[Cerpen] Kekasih yang Pergi

(gambar: blixx-a.deviantart.com)
Pemuda dari suku X memberikan tendangannya. Pemuda dari suku Y sempoyongan dan hilang keseimbangan. Pertahanannya terbuka. Tanpa ampun pemuda dari suku X itu menghunuskan samurai ke arah perut lawannya. Pemuda dari suku Y pun tersungkur tak berdaya. Ia terjerembap berkalang aspal dan bermandikan darah.
∞∞∞
Entah karena apa pertikaian ini bermula. Bahkan Rizky pun tak tahu pasti apa penyebabnya. Simpang siur kabar yang terdengar tentang apa yang menyulut pertikaian ini belum juga jelas. Katanya, pertikaian ini tersulut karena ada sekelompok suku X yang membuat gaduh ketika sedang diadakannya sebuah pertemuan keagamaan di rumah salah seorang yang berasal dari suku Y. Namun, ada juga versi lain yang berkata, kalau pertikaian ini bermula dari salah seorang suku Y yang menegur seorang dari suku X karena kegaduhan itu dengan cara kasar. Sehingga pemuda dari suku Y itu membotoli pemuda dari suku X hingga berkeramaskan darah. Entah, yang mana yang benar. Tapi yang pasti, saat ini keadaan sudah terlanjur memanas.

Dari kubu suku X terus menyerukan bila mereka tak takut mati di tanah orang. Meski mereka hanya kaum minoritas, tetapi mereka tak ‘kan bisa diam bila ditindas. Sedangkan dari suku Y terus menyuarakan bila pendatang haruslah sopan. Pendatang tak boleh bikin onar. Bila pendatang membuat keonaran, maka sang tuan tanahlah yang akan mendepaknya meski harus dengan cara kasar.
Namun, sebetulnya Rizky sudah berusaha menolak agar tak ikut andil dalam pertikaian yang bahkan ia sendiri pun tak tahu pasti apa penyebabnya. Namun, ayahnya yang merupakan orang terpandang dari sukunya justru menekannya.
“Kita telah dihina! Mereka sebagai pendatang telah berani membat onar di tanah kita. Kau adalah bagian dari sukumu, maka kau harus ikut untuk membela sukumu ini!”
“Tapi, Ayah. Haruskah penyelesaian masalah ini lewat jalan kekerasan? Bukankah kita sudah diberikan akal dan pikiran oleh Tuhan agar dapat berpikir jernih guna menjauhi kekerasan?”
“Ah, tahu apa kau soal Tuhan beserta maksudnya untuk menciptakan? Kau hanya bocah kemarin sore,” sergah ayahnya, “Mereka telah menghina kita dengan berani membuat onar di tanah leluhur kita sendiri. Tak ada hal yang paling menyakitkan di dunia ini selain penghinaan. Camkan itu!”
Usia Rizky yang belum menginjak 17 tahun membuat suara dan pikirannya tak terlalu didengar dan diperhitungkan. Membuatnya terjebak dalam sebuah keadaan yang tak sesuai dengan nuraninya. Memang benar kata orang bila negeri ini adalah negeri yang ajaib. Negeri ini hanya bangga pada sejarah karena telah berhasil mengusir penjajah meski hanya bermodalkan bambu runcing. Negeri ini bersatu hanya ketika dijajah.
Semenjak pertikaian ini, sejujurnya Rizky merasakan rindu pada kekasihnya, Santia. Namun, sayangnya pemuda ini tak bisa menemui kekasihnya dengan leluasa seperti dulu. Sebab, Santia berada dari kubu yang kini tengah bertikai dengan kubu Rizky. Lagipula, sekolah mereka pun yang berada di jalur pertikaian ini terpaksa ditutup sementara waktu. Tak ada aktifitas belajar mengajar lagi hampir dua minggu lamanya. Padahal, pikir Rizky, hanya sekolahlah tempat kami bisa bertemu. Bisa saling menumpahkan rindu. Bisa saling meramu asmara dan membanjiri dunia dengan banyak cinta.
Keadaan ini pun telah memaksa Rizky dan teman-teman seusianya menjadi lebih sering menenteng senjata tajam daripada buku atau pulpen. Membuat tujuan dari langkah kaki mereka ketika keluar rumah bukan lagi untuk ke sekolah, melainkan ke ujung jalan tempat dua suku saling bertemu. Membuat mereka harus rela mengorbankan nyawa hanya demi sebuah kehormatan suku yang maknanya sendiri belum begitu mereka pahami, yang seketika membuat jiwa mereka berubah anarki. Tak ada lagi pemikiran rasional karena semua telah terselubung oleh emosi. Membuat perspektif mereka tentang kedamaian pada akhirnya berubah. Sudah tak ada lagi kesatuan, yang ada hanyalah kekuatan. Hukum rimba seolah masih begitu berlaku di negeri yang hampir-hampir penuh kedurjanaan ini.
∞∞∞
“Aku ingin pertikaian ini segera berakhir.”
“Aku juga. Aku sudah tak tahan bila harus hidup dikelilingi oleh ketakutan seperti ini.”
Rizky menjauh lagi dari jendela kamarnya, duduk di tepian tempat tidurnya. “Aku merindukanmu Santia. Aku ingin segera menemuimu.”
“Aku juga,” balas gadis itu. Suaranya lirih dan bergetar, seolah kecemasan terlanjur memenuhi sanubarinya. “Tapi rasanya kita harus menunggu pertikaian ini usai lebih dulu agar bisa bertemu kembali. Rasanya kita tak mungkin bisa bertemu sebelum ini semua berakhir.”
Rizky menghela napasnya amat dalam. Sebentar kemudian ia pun tersenyum geli menertawai keadaan. “Terkadang aku jadi berpikir; bagaimana aku bisa membantu memajukan negeri ini bila hidupku saja masih dipusingkan dengan urusan pertikaian antar suku seperti ini? Belum lagi bila nanti kisah asmaraku harus terhalang akibat dari ini semua.”
“Kau terlalu banyak berpikir.” Terdengar suara kekehan Santia yang merdu di balik teleponnya. “Sudahlah, lebih baik kau istirahat sekarang. Aku yakin semua ini akan segera berakhir sebentar lagi.”
“Yaahh... aku harap demikian.”
“Aku ingin segera bertemu denganmu.”
“Aku juga Santia, kau tahu itu kan?”
“Berjanjilah padaku bila kita akan bertemu lagi.”
Rizky mengulum senyum. Dari balik jendela kamarnya, ia meratapi langit malam yang tampak begitu kelam, seolah bintang dan bulan telah lesap disaput kegelapan. “Ya, aku berjanji,” jawabnya lirih kemudian.
∞∞∞
Dua suku yang bertemu di ujung jalan itu saling menyerang. Serupa hujan yang turun di medan perang, batu-batu berseliweran di udara, melayang melintasi kepala, lalu menghunjam memecah batok kepala siapa pun yang didaratinya.
Darah becucuran dari kepala hingga badan. Darah mengalir dan menitik di atas aspal. Darah menjelma menjadi bercak-bercak merah. Darah mengerang kesakitan. Darah menggenang dan mengering hingga menjadi jejak-jejak dari sejarah yang kelam.
Barisan terdepan tak segan berlari menuju lawan dan siap menghunuskan senjata tajamnya tanpa ragu. Mereka tak ubahnya harimau kelaparan yang siap menerkam dan mencabik mangsanya penuh nafsu. Tak ada lagi kata segan dalam diri mereka untuk saling mencabut nyawa. Tak ubahnya kaum barbar yang terus memekik sambil memenggal kepala lawan tanpa welas kasih, mereka telah menggila dan kehilangan jiwa kemanusiaannya.
Sementara itu, di sudut sana, di barisan terdepan, seorang pemuda dari suku Y mengayunkan goloknya menuju kepala salah seorang pemuda dari suku X. Namun, pemuda dari suku X mampu menepis dengan samurainya. Mereka saling menyerang, menghunus, dan menghindar. Kadang menangkis dan mencoba membalas. Batu-batu yang berseliweran di atas kepala sudah tak lagi mereka hiraukan.
Namun, pemuda dari suku X berhasil memberikan tendangannya kepada pemuda dari suku Y. Pemuda dari suku Y limbung dan hilang keseimbanganPertahanannya terbuka. Tanpa ampun pemuda dari suku X itu menghunuskan samurainya ke arah perut lawannya. Pemuda dari suku Y pun tersungkur tak berdaya. Erangannya hanya terdengar sesaat sebelum napas terakhirnya terembus kemudian. Ia terjerembap berkalang aspal dan bermandikan darah. Perutnya telah koyak dan memuntahkan isinya keluar tanpa kehendak.
Pemuda dari X itu memandangi lawannya dengan penuh kebanggaan. Fokusnya dengan sekitar hilang untuk sesaat, hingga tak disadarinya ada sebuah arit yang tengah melayang ke arahnya. Lalu, ujung arit itu pun melesak tepat di punggungnya. Sebelum kemudian ada sebuah tangan yang menarik arit itu kembali hingga punggungnya pun terbelah layaknya kue tar di hari ulang tahun. Tapi, sayangnya yang terbelah saat ini bukanlah kue tar. Dan hari ini pun bukan hari ulang tahunnya, melainkan hari kematiannya.
∞∞∞
Hari ini langit tampak lebih kelabu dari biasanya. Matahari seolah lesap dari peraduannya. Semburatnya tersaput oleh gumpalan awan yang keabuan dan semakin pekat. Padahal, hari ini adalah kali pertama bagi Santia untuk dapat kembali bertemu dengan Rizky, sebab pertikaian antara kedua suku telah usai. Tetapi, entah mengapa awan mendung seolah terus mengiringi langkah kaki Santia yang terus menjejaki aspal penuh kelesuan. Mungkin alam tahu bila saat ini suasana hati gadis berkulit eksotis itu tengah dilanda sendu dan pilu. Mungkin juga, alam tahu bagaimana pedihnya dua sejoli yang telah berjanji untuk saling bertemu tapi tak dapat benar-benar bertemu seperti harapan yang ada.
Santia masih mampu berdiri, meski kedua kakinya dirasa lemas. Sementara Rizky telah terbujur kaku di balik kain putih yang telah membungkus tubuh dinginnya. Lubang hidung dan telinganya telah disumpal oleh kapas. Matanya telah terpejam lekat dan tak ada tanda-tanda akan membeliak kembali. Ia telah mati di medan perang. Samurai telah terhunus mulus menembus perutnya―mengoyak isi perutnya. Menyebabkan beberapa organ dalamnya termuntahkan keluar tanpa kehendak.
Orang-orang itu tampak mengelilingi tubuhnya dengan tangan yang menengadah seperti sedang  mengirimkan doa. Isak tangis terdengar nyata meruap memenuhi ruangan. Beberapa di antara mereka adalah tetua setempat dan kawan-kawannya yang ikut maju di medan perang. Bahkan, Ayah dan Ibu Rizky tengah duduk berdampingan di dekat kepalanya. Sekilas, ada penyesalan amat mendalam yang tersirat dari sorot mata ayahnya. Mungkin ia baru sadar jika apa yang dimintanya kepada Rizky adalah kesalahan besar. Mungkin ia baru menyesali semuanya ketika tahu ada yang lebih menyakitkan daripada sebuah penghinaan.
Langkah kaki Santia begitu pelan mendekati jasad pujaan hatinya yang tak mungkin lagi untuk bangkit lagi. Buliran bening telah teruntai dari sudut mata dan membasahi pipinya. Sambil menahan sesak di dadanya, gadis itu pun bersimpuh di samping jasad yang telah terbujur kaku dan terselimuti oleh kain putih di sana.
Setelah menyeka linangan air matanya dengan punggung tangan, gadis itu pun mendekatkan wajahnya ke wajah Rizky yang tampak begitu damai terlelap di sana. Didekatkan bibirnya ke kening kekasihnya itu. Lalu, dikecupnya kening lelakinya yang telah dingin itu. Begitu lama bibirnya melekat pada kening kekasihnya, seolah ia tak lagi peduli bila kini hanyalah seonggok mayat yang dikecupnya. Sepertinya, rasa cintanya memanglah terlalu besar untuk merelakan kekasihnya yang telah mati dalam kesia-siaan.

Santia terisak. Dadanya sesak. Kecupannya urung dilepaskan dari kening tambatan hatinya untuk waktu yang lama. Ia tengah menumpahkan rindunya dalam belenggu sebuah kehilangan.***

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.