[Cerpen] Obrolan Tentang Manusia

(gambar: www.pinterest.com)
“Kau tahu kenapa majikan kita selalu terlambat untuk pulang?” seekor kucing jantan bertanya kepada pasangannya.
“Aku kira dia masih sibuk mencari uang untuk ditabungnya. Ya, barangkali.”
“Barangkali? Kau terdengar agak ragu dengan jawabanmu sendiri.”
Kucing jantan berbulu coklat muda dan bertutul putih itu tak lekas menjawab. Tiba-tiba saja ia begitu masyuk menjilati salah satu kakinya. “Emm... entahlah,” jawabnya kemudian di sela-sela kemasyukannya.“Setidaknya itulah yang selalu kudengar dari majikan kita sekali waktu saat pulang larut dan diprotes oleh anaknya sendiri karena keterlambatannya pulang. Maaf, Papa mencari uang untuk tabungan masa depan kita, begitulah katanya kalau tidak salah.”

“Oh, begitu.” Kucing betina itu menanggapi sedikit malas. Sebentar kemudian ia mengangkat kepalanya yang sedari tadi dititipkannya di lantai. Serupa orang yang mengolet, ia tolakkan kedua kaki depannya jauh-jauh ke depan. Untuk beberapa saat tubuhnya tampak begitu panjang. Ia merentangkan tubuhnya. Kucing yang seluruh bulunya hampir-hampir seputih salju itu tampak begitu menikmatinya. Terdengar lenguhan panjang ketika ia melakukannya. “Aahh... aku sangat suka melakukan hal ini,” serunya yang kemudian menyandarkan bokongnya ke lantai seutuhnya. “Seolah tidak ada hal yang paling nikmat di dunia ini.”
Si kucing jantan terkekeh. “Tentu saja ada, Sayang. Menjilati bagian-bagian tubuhmu sendiri adalah kenikmatan tiada tara dari seekor kucing, tahu!”
“Itu sih karena kau jarang mandi! Makanya kalau majikan kita ingin memandikanmu harusnya kau tak perlu lari tunggang langgang untuk menghindar.”
“Hah! Untuk apa kucing mandi?”
“Tentu saja agar tubuh kita selalu wangi dan tidak dijajah oleh para kutu, tahu!”
“Halah! Persertan dengan kutu dan wangi tubuh. Toh, jarang mandi pun aku masih bisa mengawini kucing betina sepertimu. Enggak seperti manusia yang harus selalu tampil bersih dan rapi demi bisa memikat lawan jenisnya.”
Si kucing betina menelan ludah. Andaikan aku punya pilihan lain untuk memilih, sudah dipastikan bila aku tidak akan sudi dikawininya, pikirnya.Malas menanggapi lebih lanjut ucapan pasangannya itu, ia pun segera mengangkat tubuhnya dan beranjak. Si kucing jantan sempat bertanya hendak ke mana ia pergi. Aku ingin ke ruang sebelah, jawabnya sambil meniti langkah memantati Si kucing jantan.
Rumah itu tampak sepi di sana sini. Hanya ada perabotan rumah tangga yang bisu dan dingin karena disentor pendingin ruangan. Memang selalu begini adanya setiap kali malam semakin larut. Rumah ini akan mulai sepi setiap kali waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Sebab, selepas pukul sembilan malam anak majikan mereka sudah akan terlelap tenang di kamarnya, sedangkan pembantu mereka akan lebih memilih menghabiskan waktunya di halaman belakang sambil menempelkan sebuah benda kotak kecil hitam di telinganya. Dan ia akan berbicara dengan benda itu sepanjang malam. Kadang kala ia akan terkekeh di sela-sela pembicaraannya dengan benda itu. Kadang suaranya akan terdengar sedikit mendesah seolah ia tengah berbicara dengan seorang lelaki dan merayunya di sana. Tapi pernah juga suaranya terdengar lirih seolah ia akan menangis saat bicara dengan benda itu.
Entah apa yang mengasyikkan dengan menempelkan benda kotak itu di telinganya, pikir Si kucing betina sekali waktu. Bukankah lebih mengasyikkan apabila menghabiskan waktu sambil bermain bola dan menggelindingkannya ke sana ke mari. Atau merobek-robek bantal atau merentangkan tubuhmu selebar mungkin sambil mendesah panjang. Atau duduk bersantai di pinggir taman dan menikmati suasana sunyi tanpa keributan apa pun yang berarti.
Yah, setidaknya untuk hal terakhir adalah sesuatu yang sering dilakukannya setiap kali malam semakin menepiselain mengolet, tentu saja. Dan kini, Si kucing betina pun sudah berada di salah satu ruangan yang berada di sisi timur rumah itu. Ia sudah menyandarkan bokongnya di lantai dan matanya senantiasa menerawangi sebuah taman di depannya. Taman yang tak terlalu besar. Hanya ada sebuah pohon mangga dan beberapa tanaman bunga yang tumbuh memagarinya. Rerumputan yang hijau itu selalu dipangkas rapi setiap waktunya agar tak tumbuh terlampau tinggi. Lampu-lampu sangkar burung ditempatkan sebaik mungkin agar bisa berfungsi juga sebagai penghias taman.
Kau memang harus pintar-pintar menikmati hidupmu meski kau hanya seekor kucing, gumam Si kucing betina seraya bertelungkup di lantai yang dingin. Ia menyilangkan kedua kaki depannya dan menitipkan kepalanya di atasnya. Pandangan matanya belum juga usai mengedari pemandangan yang agak remang itu dari balik kaca-kaca lebar yang memagarinya.
Sunyi. Sepi. Tidak ada apa pun yang terdengar kecuali kesenyapan yang meraja di ruangan ini. Atau tepatnya di rumah ini.
“Kalau disuruh memilih, kau lebih ingin hidup sebagai manusia atau seekor kucing?” tanya Si kucing betina sekonyong-konyong begitu menyadari kehadiran pasangannya. “Menurutmu lebih enak mana?”
“Tentu saja jadi kucing, Sayang,” jawab Si kucing Jantan sambil menyandarkan bokongnya di lantai. Sebentar kemudian ia kembali menjilati satu kaki depannya.
“Kenapa? Aku pikir jadi manusia lebih menyenangkan. Lebih hebat. Lihat saja, mereka bisa menciptakan sesuatu yang menyenangkan hanya dari sebuah benda kotak kecil berwarna hitam. Kau lihatkan bagaimana pembantu kita selalu menghabiskan malamnya dengan benda itu? Dan aku pun sering kali mendapati majikan kita tengah asyik berbicara dengan benda yang serupa. Lalu, taman ini. Coba kau lihat. Mereka bisa menciptakan sesuatu yang indah seperti ini.”
Si kucing jantan sekonyong-konyong tergelak. “Apa kau pikir begitu?”
“Ya.”
“Hahaha... Kau lucu Sayang. Tapi kau memang benar.” Si kucing jantan mengamini, tapi tak seutuhnya. “Kau benar jika mengatakan manusia itu hebat. Lihat saja, mereka bisa menciptakan banyak hal, dari yang indah sampai yang menakjubkan. Tapi, apa kau sadar kalau mereka sering menciptakan sesuatu yang justru bisa menghancurkan diri mereka sendiri?”
“Misalnya?”
“Kau tahu pisau?” Si betina mengangguk pelan.
“Apa kau pikir pisau itu tidak bisa melukai diri mereka sendiri? Aku pernah melihat pembantu kita meringis kesakitan saat ujung jarinya tergores pisau sewaktu mengiris wortel. Apa kau pikir ada jaminan dari mereka yang menciptakan pisau kalau benda itu tidak akan bisa melukai manusia itu sendiri meskipun tujuan diciptakannya memang bukan untuk itu? Tentu saja tidak.”
“Itu baru pisau,” sambung Si kucing jantan. Kini ia menjilati salah satu kaki depannya yang lain. “Lalu bagaimana dengan benda lainnya, seperti ponsel, misalnya. Benda kotak kecil yang kau bilang itu. Apa ada jaminan dari manusia yang menciptakannya kalau benda itu tidak akan membuat tolol kaum mereka sendiri? Coba kau perhatikan bagaimana benda canggih itu justru menciptakan sikap apatis pada manusia. Lihat bagaimana anak pemilik rumah ini yang lebih memilih menghabiskan waktu dengan ponselnya yang berukuran jauh lebih besar daripada bermain keluar bersama teman-temannya. Aku berani bertaruh saat besar nanti anak itu tidak akan pernah tahu siapa saja tetangganya yang masih hidup dan siapa saja yang sudah meninggal.”
“Apa separah itu?”
“Tidak, Sayang. Itu belum bagian terparahnya.”
“Ada lagi?”
Si kucing jantan mengangguk. “Tentu saja ada,” jawabnya. “Kau juga harus tahu bila manusia pun bisa menciptakan benda yang bisa memperbudak kaum mereka sendiri.”
“Apa itu?”
“Uang.”
“Uang?”
“Ya. Benda yang selalu disebut-sebut oleh manusia yang memelihara kita sebagai alasan kepulangannya yang terlambat. Aku pun tidak begitu tahu pasti sejak kapan uang diciptakan dan mulai dipergunakan oleh manusia. Tapi, yang aku tahu pasti adalah, benda itu pastinya tidak akan bernilai jika manusia tidak memberinya sebuah nilai. Maksudku...” kucing itu mendeham. “Manusialah yang sudah memberikan sebuah nilai tersendiri pada benda yang mereka sebut sebagai uang itu, kan?”
Tiba-tiba saja Si kucing betina merasakan pusing di kepalanya. Seperti ada sebongkah kayu yang tiba-tiba saja menjatuhinya tepat di kepala.
“Coba sekarang kau pikirkan, padahal manusia yang menciptakan uang dan manusia juga yang memberinya nilai, tapi justru manusialah yang kemudian diperbudak oleh uang itu sendiri.” Kucing jantan itu tergelak. “Bukankah itu adalah kenyataan yang konyol dan menyedihkan?”
Si kucing betina mendesah. Sedikit tak tertarik ia bertanya, “Apa uang sebegitu kuatnya memperbudak manusia?”
“Ya, ya, tentu saja. Coba kau perhatikan bagaimana manusia yang memelihara kita selalu rela keluar rumah sepagi mungkin dan pulang selarut mungkin hanya demi bisa mendapatkan uang. Dan anehnya lagi, padahal uang yang didapatkannya nanti akan dihabiskannya juga untuk banyak keperluan. Dan salah satunya adalah untuk keperluan kita.”
“Bahkan,” sambungnya, “Pernah kutahu dari berita di tv kalau tidak sedikit perempuan yang rela menjual diri hanya demi bisa mendapatkan uang. Juga manusia yang rela merampok, membunuh, main dukun, sampai rela menipu dan korupsi hanya demi bisa mendapatkan uangbenda yang diciptakan oleh nenek moyang manusia yang justru memperbudak anak-cucu mereka sendiri.”
“Memangnya, bagaimana cara manusia bisa mendapatkan uang?” tanya Si kucing betina. “Apa mereka harus menggali tanah atau membongkar tong sampah seperti yang harus dilakukan oleh kucing liar saat berusaha mencari makan?”
Si kucing jantan menghela napasnya. “Tentu saja tidak, Sayang. Mereka harus bekerja untuk bisa mendapatkan uang. Mereka harus memanfaatkan segenap keahlian mereka agar bisa mendapatkan uang yang layak. Dan semakin tinggi atau semakin hebat atau semakin dibutuhkan keahlian yang mereka miliki, maka uang yang akan mereka dapatkan pun akan semakin banyak jumlahnya.”
“Oh, begitu.” Si kucing betina menanggapinya sedikit malas. Kepalanya masih berdenyut. Rasa pusing masih sedikit mengendap di kepalanya.
Tiba-tiba saja ada sesuatu yang mengerik terdengar di antara mereka. “Aku rasa pembicaraan kita ini telah membuatku lapar,” ujar Si kucing jantan begitu menyadari bila suara itu memang berasal dari perutnya yang kosong. “Apa kau juga lapar?”
“Tidak. Aku sedang tidak lapar.”
“Ya sudah. Kalau begitu aku akan makan sendirian saja.” Si kucing jantan mengangkat bokongnya.
“Tapi semua makanan di tempat makan kita sudah kosong. Kurasa pembantu kita lupa mengisinya lagi.”
“Begitu, ya? Yah, kalau begitu biarkan aku mengeong di dekatnya agar dia tahu kalau aku sedang lapar.”
“Lalu, bagaimana kalau dia sudah tidur?”
“Aku tinggal mencari makananku di tempat sampah. Ingatlah, Sayang, kita ini kucing. Kucing bisa mencari makan di mana saja.” Si kucing jantan terus berbicara sambil meniti langkahnya menjauhi pasangannya. “Kucing tidak perlu bekerja selarut mungkin hanya untuk mendapatkan makanan. Dan sisi baiknya, kucing tidak perlu mencari uang lebih dulu untuk bisa makan. Kucing hanya perlu langsung mencari makanan, bukan uang. Hahaha...”
“Dan satu lagi,” tambahnya, “Berhentilah menyebut manusia yang memelihara kita itu sebagai majikan kita. Karena kitalah yang selalu disuguhkan makanan dan kemanjaan olehnya, bukan sebaliknya.”

Kucing jantan itu pun berlalu sambil tergelak geli. ***

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

3 Responses to [Cerpen] Obrolan Tentang Manusia

  1. ucapan kucing yang terakhir keren. haha
    https://aksarasenandika.wordpress.com/2015/07/12/buat-bapak-semua-hanya-masalah-waktu/

    BalasHapus

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.