Malam belum terlalu larut ketika saya masih sibuk menyelesaikan sebuah
artikel yang harus berjumlah tak kurang dari 6.500 karakter. Namun, saat itu
satu halaman A4 pun urung tersentuh seluruhnya. Rasa kantuk tak jarang menghampiri, membuat
saya harus sering-sering mengerjap agar tetap terjaga. Kepala pun tak jarang
berdenyut kencang memikirkan kata demi kata yang harus saya tuliskan agar
artikel bisa menarik untuk dibaca. Kondisi seperti itu tak jarang melahirkan
bisikan setan yang berdenging di telinga saya. Entahlah, apakah itu bisikan
setan atau hanya panggilan hati yang merasa kelelahan. Sebab, dorongan agar
diri ini berhenti menyelesaikan tulisan pun semakin kuat adanya.
Pukul 20.10 WIB. Lagu barat yang saya tak tahu siapa penyanyinya dan
lagunya itu masih terdengar lewat sound
system yang terhubung dari salah satu komputer teman saya. Mengisi
kekosongan di ruang redaksi yang hanya menyisakan tiga lelaki—saya dan dua teman
saya—yang
saling berkutat dengan komputer masing-masing demi menyesaikan tugas. Kesejukan
angin malam di tanggal 20 Mei tak bisa saya rasakan sebab tak ada satu pun
jendela kantor yang terbuka, atau memang sengaja dibuka. Gerah perlahan menyelubungi tubuh saya sebab
pendingin ruangan dimatikan entah oleh siapa. Namun, agaknya artikel yang urung rampung itu telah mampu menghipnotis saya sehingga tak terlalu peduli
pada gerah yang semakin meruap.
Sekali waktu, dorongan untuk berhenti menulis—atau tepatnya mengetik—kembali menyeruak. Kepala pun sudah cukup
mumet karena sejak pagi mata sudah harus bersitatap dengan layar komputer, dan
kepala sudah harus memutar logika untuk menyelesaikan banyak tulisan (karena
saya bekerja sebagai reporter di tabloid yang cetak sebulan sekali, maka banyak
calon artikel yang menumpuk mendekati masa deadline).
Namun, kali ini sedikit berbeda. Hati saya, setidaknya itu yang saya
yakini, ikut mendorong saya untuk segera menghentikan aktifitas saya saat itu
barang sejenak. Bahkan, mendorong saya untuk lekas pulang. Tapi, di lain sisi
saya menolak itu. Setidaknya, satu artikel ini harus selesai lebih dulu sebelum
pulang, pikir saya waktu itu. Apalagi, saat itu belum lewat satu halaman A4
saya rampungkan.
Namun, ketika saya tengah memutar otak guna memberikan artikel yang
maksimal, tiba-tiba saja salah satu teman saya menegur saya. Gue balik dulu ya,
katanya sambil mengangkat sebelah tangannya ke udara. Sebagaimana kebiasaan
yang kerap terjadi, sebelah tangan saya pun melayang ke udara dan menyambut
tangannya. Kami saling bersalaman dan saya mengatakan hal basa-basi layaknya
seorang teman. Hati-hati di jalan, ujar saya. Sejurus kemudian, saya berdiri
dan beranjak dari meja kerja saya. Saat itu, yang terbersit di pikiran saya
hanyalah ingin melonggarkan otot mata dan mengosongkan pikiran barang sebentar.
Maka, saya pun melangkah ke depan meja kerja dan melihat punggung teman saya
itu yang tengah menuruni tangga.
Sepenangkapan mata ini, hanya tersisa saya dan satu teman saya lagi yang
masih berkutat dengan komputernya. Ia duduk di sebuah meja kerja yang menghadap
dinding. Di kanan dan kirinya tak ada satu pun orang. Hanya ada dua deret meja
di kanannya dan satu meja di kirinya yang hanya teronggok monitor komputer yang
tak menyala di atasnya. Lalu, saya pun mengalihkan muka ke sisi kiri. Sisi di mana hanya
ada deretan meja yang serupa dan tak bertuan. Namun, pandangan mata saya
berhenti mengedar ketika sampai di layar monitor CCTV yang tersemat di antara
empat layar monitor komputer yang berarak itu.
![]() |
Keadaan yang sedikit terlewat oleh pantauan saya waktu itu karena terlalu sibuk menyelesaikan tugas |
Lampu speedometer saya menyala? Saya membatin dan semakin fokus
memerhatikan layar itu. Saya tak begitu tahu apa yang terjadi tapi saya bisa pastikan kalau motor sudah saya tinggal dalam keadaan mati. Lalu, kenapa lampu
speedometer saya menyala? Sejurus kemudian saya lihat seorang lelaki yang
mengenakan helm biru menghampiri motor saya. Saat itulah saya sadar apa yang
tengah terjadi dengan motor saya. Bangsat! Saya mengutuk dalam hati seraya melangkah teramat
tergesa-gesa menuruni tangga. Saya sempat melewati teman saya yang hendak mengambil helmnya yang ditaruh di
sebuah lemari helm dan sebuah pintu yang terbuka, sebelum kemudian saya bisa
memandangi motor saya dari balik pintu kaca ruko (kantor saya memang di ruko).
Dan sejurus kemudian, saya melihat lelaki berhelm biru itu melihat ke arah saya
dan ia pun segera berbalik. Terlanjur tersulut emosi, tanpa gentar saya menuju
keluar. Dan begitu saya membuka pintu kaca itu, saya mendapati lelaki itu sudah
duduk membonceng temannya.
Woi, maling!!! Pekik saya sambil mengacungkan telunjuk ke arah mereka berdua. Dan
entah bagaimana lelaki berbaju putih yang mengendarai motor Vario biru itu sempat
menodongkan pistol ke arah saya seraya memaki. Anjing! Cercanya, sebelum
kemudian ia lebih memilih memacu motornya ketimbang menembak saya. Tak
henti-hentinya saya membatin penuh makian. Saya melangkah keluar dan
menghampiri motor saya. Benar, stop kontak motor saya sudah jebol. Untunglah
orang itu sempat tertahan karena tak menyadari jika ada gembok yang terselip di
cakram saya. Dan dalam beberapa saat, entah bagaimana, rekan-rekan saya segera
turun dan tempat itu pun ramai seketika. Meski pada kenyataannya hanya ramai
oleh delapan orang saja (saya, dua rekan saya, dua orang penghuni ruko sebelah,
seorang pengunjung ruko sebelah, dan sepasang manusia yang tak sengaja lewat dan
tampak kebingungan pascakejadian itu). Namun, saat itu saya tak berhenti
merutuk, baik dalam hati atau secara lisan langsung. Rutukan saya tak hanya tertuju
kepada dua maling tadi, melainkan juga ke salah satu instansi penegak hukum di
negeri ini, yaitu Kepolisian!
![]() |
Kondisi stop kontak setelah dibobol |
Apa sih kerjanya polisi?!! Rutuk saya waktu itu. Kegeraman saya, atau
tepatnya kegeraman yang muncul karena kekecewaan saya pada aparat penegak hukum
itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, hal ini sudah kali kedua yang saya alami
(meskipun Alhamdulillah keduanya gagal diambil), di lokasi yang sama, dan saya
yakin dengan pelaku yang sama juga. Dan parahnya, kejadian yang kali pertama
menimpa saya itu masih segar di ingatan.
Sebulan yang lalu, atau tepatnya 21 April 2015, tragedi kehilangan
motor sempat melanda kantor saya yang berada di bilangan Pondok Kelapa, Jakarta
Timur. Sore itu, dua motor berhasil digondol oleh kawanan maling motor yang
jumlahnya tak kurang dari enam orang. Saya tahu mereka adalah komplotan maling
motor yang tergolong profesional. Pasalnya, mereka hanya butuh waktu tiga menit
saja untuk menggondol dua motor! Dan itu bisa mereka lakukan di waktu sore saat
keadaan tak terlampau sepi.
![]() |
Enam orang beraksi menggondol motor |
![]() |
Mereka masih berupaya membobol gembok motor saya |
![]() |
Karena gagal, mereka akhirnya beralih ke motor lain |
Lihat bagaimana tenangnya mereka dalam melakukan aksinya.
![]() |
Kondisi gembok saya setelah berupaya dijebol. Saya terpaksa menggergaji gembok kemudian karena sudah tidak bisa dibuka lagi. |
Memang, soal kelalaian adalah bagian dari kesalahan kami—para penghuni
kantor—sebab
saat itu layar monitor yang memperlihatkan rekaman CCTV berada di ruangan yang
tak bisa dipantau oleh seluruh penghuni kantor (dan setelah kejadian barulah
layar monitor dipindahkan). Namun, di sisi lain, teman saya yang menjadi
korban kehilangan motor sudah memberikan sebuah rekaman CCTV kepada polisi pascakejadian.
Setidaknya, lewat rekaman CCTV itu polisi bisa mengendus keberadaan komplotan
maling motor yang tergolong berbahaya itu. Ya, berbahaya! Sebab, sehari setelah
kehilangan dua motor yang menimpa kantor saya, para komplotan maling itu
kembali beraksi. Kali itu, sasarannya adalah Kantor Cabang Perwakilan salah
satu Bank yang berada tepat di sebelah kantor saya. Namun, kali itu mereka
gagal sebab keburu kepergok OB dan security. Meski sempat mengeluarkan tembakan
ke udara, namun maling yang berjumlah hanya dua orang itu lebih memilih kabur.
Lihatlah, mereka—komplotan maling itu—sudah
membekali diri mereka dengan senjata api. Bisa dibayangkan betapa bahayanya
mereka yang bahkan mungkin tak segan-segan menembak ke arah seseorang saat
sudah benar-benar terdesak. Kalau sudah begini, lalu siapa yang bisa
menghentikan mereka? Kita, masyarakat sipil? Mungkin jawabannya, ya. Tapi,
tentu saja yang bisa benar-benar ‘membersihkannya’ adalah mereka, para aparat
penegak hukum. Sebab, mereka punya wewenang 100% untuk melakukan hal demikian.
Tapi, nyatanya, seperti yang Anda tahu, saya benar-benar kecewa sebab Polisi
seolah tak melakukan apa-apa.
Maaf, saya
berasumsi demikian sebab boleh dibilang, bila menilik kembali rentetan
peristiwa pencurian motor itu dilakukan dalam rentan waktu yang tak terlampau
lama. Hanya dalam jarak sebulan, bahkan sehari, mereka sudah bisa beraksi. Di
mana peran polisi? Saya benar-benar tidak melihat itu. Bahkan, proses penyidikan
TKP yang dijanjikan oleh salah satu polisi kepada teman saya urung terjadi
sampai detik ini! Sekali lagi saya tanya, mana peran polisi dan kerjanya polisi
itu apa?! Apa mereka hanya bertugas menerima dan mencatat laporan kehilangan,
mengendapkannya, lalu menyimpan berkas-berkas itu setelah menggunung di meja ke
tempat penyimpanan berkas? Entahlah, benar ke tempat penyimpanan berkas atau ke
gudang, saya pun tidak begitu tahu.
Tapi, kini
setidaknya saya tahu mengapa tempat saya menjadi favorit para pencuri motor
untuk beraksi (setidaknya itu yang saya tahu dari laporan masyarakat yang sudah
lama tinggal di bilangan Pondok Kelapa). Sebab, hanya ada dua hal kemungkinan
para komplotan pencuri motor itu bebas bergentayangan. Pertama, karena tanah
itu tanah yang tak bertuan. Tanah di mana tidak ada sosok aparat penegak hukum
yang mampu dirasakan secara fisik oleh masyarakat penghuninya. Dan kedua,
karena ada ‘oknum’ polisi yang ikut berperan melindungi para komplotan tersebut
sehingga mereka bebas bergentayangan melakukan aksinya.
Bagi siapa
pun, polisi atau bukan, yang merasa tersinggung dengan dugaan kedua saya, maka
saya mohon maaf. Sebab, apalagi dugaan yang bisa muncul di benak warga sipil
seperti saya setelah beberapa tragedi yang menimpa saya itu. Saya harap, lewat
tulisan ini para aparat penegak hukum yang sudah digaji lewat uang negara dan memiliki
wewenang 100% memberantas kebatilan dan kejahatan di negeri ini benar-benar
bergerak. Benar-benar melakukan tugasnya.
Saya tidak
pernah berharap para penegak hukum itu baru akan bergerak setelah banyak jatuh
korban ‘mati’ akibat ulah pencuri motor sudah diblow up oleh media. Sudah cukup kasus pembegalan yang pernah
meresahkan masyarakat terjadi! Dan kalau hal yang tak saya harapkan itu
terjadi, maka ijinkan saya untuk sekali lagi bertanya, kerjanya polisi itu
APA??!!!
Kerjanya mungkin minta jatah hasil tilangan hahaha
BalasHapus