarang siap-siap dulu. 30 menit lagi giliran kamu,” Keane menunjukkan arloji kecil yang melingkar di lengan kirinya.
“Siap, bos!” seru perempuan itu sembari menaruh tangannya ke keningnya. Ia membuat sikap layaknya sedang hormat. Lalu, ia pun melangkah pergi setelah sebelumnya sempat menunjukkan kembali senyum manisnya kepada Keane. Sebuah senyum lengkung yang menawan di mata Keane.
Namanya adalah Vanessa, seorang model yang telah lama dikenal Keane. Baginya, Vanessa adalah seorang model yang berbeda dari model-model kebanyakan. Ia seperti bunga momo yang tumbuh di antara bunga-bunga sakura yang bermekaran di musim semi. Terlihat sama secara kasat mata, tapi sebenarnya berbeda. Ia lebih terlihat cantik karena bentuk mahkota bunganya yang lebih runcing dan indah dibandingkan sakura. Dan bagi Keane, mahkota bunga momo yang runcing itu selalu mengingatkan ia kepada Vanessa; jika model yang satu itu memiliki kecantikan luar biasa yang tak bisa dilihat secara kasat mata. Ia memiliki kecantikan dengan detail yang luar biasa. Kecantikan yang tak hanya ada pada fisiknya, tapi juga pada sikap dan juga pemikirannya. Itu menurut Keane.
Dan bagi Keane letak keindahan Vanessa ada di matanya. Perempuan berambut ikal itu memiliki bola mata berwarna cokelat. Mata itu seolah bisa bicara. Mata yang selalu menunjukkan kejujuran. Tatapannya seperti kucing; tajam, namun tetap menawan. Matanya itu selalu mampu membuat Keane terbius hingga membuat Kaeane tak ingin lekas berkedip tiap kali matanya bertemu dengan mata Vanessa. Pernah Vanessa merasa terganggu oleh pandangan mata Keane yang tak mau lepas darinya. Bahkan Vanessa sampai menegur Keane karena hal itu.
“Sori, ya, mas. Bisa nggak anda singkirin tatapan mata anda itu dari saya?”
“Emmm... Siapa yang menatap ke mbak? Dari tadi mata saya hanya tertuju ke lukisan yang ada di belakang mbak,” sanggah Keane seraya melirik ke sebuah lukisan yang tergantung di dinding cafe. Lukisan seorang Ibu yang tengah menyusui anaknya. Dan saat Vanessa melihat lukisan itu, ia makin menancapkan tatapan sinisnya kepada Keane.
“Oohh! Jadi anda menjadikan saya sebagai objek imajinasi anda yang kotor itu?! Dasar cowok brengsek!”
Plak! Tamparan pun mendarat di pipi kiri Keane dan Vanessa seketika melengos dengan meninggalkan jejak merah di pipi Keane. Jejak tangan yang cukup membuat Keane merasakan nyeri, dan juga malu karena saat itu banyak pengunjung cafe yang melihatnya ditampar oleh seorang perempuan yang ia sendiri bahkan tak tahu namanya.
Ya, itulah pertama kalinya Keane mengenal Vanessa hingga akhirnya mereka pun bertemu kembali di sebuah studio foto saat Vanessa menjadi model untuk cover majalah fashion. Pertemuan yang tak terduga sebelumnya. Keane tak pernah mengira ia akan kembali bertemu dengan perempuan yang pernah menamparnya dan pernah membuatnya menahan malu. Dan Vanessa juga tak pernah mengira jika ia akan menjadi model dari pria yang pernah dituduhnya memiliki otak mesum.
Namun, seringnya waktu yang mempertemukan mereka baik di studio foto ataupun di outdoor rupanya telah membuat mereka semakin akrab dan dekat. Membuat mereka semakin sering menghabiskan waktu berdua saat sama-sama menekuni profesi mereka masing-masing. Perkenalan mereka pun berlanjut hingga sekarang. Dan tanpa mereka sadari, ada benih cinta yang secara tak sengaja tertanam di dalam diri mereka. Tepatnya salah satu dari mereka. Ya, hanya salah satu dari mereka.
“Minggu depan kamu ada waktu kosong, sa?” tanya Keane di tengah-tengah obrolan santainya dengan Vanessa sehabis sesi pemotretan.
“Emm... Ada sih, kayaknya. Kenapa memang?”
Keane mendeham pelan. Ia membenarkan posisi duduknya. “Jadi, gini. Minggu depan aku ada project baru. Pemotretan di Lombok dan sekalian diminta oleh pihak sana untuk sekaligus mempromosikan tempat-tempat wisata yang ada di Lombok,” Vanessa masih memerhatikan Keane dengan seksama. Tangan kanannya masih menopang dagunya dengan siku yang menempel di meja.
“Dan aku masih bingung kira-kira siapa yang pantes aku jadiin model.”
“Aku mau!!” seru Vanessa dengan penuh antusias. Senyum lebar pun tersungging di wajahnya. Ia terlihat bersemangat. “Lombok, kan? Udah lama aku mau liburan ke sana. Ajak aku aja! Pliiisssss,” Vanessa memohon. Kali ini sinar matanya benar-benar seperti kucing yang meminta untuk dibelai oleh majikannya.
Keane menimbang-nimbang. Ia mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke dagunya sambil terus memandangi Vanessa. Sebenarnya Keane hanya sok menimbang-nimbang. Jauh di lubuk hatinya, ia kini sedang berteriak riuh rendah sambil melonjak-lonjak kegirangan saat tahu bila Vanessa begitu antusias untuk ikut bersamanya.
“Oke, kamu lolos seleksi,” ujar Keane sambil tersenyum lebar. Vanessa pun menyambutnya dengan tersenyum bahagia. Ia juga sempat melonjak kegirangan. Sepintas garis senyum Vanessa itu begitu membekas di mata Keane. Cantik, begitulah batin Keane selalu memuja.
Ya, Benih cinta itu tak sengaja tertanam di dalam diri Keane. Benih cinta yang sebenarnya tak pernah ia inginkan sama sekali. Tapi, apalah daya, ia tak bisa menolak sama sekali saat cinta itu sudah tumbuh dan merekah indah di dalam hatinya tanpa bisa ia hentikan. Ia tak bisa mencabut begitu saja benih cinta yang sudah terlanjur tumbuh itu. Bukankah mencabut cinta yang sudah tumbuh memang tak semudah mencabut gigi susu? Bahkan untuk mencabut gigi susu pun kita harus menunggunya goyang dan tak lagi kokoh terlebih dahulu, agar sakitnya tak terlalu menyerang.
Namun, sampai saat ini keadaan hanya mengijinkannya untuk memendam rasa cintanya pada perempuan bermata cokelat itu. Keane hanya bisa memuja di dalam hatinya. Ia tak pernah mengungkapkan isi hatinya yang sebenarnya karena sebuah alasan. Tak enak memang rasanya bila harus memendam sebuah perasaan, apalagi bila sudah berurusan soal cinta. Menyakitkan, perih, dan terkekang, begitulah kata-kata yang selalu keluar dari mulut para pujangga bila sudah berbicara soal cinta yang terpendam.
***
Di bawah langit yang biru dengan untaian awan-awan kecil yang melayang di bawahnya, Vanessa tengah berpose dengan anggunnya di antara barisan batu karang yang berwarna hitam keabu-abuan. Suara deburan ombak yang menghantam bebatuan karang, serta hembusan angin yang membawa serta aroma air laut menghiasi sesi pemotretan hari pertama mereka di Lombok siang itu. Hingga senja mulai menampakkan wujudnya di kaki langit Lombok, barulah Keane menyudahi sesi pemotretannya bersama Vanessa untuk hari itu.
“Gimana hasil fotonya?”
Not good,” jawab Keane sambil memasang raut wajah kecewa.
“Hah? Serius?” Vanessa tak percaya.
Beberapa detik kemudian Keane pun terkekeh. “Bercanda, kok,” jawabnya di sela-sela tawanya. Dan sedetik kemudian Keane yang riang berubah menjadi Keane yang meringis menahan sakit akibat cubitan di perutnya yang ia dapatkan dari Vanessa. Cubitan andalan perempuan saat mereka tengah sebal sehabis dikerjai.
Sore itu di bawah langit senja yang berwarna jingga, Keane dan Vanessa memutuskan untuk menikmati senja dari sebuah Pura yang dibangun di atas bebatuan karang di tepian pantai Senggigi. View di tempat itu begitu menawan, apalagi bila harus menikmati senja seperti ini dengan seseorang yang spesial. Setidaknya itulah yang saat ini dirasakan oleh Keane.
“Kenapa kamu memutuskan untuk jadi seorang fotografer, Keane?”
“Emm... kenapa, ya?” ujar Keane ragu sembari terus mengabadikan sunset dengan kameranya. “Mungkin karena aku selalu ingin mengabadikan sesuatu yang indah,” lanjutnya yang sempat menoleh sejenak ke Vanessa.
“Lalu, kamu sendiri kenapa memutuskan menjadi seorang model?” Keane gantian bertanya.
“Emm...” Vanessa mengernyitkan keningnya, “Mungkin karena aku ingin menjadi sesuatu yang indah...,” ia berhenti sejenak. “Sesuatu yang indah yang nanti akan diabadikan oleh orang seperti kamu,” candanya yang langsung disambung oleh tawa mereka.
Untuk beberapa detik, sekali lagi, senyum Vanessa mampu membius Keane. Senyum lengkungnya yang indah itu selalu mampu membuat Keane terpaku. Ingin rasanya ia mengabadikan senyum indah itu. Bukan. Tapi semua senyum indah yang selalu Vanessa tunjukkan tiap kali berbincang dengannya. Ya, setidaknya itulah yang diinginkan oleh Keane. Bukan senyum yang selalu ia perlihatkan saat harus berpose di depan lensanya sebagai model. Baginya, senyum Vanessa laksana mentari yang perlahan turun dan tenggelam di balik samudra. Terkesan alami, indah, dan nyata. Oleh karena itu ia begitu ingin mengabadikannya. Walau harus diam-diam.
Sore itu, di bawah langit senja yang berwarna jingga dengan sunset yang memantulkan cahaya oranye kekuning-kuningan di permukaan air laut yang tampak tenang, Keane menghabiskan sorenya dengan Vanessa. Saat itu, entah mengapa sunset bukan lagi menjadi objek favorit bagi Keane, melainkan Vanessa. Dan juga senyum manisnya yang merekah indah yang dapat ia saksikan begitu dekat.
Hari itu, kebersamaan mereka terus berlanjut hingga malam menguasai semesta. Tiap detik, menit, bahkan tiap helaan napas yang keluar kali ini terasa begitu bermakna bagi Keane. Ia merasa bila hidupnya begitu berwarna seperti pelangi. Mungkin memang seperti ini rasanya bila sudah jatuh cinta. Tak peduli apakah cinta kita hanya bertepuk sebelah tangan atau tidak. Tak peduli apakah cinta kita dapat dirasakan olehnya atau tidak. Bagaimanapun, mencintai adalah hal terindah dan anugerah dari sang pencipta. Maka, nikmatilah cinta itu tanpa harus memikirkan luka.
Di bawah langit malam yang tak berbintang, Keane menghabiskan waktunya di depan kamar Vanessa. Kebetulan saat itu kamar Keane berada di lantai dua, tepat di atas kamar Vanessa. Mereka duduk berdua di kursi yang terbuat dari anyaman bambu di depan kamar Vanessa. Malam itu langit tak berbintang, namun entah bagaimana langit tetap mampu menunjukkan keindahannya. Keane selalu kagum dengan itu.
“Aku selalu kagum dengan langit malam. Sekalipun ia tak berbintang ia selalu terlihat menarik. Selalu nyaman untuk dipandang.”
Vanessa mendongakkan kepalanya. Ia menatap langit. Perlahan senyumnya mulai merekah. “Iya, ya. Kok aku baru menyadarinya.”
Keane tersenyum simpul. “Kamu tahu apa yang langit malam ajarkan kepada kita?”
Vanessa menggeleng. “Apa?”
“Ia selalu mengajarkan tentang kesederhanaan. Tidakkah kamu lihat jika langit malam begitu sederhana,” Keane berhenti sejenak untuk sedikit meneguk susu jahe hangatnya. “Kesederhanaannya membuatnya sangat nyaman untuk dipandang. Ia sangat sederhana karena hanya bulan yang menjadi sumber cahayanya. Tak ada cahaya yang berlebihan. Tanpa bulan pun ia akan tetap menenangkan untuk dipandangi. Tapi begitu bulan dan bintang bercahaya, maka jangan heran jika ia menjadi sangat mengagumkan. Bulan dan bintang adalah perhiasannya.”
Vanessa nampak mengangguk. Ia belum mengalihkan pandangannya dari langit malam. Bahkan ia tak menyadari jika Keane memandanginya penuh kagum untuk beberapa saat.
“Rupanya kamu orang yang memiliki pengamatan yang bagus juga, ya.”
Keane mengernyitkan keningnya. “Maksud kamu?”
“Yaa... kamu bisa menyimpulkan tentang langit malam sedetail itu. Hal yang mungkin nggak disadari oleh semua orang, Kean,” ujar Vanessa memuji.
Keane tersenyum sipu. “Tidak sebagus itu,” ujarnya merendah. Ya, tak sebagus itu, karena hingga saat ini aku masih belum tahu apa kamu memiliki perasaan yang sama halnya denganku atau tidak, Vanessa. Keane membatin.
Malam itu obrolan mereka pun berlanjut hingga larut. Malam itu mejadi malam yang panjang bagi mereka. Tapi tidak bagi Keane. Ya, baginya malam itu terlalu cepat berlalu. Mungkin karena ia terlalu menggebu-gebu, atau karena cinta yang membuat waktu seolah terasa begitu cepat. Bukankah orang yang sedang jatuh cinta selalu merasakan jika waktu berjalan begitu cepat saat ia sedang bersama cintanya.
***
“Ini apa, Kean?!!” hardik Vanessa sambil memperlihatkan sebuah buku ke hadapan Keane yang tengah dipegangnya. Saat itu Keane hanya bisa terpaku ketika Vanessa tiba-tiba saja menghampirinya dengan raut wajah yang menunjukkan kemarahan. Tapi bukan kemarahan Vanessa yang saat itu membuatnya terkesiap, melainkan bukunya yang ada di tangan Vanessa.
“Em-mm.. i-itu..,” Keane tergeragap. Tiba-tiba saja lidahnya terasa kelu. Sepertinya Vanessa sudah tahu apa isi dari buku yang nampak tebal dan bercover hitam itu.
 “Sudahlah! Kamu nggak perlu ngomong apa-apa lagi! Kamu tahu kan kalau aku orang yang menjunjung tinggi profesionalitas dalam bekerja. Aku kecewa sama kamu, Keane!” hardik Vanessa sembari membanting buku itu ke atas meja hingga menimbulkan suara yang gaduh. Ia melempar buku itu hingga terbuka. Buku itu terbuka tepat di salah satu halaman, di mana pada halaman itu terdapat sebuah foto saat Vanessa tengah berjalan dengan bertelanjang kaki di tepian pantai Kuta. Foto yang diabadikannya setahun yang lalu. Di bawah foto itu juga terdapat beberapa bait curahan hati Keane yang ditulisnya sendiri. Ungkapan hatinya tentang kekagumannya pada Vanessa. Ungkapan tentang cintanya.
 “Sa. Tunggu, sa. Aku bisa jelasin!” Keane merengkuh tangan Vanessa, berusaha menghentikannya yang akan pergi.
 “Jelasin apa? Kamu mau ngejelasin kalau kamu sengaja ngajak aku ke sini karena keinginan kamu untuk ngedeketin aku, iya?!” suara Vanessa meninggi. “Licik kamu!” hardiknya seraya menunjuk Keane.
 Skakmat! Keane berusaha menyanggahnya tapi tetap tak berhasil. Vanessa sudah tahu semuanya, termasuk perasaan Kean yang sebenarnya kepadanya. Bego! Tolol! Kenapa buku itu bisa tertinggal semalam?! Kean hanya bisa mengumpat dalam hati. Ia hanya bisa menyesali keteledorannya.
 Vanessa pun pergi dengan sejuta amarah dan kekecewaannya terhadap Keane. Ia memang pergi dengan amarah, tapi ia tak sadar jika ia telah pergi meninggalkan luka. Luka yang membekas di relung hati Keane yang paling dalam. Luka yang siap menganga kapan saja. Terutama setiap kali Keane mengingat bagaimana murkanya Vanessa kepadanya. Bagaimana mata cokelat yang menawan itu berubah menjadi mata yang penuh amarah. Mata yang menatapnya penuh benci. Mata yang mengisyaratkan jika ia begitu membenci perasaan untuknya yang terlanjur tumbuh di dalam diri Keane. Mata yang saat itu mampu membunuh harapan dan juga perasaan Keane.
Itulah terakhir kalinya Kean bertatap muka dengan Vanessa sebelum akhirnya Kean lebih memilih resign sebagai seorang fotografer di majalah fashion tempatnya bekerja begitu mereka kembali dari Lombok. Keane merasa bila ia memang bukanlah orang yang bisa profesional dalam bekerja. Ia tak bisa bila harus bertemu dengan Vanessa, menatap matanya saat harus membidiknya dengan kameranya, dan menerima tatapan Vanessa yang kosong saat menatapnya, bahkan benci. Keane tak bisa bila harus bekerja seperti itu. Ia tak ‘kan sanggup. Maka ia pun lebih memilih pergi untuk beberapa saat. Atau mungkin untuk selamanya. Ya, sepertinya memang untuk selamanya. Ia mengasingkan dirinya. Ia berharap semoga cintanya yang telah terlanjur tumbuh itu perlahan bisa layu, kering, tumbang, dan mati, layaknya pohon cemara yang hidup di gurun sahara. Akan mati dan mengering.
Di dalam pengasingannya, masih terngiang jelas semua ucapan Vanessa di benaknya. Bahkan masih melekat betul bagaimana perempuan itu begitu benci menatapnya saat itu. Tapi yang paling diingatnya saat itu atalah ucapan Vanessa soal profesionalitas. Ya, profesionalitas dalam bekerja. Keane pun membatin penuh tanya.
Apa perlu kita lebih memilih menjunjung tinggi profesionalitas ketimbang kata hati? Bagaimana bila tiba-tiba cinta itu datang menghampiri dengan menggebu-gebu? Bukankah cinta datang di saat dan waktu yang tak terduga. Bahkan tanpa permisi. Lalu, apakah profesionalitas dalam bekerja itu bisa jauh lebih penting bila sudah berurusan dengan cinta? Tapi, bukankah kekuatan cinta itu jauh lebih besar dari aturan yang ada. Apalagi hanya aturan soal profesionalitas dalam bekerja. Ya, kekuatan cinta bisa begitu besar. Cinta bisa membuat orang melanggar aturan yang berlaku menurut budayanya, bahkan menurut agamanya. Ya, bukankah kekuatan cinta bisa sebesar itu. Lalu, mengapa untuk melanggar aturan dalam bekerja saja ia tak mampu? Mungkin karena cintanya yang hanya bertepuk sebelah tangan.
Kini, Keane hanya bisa menyerahkan semuanya kepada sang waktu. Biarkan waktu yang menjawabnya. Menjawab semua kegundahan yang kini bersarang di relung hatinya yang paling dalam. Lagipula, bukankah sang waktu juga yang telah mempertemukan mereka dan membuat mereka semakin dekat, hingga cinta itu dapat tumbuh dan bersemi. Walau hanya di satu sisi.
***
 Tepat di sebuah Pura yang dibangun di atas batuan karang di tepian pantai Senggigi, Keane tengah mengabadikan sunset dengan kameranya. Kali ini tak ada Vanessa, maupun senyum manisnya yang menemani Keane. Hanya ada suara ombak yang menggulung dan angin dengan aroma air laut yang menemaninya untuk menikmati sunset sore ini. Keane kembali ke tempat ini untuk berlibur sekaligus mengenang saat-saat itu. Tepatnya setahun yang lalu. Baginya tempat ini sangatlah berarti. Walau saat itu hanya sebentar, tapi begitu membekas di benaknya. Mungkin itulah yang disebut dengan kenangan.
 Saat mentari semakin terbenam dan senja mulai terlihat pudar, Keane merasakan sebuah getaran di sekitar pahanya. Ternyata getaran itu berasal dari ponselnya yang ia taruh di saku celananya. Keane meraih ponselnya dan keningnya sempat mengerut saat ia sadar hanya ada rangkaian nomor telepon di layar ponselnya. Tak ada nama.
 Keane mengangkat telponnya.
 “Hai, Keane. Apa kabar? Sudah lama juga ya nggak mendengar suara kamu.”
 Keane terpaku untuk beberapa saat. Bibirnya mendadak kelu untuk beberapa saat. Suara di balik telepon ini terdengar akrab di telinganya. Ia seperti mengenalinya.
 “Kok, diem aja? Udah lupa ya dengan suaraku? Wajar sih, setahun kita sudah nggak saling bicara.”
 “Va-Vanessa?”
 “Oh, ternyata kamu masih ingat. Aku pikir kamu sudah lupa denganku.”
 “Mana mungkin aku bisa melupakanmu,” jawabnya seraya tertawa pelan. Di balik telepon itu Vanessa juga terdengar sedang tertawa. “Ada apa kamu menelpon?”
 “Aku mau mengembalikan bukumu yang tertinggal di ruang kerjamu saat kamu resign. Si bos sempat ingin membuangnya, tapi karena aku tahu buku ini berarti untukmu jadi kuputuskan untuk menyimpannya.”
 Buku? Keane mengernyitkan keningnya. Ia berusaha mengingatnya. Ah, sial! Album fotoku yang berisikan foto Vanessa! Keane menepuk jidatnya. Pantas saja album itu tak bisa kutemukan di kamarku! Keane membatin.
 “Nggak apa-apa, sa. Simpan aja. Anggap aja itu kenangan dari aku.”
 “Oohh, ya udah kalau itu mau kamu,” Vanessa terdengar kecewa. “Oh, iya. Aku pikir kamu tadi terlalu banyak mengabadikan sunset dengan kameramu. Cobalah untuk sesekali kamu menikmati sunset tanpa kameramu. Bukankah sunset terlihat sangat indah bila dilihat dari tempatmu berdiri sekarang.”
 Keane terperanjat. Spontan ia membalikkan tubuhnya. Matanya menerawang melihat sekitar. Kosong. Tak ada seorang pun di sana. Hanya ada dirinya yang sendirian bersama bayangannya di tempatnya berada sekarang ini. Lalu, bagaimana bisa dia? Keane kembali mendekatkan ponselnya ke telinganya. Tuut... Tutt... Tuut... Kini yang terdengar hanyalah nada sibuk. Keane kembali memerhatikan sekitar dan beberapa saat kemudian matanya melihat sesuatu di kejauhan. Ada orang lain di kejauhan yang berjalan menyisiri tepian pantai Senggigi dengan bertelanjang kaki. Orang itu berjalan sendirian di bawah langit senja pantai Senggigi. Ia berjalan menjauh dari tempat Keane berada saat ini. Rambut panjangnya nampak menari-nari di udara tersapu angin laut yang sore itu berhembus cukup kencang. Keane memicingkan matanya untuk memastikan orang di kejauhan itu. Ia pun membatin.
 Mungkinkah itu...

-Sekian-

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

3 Responses to [Cerpen] Langit Senja Pantai Senggigi

  1. "Tak peduli apakah cinta kita hanya bertepuk sebelah tangan atau tidak. Tak peduli apakah cinta kita dapat dirasakan olehnya atau tidak. Bagaimanapun, mencintai adalah hal terindah dan anugerah dari sang pencipta. Maka, nikmatilah cinta itu tanpa harus memikirkan luka." <astagaastagaa:')
    Keren bgtbgt cerpennya:')

    BalasHapus
  2. Ini juga keren, Kak. Alurnya ngalir, endingnya nyess bgt :D

    BalasHapus

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.