[Cerpen] Rasi Bintang Gemini, Taurus dan Cancer


            Jam lima lewat lima belas, masih setengah jam lagi, bisikku dalam hati yang baru saja menelisik jam analog yang melingkar di lengan kiriku. Sudah lama juga rupanya aku di sini. Benar kata orang jika waktu akan bergerak begitu cepat bila kita terlalu menikmatinya. Seperti aku saat ini. Aku terlalu menikmati waktu yang kuhabiskan bersenda gurau bersama teman-teman semasa SMA-ku. Duduk bersama di satu meja, bernostalgia dengan ketololan-ketololan dulu, tergelak sesukanya seolah menertawai kebodohan-kebodohan kita dulu. Ya, kita─aku dan kamu. Aku harap kamu akan datang di acara reuni kecil ini yang selalu ada hampir di setiap tahunnya, saat bulan ramadan menyapa. Ya, aku masih menunggumu.
            Apa kamu masih ingat denganku, Fan? Ah, pertanyaan yang bodoh. Aku yakin kamu masih sangat ingat denganku kecuali jika mendadak kamu terserang alzheimer, karena baru kemarin kita bertatap muka melalui Skype. Tapi, bukan itu maksud pertanyaanku. Maksudku, apa kamu masih ingat dengan semua waktu yang pernah kita habiskan bersama semasa SMA dulu? Ya, kita─aku dan kamu.
            Ah, sial! Kata-kata itu selalu melekat di benakku. Apa kata-kata kita itu cocok untuk menggambarkan kita yang sekarang ini? Kita yang masih menjaga tali silaturahim walau jarak tetap memisahkan kita di antara dua negara yang berbeda. Aku di negara kelahiranku, Indonesia, sedangkan kamu di negara kelahiran Kanguru, Australia. Tapi, kurasa kita yang sekarang ini masih kita yang dulu, dan tak ‘kan pernah menjadi kita dalam arti sebenarnya. Ah, sudahlah. Sepertinya terlalu banyak kata kita dapat membuat kepalaku jadi pusing sebelah.

            “Dera. Gue denger-denger Fani udah pulang dari Australia?” temanku Doni bertanya padaku. Wajahnya nampak semringah saat mendengar kabar burung yang entah dari mana ia terima.
            “Katanya, sih,” jawabku datar.
            “Gue denger-denger lo masih sering komunikasi sama dia, ya?” tanyanya lagi yang kini makin melekatkan pandangannya ke arahku.
            Aku mengernyitkan keningku. Mengapa orang ini bisa banyak mendengar kabar yang bahkan aku sendiri belum pernah mengatakannya kepada siapapun? Apa dia ini cenayang, atau semacam anak indigo yang dapat berkomunikasi dengan makhluk halus sehingga dia banyak mendengar kabar angin?
            “Iya. Masih, tapi cuma gitu-gitu aja,” jawabku dengan nada yang masih sama.
            “Eh-eh. Gue denger-denger dia sekarang udah banyak berubah, ya, Der?” sahut Andien.
            “Iya. Katanya sekarang dia makin modis gitu.” Riani tak mau ketinggalan.
            Semakin lama gosip tentangmu pun merembet di antara kami. Mereka semakin asik membicarakanmu yang selalu diawali dengan kalimat katanya dan gue denger-denger. Kamu tahu apa yang kulakukan saat ini? Aku hanya duduk diam sembari sesekali menggaruk-garuk kepalaku saat mendengarkan mereka yang terus saja menggosip tentangmu. Membuatku berharap agar kamu cepat datang!
            Sekali lagi kumenelisik jam analog di lengan kiriku. Sepuluh menit lagi sudah waktunya untuk berbuka puasa, tapi batang hidungmu saja belum kulihat hingga detik ini. Aku mengambil ponselku dan membuka pesan yang baru saja kukirimkan padamu. Dahiku mengerut. Pesan itu benar sudah terkirim sekitar lima belas menit yang lalu. Aku menimbang-nimbang sejenak. Mencoba berpikir untuk menelponmu atau tidak. Tapi, pada akhirnya aku pun segera menelponmu.
            Sudah dua kali aku mencoba menghubungimu tapi tak ada jawaban darimu. Sudah kubilang untuk kujemput, tapi kamu malah menolaknya. Awas saja kalau sampai tak datang! Aku menggerutu dalam hati. Menaruh kesal padamu! Tapi, baru saja aku menaruh kembali ponselku di saku celanaku, tiba-tiba saja Riani memekik.
            “Faniii!!!” Riani memekik hingga membuat semua orang di dalam tempat makan ini menengok ke arahmu. Ya, ke arahmu yang baru saja datang dan langsung disambut oleh pelukan Riani. Teman yang sangat dekat denganmu dulu.
            “Ya, ampun, Fani. Lo sekarang udah bener-bener beda, ya!” Riani berseru takjub.
            “Iya, lho! Makin semok!” sahut Diana yang ikut menghampirimu. Mereka, teman-teman perempuan menghampirimu dan memberikan ribuan pujian padamu. Sedangkan teman-teman pria hanya duduk seraya mengagumi perubahanmu. Mata mereka menyorot padamu. Nampak berbinar-binar, seperti bayi yang melihat sebotol susu dihadapannya ketika sudah sangat lapar. Sementara aku, hanya duduk di tempaku berada, tak beranjak sedikit pun seraya memandangi pipimu yang memerah. Aku tahu pipimu memerah karena banyaknya pujian yang mereka limpahkan padamu, dan kamu hanya tersenyum sipu menanggapi itu. Kamu hanya tersenyum, sama sepertiku yang saat ini sedang tersenyum kepadamu, memandangimu. Akhirnya, aku bisa kembali melihat wujud aslimu, tanpa harus menatap wajahmu lagi melalui layar laptopku.
            Sekali lagi, waktu seakan bergerak cepat ketika kita terlalu menikmatinya. Sudah jam delapan malam, dan kita masih asik bernostalgia di sini. Di sebuah tempat makan yang beratapkan kaca hingga kita bisa melihat bintang di atas sana dengan jelas. Walau kenyataannya langit Jakarta malam ini sedang tak berbintang. Bila berbicara soal bintang aku selalu teringat padamu. Ya, padamu yang selalu suka dengan bintang.
Kamu selalu percaya kalau bintang itu adalah perwujudan dari orang baik yang telah meninggal. Tuhan sengaja menempatkan mereka di atas sana dengan sinar yang terang, agar mereka bisa terus melihat orang terkasih dari tempat mereka berada sekarang. Dan kamu selalu menunjuk ke arah satu bintang. Satu bintang yang sama. Dan dengan suara lirihmu, kamu selalu mengatakan bila itu adalah bintang Ibumu. Ya, Ibumu yang telah lama pergi sejak kamu masih kecil dulu. Kamu selalu percaya jika itu adalah bintang Ibu karena bintang itu selalu berbinar ketika kamu sedang bahagia, dan bintang itu akan redup seketika bila kamu sedang dilanda duka.
Sadarkah kamu bila sejak tadi kita selalu saling mencuri pandang lalu tersenyum setelahnya. Dan seakan tersadar jika itu terlarang, kita akan saling melempar pandangan ke tempat lain. Melemparkan deru jantung yang memburu ini ke objek yang lain. Ya, lagi-lagi kita─aku dan kamu. Apa kamu akan mengingkari itu, Fani? Tak masalah memang jika kamu mengingkari itu pada siapapun saat ini karena kita memang selalu menyembunyika kedekatan yang ada ini, bukan?
Aku selalu senang bisa dekat denganmu walau harus disembunyikan sekalipun. Aku tak pernah tahu apa alasanmu tak ingin semua orang tahu kedekatan kita. Entahlah, tapi aku tak pernah terlalu ingin tahu soal itu. Karena tak semua hal selalu baik untuk terlalu dalam kita ketahui. Aku juga selalu suka tiap kali kamu tersenyum. Aku suka saat sudut bibirmu yang tipis itu melengkung naik, membuat sebuah lekukan seperti sebuah lubang di pipimu terlihat jelas. Itu lesung pipitmu. Tapi, apa kamu tahu bila ada hal yang kubenci darimu? Kuberitahu, aku begitu membencimu bila kamu memberikan senyummu itu kepada lelaki lain, atau saat kamu memberikan sorot matamu yang bulat itu kepada pria lain. Ya, aku benci hal itu!
“Kamu sekarang lagi sibuk apa Fan?” tanya Biondi yang duduk tepat berhadapan denganmu.
“Aku sekarang lagi sibuk nyiapin wisuda aku aja, sih,” jawabmu seraya menyelipkan beberapa helai rambutmu ke belakang telingamu. Sebuah gerakan sederhana yang membuatku terpana. Dari sini, aku bisa melihat jelas wajahmu. Dan juga lesung pipitmu.
“Oh, ya? Udah lulus dong. Terus rencananya mau tinggal di sini atau di Australia?”
“Rencana sih mau mencoba berkarir dulu di sini. Mau bekerja untuk tanah air sendiri dulu, yon.”
“Wih, hebat juga ya.”
Kamu mengernyitkan keningmu. “Hebat? Apanya?”
“Ya, kamu sudah lulus dari luar negeri tapi masih mau mencoba bekerja untuk negaramu sendiri.”
“Nggak salah dong mengabdi untuk negeri. Ya, kan?” ujarmu yang terkekeh.
Perbincanganmu dengan Biondi terus berlanjut. Dan entah kamu sadari atau tidak, kamu telah banyak memberikan senyum manismu itu kepadanya. Matamu yang bulat itu juga selalu menatapnya penuh minat. Entahlah, tapi percakapan kalian telah membuatku sedikit resah. Apalagi kalau harus berhubungan dengan Biondi. Pria itu bisa dibilang sebagai idolanya perempuan di SMA dulu., walau kutahu kamu tak pernah sedikit pun berniat menjadi kekasihnya. Tapi, penampilannya saat ini membuatnya mudah untuk menaklukan hati perepuan manapun. Tubuhnya lebih tegap, lebih berisi. Lengannya berotot, namun tak berlebihan. Rambut cepaknya dan wajahnya yang belasteran Indo-Arab itu benar-benar membuatku gundah. Sebenarnya yang membuatku gundah adalah kedekatanmu dengannya tadi. Apa kini kamu mulai tertarik dengannya?
Dari tempatku duduk yang berada di barisan Biondi, hanya terpaut tiga kursi darinya, aku masih memerhatikan semua gerak tubuhmu. Sesekali kamu tersenyum sipu, sesekali kamu terkekeh bersamanya, sesekali kamu nampak begitu memerhatikannya bercerita. Kamu tahu, itu benar-benar membuatku bergelut dengan keresahanku sendiri. Ada yang menggelegak di nadiku seolah aku akan meledak, tapi di saat yang bersamaan seperti ada yang menyayat pelan arteriku seolah aku ingin mati. Sulit memang untuk aku deskripsikan bagaimana kalutnya aku saat ini. Tapi, bagaimanapun aku tak ingin orang lain tahu keresahanku padamu. Aku tak ingin mereka tahu jika ada yang terpendam di dada ini untukmu. Aku tak ingin mereka tahu, termasuk kamu.
***
            Dari tempatku berdiri saat ini, aku melihatmu melambai ke arahku. Tubuhmu yang tak terlalu tinggi membuatmu harus berjinjit seraya melambaikan senyummu ke arahku. Kamu berteriak memanggil namaku di tengah ramainya orang-orang di Stasiun Senen siang ini. Aku melambai kepadamu sebelum akhirnya aku berlari menghampirimu.
            “Kok, lama banget sih?” tanyamu.
            “Sori. Tahu sendirikan gimana macetnya Jakarta.”
            Hari ini kita bertemu di Stasiun Senen, sesuai dengan rencana kita seminggu yang lalu. Saat itu kamu memintaku untuk menemanimu berlibur di Jogja. Aku yang masih sibuk dengan pekerjaanku tak bisa langsung menyanggupi permintaanmu, namun kamu terus memaksaku. Bahkan kamu memohon kepadaku seraya menatapku dengan tatapan manja melasmu. Mata bulatmu menatap melas ke arahku? Ya, kamu benar-benar tahu bagaimana membuatku luluh. Saat itu kamu berseru riang ketika akhirnya aku menyerah dan menerima permintaanmu. Aku meninggalkan pekerjaanku yang menumpuk di meja kerjaku. Aku meminta cuti kepada atasanku. Tak begitu sulit memang untuk meminta cuti kepada atasanku karena ia sangat memercayaiku. Dan kemudahan itulah yang memang selalu kamu manfaatkan untuk mengajakku menemanimu berlibur.
            “Kamu udah makan?” tanyamu dengan mata yang selalu kusuka.
            Aku menggeleng.
            Kamu melirik jam tangan analog yang melingkar di lengan kananmu. “Masih satu jam lagi,” ujarmu. “Kita makan soto dulu, yuk!”
            Tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakannya. Kita segera melangkahkan kaki menuju salah satu penjual soto ayam yang kiosnya berada di dekat pintu keluar penumpang kereta api. Di sana kita berdua duduk di atas kursi plastik berwarna hijau tanpa sandaran lengan. Kita duduk bersama tepat di depan gerobak soto ayamnya. Kamu memesan soto ayam seraya mengacungkan dua jarimu kepada penjualnya. Hal yang sama juga kamu lakukan ketika memesan minum.
            “Kalau sudah sampai di Jogja kita mau nginep di mana?” tanyaku seraya melepaskan jaketku.
            “Nanti kita nginep di rumah temen aku aja. Kebetulan aku punya kenalan di sana,” jawabmu yang selalu murah senyum. “Tenang aja, pokoknya liburan kita kali ini irit kok,” serumu yang lagi-lagi tersenyum riang.
Kamu tahu bila aku sangat membencimu ketika kamu selalu memerlihatkan senyummu itu padaku? Ya, aku benci hal itu karena tindakanmu itu selalu membuatku mudah merindukanmu.
            Jam tiga sore, dan kita sudah berada di dalam kereta api ekonomi Progo. Kamu duduk di dekat jendela dan aku duduk di dekatmu. Aku tahu kamu selalu suka melihat bintang, makanya aku sengaja menyuruhmu duduk di dekat jendela. Sesaat kemudian kereta mulai bergerak. Perlahan tapi pasti suara roda besi yang bergesek dengan permukaan rel terdengar menderu. Kini kita sudah bergerak menuju Jogja.
            Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kita dari awal keberangkatan hingga kereta ini melewati Stasiun Cirebon Prujakan. Sejak tadi kamu hanya termenung sambil menatapi pemandangan luar dari kaca jendela. Kamu melihat barisan pohon yang seolah berlari menghampiri kita. Wajahmu hanya menyudut membelakangiku. Entahlah, aku tak tahu mengapa kamu sehening ini. Tak biasanya selama perjalanan kamu semurung ini. Apa karena kali ini kamu menuruti keinginanku yang hanya mau naik kereta ekonomi? Tapi, kalau memang suasana kereta ekonomi tak begitu menyenangkan untukmu, menagapa tak kau katakan saja kepadaku? Aku tak keberatan bila harus sedikit merogoh uang tabunganku hanya untuk menyenangkanmu. Ya, hanya untukmu.
            Kini kereta api kita sudah melewati Stasiun Purwokerto. Sesaat aku mendengar helaan napas yang panjang tepat di sebelahku. Helaan napas yang panjang sebelum akhirnya kamu mengalihkan wajahmu dan perlahan menyandarkannya di bahuku. Aku tersentak sesaat. Di tengah kantuk yang menggelayuti mataku, tiba-tiba saja kamu menyandarkan kepalamu di bahuku, membuat kantukku sirna dalam sesaat. Sejenak kamu membenarkan dudukmu yang tak nyaman itu. Kamu menggeser pinggulmu sehingga membuat tubuhmu kini melekat padaku. Desir darahku seolah terjun bebas menelusuri arteriku. Perlahan kamu melingkarkan tanganmu di tangan kananku, membuat jantungku menderu kencang seolah akan mencelus dari mulutku. Kamu semakin merekatkan tubuhmu kepadaku, membuatku merasa serba salah untuk bergerak. Untuk sesaat aku layaknya sebuah manekin.
            “Dera. Aku bolehkan bersandar seperti ini di bahu kamu?” tanyamu dengan suara lirih.
            Aku menarik napasku panjang. Saat ini aku tak berharap kamu akan mendengar degup jantungku yang memburu ini. “Kenapa aku harus melarang kamu,” jawabku yang saat itu penuh kehati-hatian.
            “Makasih, Dera,” ujarmu yang kemudian disambung dengan keheningan yang cukup lama. Entahlah mengapa kamu bisa sehening itu saat sudah menyandarkan kepalamu di bahuku. Apakah karena kamu nyaman di sana atau memang kamu hanya sedang melarikan kerinduanmu padaku? Hanya kamu yang tahu saat itu.
            Harus kuakui, Fan. Saat kau membisu seperti ini aku merasakan kehambaran seketika. Sudah lebih dari enam tahun kita saling mengenal dan aku masih tak tahu harus melakukan apa untuk bisa membuatmu, setidaknya berbicara untuk saat ini. Mungkin sebagai lelaki aku memang lelaki yang bodoh karena aku tak bisa membuat suasana hatimu yang mungkin saat ini sedang redup untuk kembali benderang. Tapi, harus kuakui juga, bila saat ini aku begitu menikmati kedekatan kita, Fan. Ya, kita─aku dan kamu. Begitu lama aku sudah tak merasakan kedekatan kita seperti ini. Terakhir kita seperti, empat tahun yang lalu sebelum kamu memutuskan berkuliah di negeri Kanguru itu.
            Lagi-lagi kembali muncul kata-kata “Kita”. Entah mengapa kata-kata itu selalu menggangguku. Selalu menghantuiku. Aku tak tahu bagaimana denganmu. Apa kamu pernah memikirkan tentang pengartian kata kita untuk kita saat ini, Fan?
***
            Udara pagi di Jogja memang lebih menyegarkan jika dibandingkan Jakarta. Pagi ini, di halaman rumah temanmu, kita menikmati udara pagi bersama. Udara yang sejuk, dingin, dan menyegarkan. Kita merentangkan kedua tangan kita, menarik napas begitu dalam, membiarkan udara pagi Jogja memenuhi paru-paru kita, sebelum akhirnya kita kembali mengembuskannya. Sehabis melakukan itu, entah mengapa kita tertawa bersama. Maksudku, kita saling menertawakan. Kita saling menertawai karena saat kita mengirup udara tadi, tak sadar kita saling menatap. Pipimu yang mengembung saat sedang mengirup udara membuatku tak tahan untuk tergelak. Wajahmu sangat mirip dengan Sinchan. Sementara kamu tergelak kepadaku, menertawaiku karena kamu bilang mataku nampak tenggelam di antara pipiku. Membuatmu tergelak menahan sakit.
            “Masih pagi kok udah cekikikan aja. Awas kalau sampai tetanggaku ngomel, yo,” sahut Mariska sembari membawa dua cangkir teh hangat dengan sebuah nampan.
            “Nggak apa-apalah Ris. Lagian katanya orang Jogja itu ramah-ramah. Masa ketawa gini aja dimarahin sih,” ujarmu yang masih terduduk lemas di teras rumahnya. Sebelah tanganmu memegangi perutmu yang terasa keram karena gelakmu yang berlebihan. Rasakan itu karena kamu menertawaiku!
            “Ramah sih ramah. Tapi, kalau sudah keganggu, ya bisa galak juga, Fan,” ujar Mariska dengan logat jawanya yang halus. “Diminum dulu nih tehnya sebelum dingin. Aku mau bantu Ibu masak dulu di dapur, yo.”
            Kita mengangguk bersamaan seraya tersenyum kepadanya. Mariska kemudian menghilang dari balik pintu meninggalkan dua cangkir teh hangat di atas meja kayu bulat yang kecil itu.
            “Kamu nggak ikut ngebantuin Mariska sama ibunya masak, Fan?” tanyaku seraya melangkahkan kaki menuju teras.
            Wajahmu tiba-tiba saja menekuk. “Kamu kan tahu aku paling nggak bisa masak.”
            “Oh, iya. Waktu di Australi aja kamu punya tukang masak sendiri, ya.”
            Kamu mengangguk padaku. Tapi, masih dengan wajah yang menekuk.
            Aku duduk di kursi kayu berwarna cokelat dengan sandaran lengan itu. Aku mengambil salah satu cangkir. Asap masih nampak mengepul dari cangkir yang sedang kupegang ini, menandakan jika teh ini masih benar-benar panas. Aku mendekatkan gelas itu ke mulutku. Segenggam udara kuhembuskan dari mulutku, mengangini permukaan teh itu agar dapat cepat kutenggak. Setelah kurasa sudah tak lagi panas, mulai kutempelkan bibirku ke pinggiran cangkir itu. Aku menyeruputnya pelan, sedikit demi sedikit. Sesaat kemudian aku seperti baru merasakan sesuatu yang enak.
            “Sumpah enak banget tehnya, Fan. Cobain deh!” seruku dengan perasaan yang entahlah, mungkin bisa dibilang sedang berbunga-bunga.
            Saat itu kamu diam. Kamu hanya menatapku kelu dari tempatmu duduk saat ini. Ada yang berbeda dari tatapan matamu. Entahlah, apakah kamu menyadarinya atau tidak. Tapi, menurutku tatapan itu agak berbeda. Seperti sedang menghakimiku.
            “Kamu suka sama Mariska?” tukasmu datar. Ucapanmu membuatku tersedak hingga aku terbatuk dibuatnya.
            “Apaan, sih, kamu,” sahutku yang masih terbatuk.
            “Soalnya muka kamu semringah banget waktu kamu minum teh buatan Mariska. Kayak anak kecil baru ngerasain es krim. Aku juga tadi sempat ngeliat kamu curi-curi pandang ke dia waktu dia nganterin tehnya. Ya, kan?”
            Ucapanmu berhasil membuatku menarik napas dalam-dalam. Sepertinya kamu sudah memerhatikanku sejak tadi, ya. Kuakui jika aku memang sempat mencuri pandang ke Mariska. Mungkin bukan ku saja. Tidak, tapi aku yakin pasti bukan aku saja yang akan mencuri pandang padanya. Ia perempuan pemilik wajah yang manis dengan senyum yang tak berlebih. Buatku semua yang dia miliki tak berlebih. Benar-benar sesuai dengan takarannya. Hidungnya yang tak berlebih, tebal bibirnya yang tak berlebih, putih kulitnya yang tak berlebih, dan juga suara halusnya yang tak berlebih, ku rasa semua yang ada pada dirinya akan mampu membuat semua pria sering-sering mencuri pandang padanya.
            “Kenapa memang kalau aku sampai suka sama dia? Kamu cemburu?” tukasku.
            Air mukamu seketika berubah. Tapi, belum sempat aku menelisik lebih jauh lagi, kamu sudah mengalihkan wajahmu dari jarak pandangku. “Ngapain cemburu? Kamu kan tahu aku sudah punya Bara,” sahutmu.
            Ah, nama itu lagi yang kamu sebut. Entah mengapa setiap kali mendengar nama itu ada adrenalin yang memacu jantungku. Aliran darahku seolah menggelegak untuk keluar dari nadiku. Ya, aku tahu kamu sudah memilikinya. Ia adalah lelaki hebat yang berhasil menjatuhkanmu di pelukannya. Bahkan begitu hebatnya dia, pesan singkat darinya bisa membuatmu kembali benderang dari redupmu di kereta semalam. Aku tahu aku tak sehebat dia, dan kutahu aku tak pernah bisa sehebat dia.
***
            Ada yang menarik di Kota Jogja selain perempuannya yang sudah cantik secara alami, yaitu suasana di alun-alun kidul Jogja saat malam menyapa. Saat itu Mariska mengajak kita untuk pergi bersamanya. Menikmati suasana malam di alun-alun jogja, begitu katanya dengan halus suaranya yang pas. Di sana kita menaiki sebuah becak dengan kerangka yang sudah disambung dan dibentuk hingga menyerupai bentuk angsa. Becak itu melekatkan lampu-lampu kecil berwarna violet di sepanjang tubuh hingga paruhnya, dan warna merah di bagian matanya. Angsa itu benar-benar menyala. Mungkin kalau di Jakarta becak ini bisa dibilang odong-odong. Kita bertiga duduk di dalamnya, bersenda gurau bersama sambil sesekali mengabadikan momen ini dengan berfoto bersama.
            Malam itu kita habiskan dengan tawa. Kita berjalan bersama. Ah, bukan, tapi beriringan. Ya, karena kamu selalu melingkarkan tanganmu di lenganku. Kamu tahu bila saat ini aku merasa telah menjadi kekasihmu? Apa aku berlebihan bila aku merasakan hal itu karena sikapmu padaku. Kamu tertawa bersamaku, menggamit lenganku erat, berbagi satu es krim bersama saat masih di alun-alun, kamu menyeka noda makanan di sekitar mulutku saat kita selesai makan di angkringan. Aku rasa aku tak berlebihan soal itu.
            Malam pertama kita di Jogja terbilang panjang. Kita masih melanjutkan petualangan malam kita ketika di rumah Mariska. Di sana, di teras rumahnya. Kita duduk bertiga di lantai sambil memandangi langit yang sedang cerah. Kamu memulai perbincangan kita dengan membicarakan bintang-bintang. Malam ini kebetulan langit Jogja sedang menampakkan tiga bintang yang berkelip di angkasa. Satu di utara, dan dua lagi di timur.
            “Dari ketiga bintang ini, apa ada bintang ibumu, Fan?” tanyaku dengan kepala yang  menengadah ke langit.
            Kamu menggeleng. “Nggak ada,” jawabmu memendam sedikit kekecewaan.
            “Kamu suka banget sama bintang, apa kamu percaya dengan ramalan bintang?” tanyaku lagi. Kali ini aku menatap padamu.
            Kamu menggeleng lagi. “Nggak. Aku nggak pernah percaya.”
            “Kalau kamu, Ris. Apa kamu percaya?” tanyaku yang melempar pertanyaan.
            Mariska menggeleng. “Aku lebih percaya ramalan cuaca daripada ramalan bintang,” jawabnya dengan aksen bicaranya yang polos, membuat kita berdua tergelak mendengarnya.
            Saat kita berhenti tertawa kamu mulai bertanya, “Tapi aku penasaran, dari mana rasi bintang-bintang itu ada?” keningmu mengerut.
            “Itu semua dari mitos Yunani,” jawabku mantap. “Semua rasi bintang yang dijadikan zodiak itu punya mitosnya masing-masing.” Kamu mulai memerhatikanku dengan serius. Begitu pun dengan Mariska. Matanya yang teduh itu memandangku penuh keingintahuan.
            “Bintang kamu apa?” tanyaku padamu.
            “Gemini,” jawabmu cepat.
            “Gemini, ya?” aku mengingat sejenak. “Kalau nggak salah, gemini itu berasal dari dua tokoh mitologi, yaitu si kembar Castor dan Pullox. Gemini itu terletak di antara Taurus di barat dan Cancer yang redup di Timur,” jelasku seraya menjulurkan tanganku ke angkasa. “Castor dan Pullox ini sedikit berbeda. Pullox abadi sedangkan Castor tidak demikian. Sampai suatu ketika Castor meninggal dalam sebuah peperangan. Pullox yang merasa tak bisa hidup tanpa saudara kembarnya meminta kepada dewa Zeus, yang tak lain adalah ayahnya sendiri untuk mencabut keabadian dari dirinya. Dengan begitu dia bisa bersama Castor selamanya. Tapi, Zeus menolak. Zeus lebih baik membuat Pullox menjadi abadi dengan membuat keduanya bersama selamanya sebagai kontelasi zodiak kembar. Merekalah Gemini itu.”
            “Berarti Gemini itu bisa dibilang sebagai perwujudan kesetiaan, ya?” ujarmu menyimpulkan.
            “Bisa dibilang begitu,” jawabku mengangguk. “Kalau bintang kamu apa, Ris?”
            “Taurus,” jawabnya yakin.
            “Lho, sama dong dengan Bara,” sahutmu yang tersentak. Kamu menyebut nama itu lagi. Nama yang sebenarnya tak ingin kudengar. Sudah cukup rasanya mendengar nama itu di setiap keluh kesahmu padaku. Nama itu selalu tersemat di ceritamu tiga tahun terakhir.
            “Taurus, ya?” sahutku yang tak ingin lagi mendengarmu menyebut nama itu. “Kalau nggak salah Taurus itu terletak di antara Aries di sebelah barat, dan Gemini di sebelah timur. Taurus ini diidentifikasikan dengan Zeus yang berubah bentuk menjadi banteng putih untuk menculik Putri Phoenicia yang bernama Europa.”
            “Udah, gitu aja?” serumu yang tak percaya.
            “Iya. Cuma itu yang aku ingat,” jawabku tanpa menoleh padamu. Sebenarnya aku masih tahu soal mitologi Taurus itu, tapi aku sudah terlanjur malas karena aku tahu, kamu akan menghubungkan ceritaku dengan lelaki itu.
            “Kalau bintang kamu apa, Dera?” tanya Mariska padaku. Matanya menelisik jauh ke dalam mataku.
            “Bintangku Cancer. Cancer terletak di antara Gemini di sebelah barat, dan Leo di timur,” jelasku yang langsung terdiam.
            “Kok diem?” tanyamu.
            “Udah. Itu aja,” jawabku.
            “Masa gitu? Curang nggak mau ngasih tahu lagi. Cerita lagi!” paksamu yang sudah menarik-narik lengan bajuku.
            “Udah. Nggak ada lagi. Aku nggak tahu lagi,” jawabku sambil berusaha melepaskan lengan bajuku dari cengkraman tanganmu.
            Kamu masih terus memaksaku, tapi aku terus menolak. Ya, aku menolak karena malas menceritakan semuanya tentang rasi bintangku saat kutahu rasi bintang lelaki itu adalah Taurus. Aku malas, Fan.
***
            Satu tahun sudah berlalu sejak terakhir kita pergi bersama. Ya, liburan kita ke Jogja rupanya merupakan liburan terakhir kita. Karena setelah itu kamu lebih sibuk dengan karirmu sebagai seorang designer. Waktumu juga sering kamu habiskan untuk menemuinya. Lelaki itu, kamu lebih memilih meluangkan waktumu untuk bertemu dengannya. Bukan denganku.
            Mungkin ada benarnya saat kamu mengatakan bila rasi bintangmu, Gemini dapat diindeifikasikan dengan sebuah kesetiaan. Kamu begitu setia padanya. Sekalipun ia pernah mengguratkan luka terdalam padamu. Membuat mata bulatmu seolah redup, dan tenggelam bersama elegi. Aku tetap mempersilahkanmu menjadikanku sebagai tempat sandaran pilumu, menjadi pelarianmu. Tapi, rupanya kamu tak menyerah. Kamu tetap memperjuangkan cintamu yang akhirnya membuat ia mau menikahimu.
            Kini, di sini, aku tengah berdiri di atas karpet merah. Aku berbaris di antara para tamu undangan. Aku berdiri sendirian. Pasti kamu bertanya-tanya mengapa aku masih sendiri. Mengapa aku tak bersama Mariska yang sejak kepulangan kita dari Jogja sering menghubungiku. Aku ingin jujur soal itu. Aku belum siap, Fani. Aku belum siap untuk mencintai orang lain selainmu. Aku belum siap memenuhi dunia anganku dengan orang lain selain dirimu. Aku belum siap, Fani. Sudahlah. Lebih baik kita lupakan dulu tentang aku dan Mariska karena aku sadar aku telah menyakitinya.
            Dari sini, dari tempatku berdiri, aku bisa melihatmu berdiri berdampingan dengannya. Tahukah kamu bila saat ini kamu begitu cantik. Kamu menggunakan gaun pernikahan tercantik yang pernah ada. Kamu berdiri menyambut para tamu undangan dengan senyum terbaikmu. Senyummu seolah memberikan isyarat padaku bila kamu sudah bahagia. Dan kamu tahu apa yang kurasakan saat ini? Aku merasakan kebahagiaan yang sama denganmu, Fani. Terserah bila orang mengatakan aku munafik, tapi kenyataannya aku memang bahagia. Mungkin rasa cintaku padamu yang berlebih ini yang membuatku tak dapat berpikir rasional lagi. Tapi, bukankah cinta memang mengubah manusia menjadi tak rasional?
            Kini giliranku menaiki pelaminan untuk memberikan ucapan selamat padamu. Aku melangkah dengan perasaan yang tak bisa kuutarakan. Aku sudah siap melepaskanmu. Esok, tak ‘kan ada lagi sendumu di bahuku. Esok, tak ‘kan ada lagi tangamu yang melingkar di lenganku. Esok, tak ‘kan ada lagi es krim yang kita bagi berdua. Esok, tak ‘kan ada lagi kita karena hanya akan ada, aku. Langkahku sudah semakin dekat dengan kalian. Aku melangkah menghampiri Bara. Aku tersenyum padanya, menyalaminya, dan mengucapkan selamat kepadanya. Dan setelah itu aku lantas menghampirimu. Kamu masih sama seperti kemarin. Kamu masih memberikan senyum termanismu padaku. Aku pun tersenyum padamu. Aku menatap matamu lekat, ada yang berbinar di sana. Ya, di matamu. Aku menjabat tanganmu, mengucapkan selamat kepadamu. Tapi, entah mengapa kamu lekas merengkuhku. Kamu melingkarkan lenganmu di leherku. Ya, kamu memelukku, Fani. Erat. Pelukan yang begitu erat. Membuatku merasa nyaman berada dipelukmu. Kamu memelukku erat tanpa mengatakan sepatah kata pun padaku. Hanya ada aku yang mengatakan selamat padamu. Sesaat kemudian kamu melonggarkan pelukanmu, dan melepasku. Andai dapat kumiliki pelukmu ini, pastinya tak ‘kan ku sia-siakan hidupku untuk berada jauh darimu, walau hanya selangkah.
            Aku kembali melangkahkan kakiku menuruni pelaminan. Aku melangkah tanpa sedikitpun menoleh padamu. Aku tak ingin menoleh padamu karena aku sudah tak ingin lagi melihat masa laluku. Kini kamu bisa membaca secarik kertas yang sempat kuberikan padamu saat tadi kamu memelukku. Buka dan bacalah isinya. Sesuai dengan janjiku untuk menceritakan padamu tentang rasi bintangku dan juga peranku dalam hidupmu.

Sesuai janjiku, Fani. Inilah mitologi tentang rasi bintangku, Cancer;
Cancer adalah rasi bintang kecil yang samar-samar. Terletak di antara Gemini di sebelah barat, dan Leo di timur. Cancer adalah seekor kepiting peliharaan Hera. Saat Hercules bertarung dengan Hydra, Hera sengaja mengirim kepiting peliharaannya untuk mengalihkan perhatian Hercules. Hera tak suka dengan Hercules. Namun, rupanya Hercules terlalu kuat. Capitan Cancer tak membuat Hercules lemah. Cancer justru mati karena diinjak oleh Hercules. Kesetiaan Cancer membuat Hera terharu, hingga akhirnya Hera menjadikannya sebagai sebuah rasi bintang.
Rasi bintang Cancer tak pernah berkelip terang, karena Cancer gagal dalam menjalankan tugasnya. Sama halnya denganku, Fani. Ya, aku gagal dalam tugasku. Aku gagal mendapatkan cintamu. Dan lagi, apa kamu masih ingat bagaimana peran Cancer dalam rasi bintang Gemini? Biar kuingatkan lagi padamu, Fani.
Gemini terletak di antara Taurus di barat dan Cancer yang redup di timur. Ya,  kamuGeminiberada di antara TaurusBaradi barat dan Cancerakuyang redup di timur. Ya, Fani, aku adalah bintang yang redup di antara kalian yang bersinar terang. Kini sudah tahukah kamu apa peranku dalam kehidupanmu? Ya, membuatmu dan dia benderang indah di sana. Itulah peranku dalam hidupmu.

***

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

2 Responses to [Cerpen] Rasi Bintang Gemini, Taurus dan Cancer

  1. aku ngasih liebster award nih. cek ya http://nirwana-hawra.blogspot.com/2014/08/the-liebster-award-pertama.html

    BalasHapus

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.