![]() |
Foto : siperubahan.com |
Sebelum begal diekspos oleh media dan merajalela seperti beberapa bulan belakangan ini, begal sudah sering terjadi. Namun, sayang seribu sayang sebab hal itu tak pernah menjadi perhatian utama oleh media (hingga booming seperti sekarang ini) sebelumnya, sebab mereka memang kadang beraksi di "Tanah Tak Bertuan". Tanah Tak Bertuan adalah sebutan untuk banyak wilayah yang kehadiran polisi atau pun aparat penegak hukum lainnya tidak dirasakan sama sekali (setidaknya itu yang saya tahu ketika membaca Majalah Tempo edisi 9 - 15 Maret).
Dan anehnya, kini fenomena begal tiba-tiba saja booming tepat di saat kisruh dua lembaga penegak hukum negeri ini tengah melambung (KPK vs Polri). Ah, maaf, kali ini saya sedang tidak ingin menyangkutpautkan fenomena begal dengan masalah politik di negeri ini. Soal pengalihan isu atau permainan oknum, atau apalah itu, saya sedang tidak menyerempet kepada hal-hal tersebut. Saya hanya ingin membahas tentang begal dari sudut pandang baru dari sebuah hasil investigasi. Hanya itu.
Mungkin Anda sebelumnya belum pernah sekalipun mendengar nama "Kampung Begal", atau Anda sudah pernah mendengarnya? Baiklah, bagi Anda yang baru mendengarnya, maka Anda sama dengan saya. Sebelumnya saya ingin mengatakan jika saya tahu kampung tersebut dari Majalah Tempo edisi 9 - 15 Maret yang baru saya baca di bulan ini. Dan pada majalah tersebut dibeberkan sebuah investigasi tim Tempo di "Kampung Begal" tersebut. Sedikit saya jelaskan dulu mengapa kampung tersebut dijuluki demikian oleh polisi. Adalah setiap kali polisi menciduk, menangkap, atau menembak mati para pembegal dan rampok bersenjata di kota-kota besar, maka polisi akan mendapatkan hal yang serupa dari mereka. Ya, kebanyakan pembegal dan rampok itu berasal dari kawasan desa tersebut.
Menariknya, bagi saya pribadi setelah membaca hasil investigasi tersebut, saya jadi menilai Si Pembegal dari sudut pandang yang berbeda. Rupanya, memang tidak akan ada sebab jika tak ada akibatnya, dan akan selalu ada sebab untuk kemudian menjadi akibat. Dan dari apa yang saya baca dari hasil investigasi tersebut, saya bisa menarik kesimpulan dari latar belakang di balik maraknya warga (atau bisa saya bilang pemuda) kampung tersebut menjadi pembegal, Dan saya menyimpulkan latar belakang mereka nekat melakukan tindak kriminalitas karena tiga faktor, yaitu politik, narkoba, dan dendam. Tentunya, akan saya jabarkan apa saja yang menjadikan saya bisa menarik kesimpulan demikian.
Seperti dilansir oleh Majalah Tempo pada edisi yang sama, desa berpenduduk 3.000 orang itu sudah tidak asing lagi bagi polisi. Desa Tebing yang berada di Lampung Timur itu sejak lama sudah melahirkan para rampok dan pembegal yang beraksi di kota-kota besar seperti Lampung, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya. Sang kepala desa, Bukhori menuturkan jika ia tak terlalu ingat kapan desanya mulai mendapatkan julukan tersebut. Menurutnya, setelah krisis ekonomi 1998, perekonomian desanya menjadi ambruk seketika. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan. Satu per satu dari mereka pun mulai merantau, terutama yang berusia muda. "Di luar Lampung, mereka mulai merampok demi mengisi perut," tuturnya.
Inilah poin pertama bagi saya pribadi: politik. Tak ada yang menyangsikan jika politik dapat berpengaruh ke segala aspek, termasuk ekonomi. Tentunya, Anda pun tak bisa menyangsikan lagi bagaimana dampak dari politik negeri kita saat itu (1998), yang pada akhirnya mengakibatkan krisis ekonomi hingga lengsernya Orde Baru. Dan dari apa yang saya dapatkan dari hasil investigasi tersebut, maka saya simpulkan jika faktor pertama adalah karena politik. Ya, mereka adalah 'korban' dari peliknya budaya politik di negeri ini. Dan nahasnya, mereka juga yang harus diadili.
Dan belakangan ini, ketika begal mulai menjamur lagi di kota-kota besar hingga ke pelosok negeri bak virus flu babi, tim pemburu begal Kepolisian Daerah Metro Jaya pun mulai mengawasi redisivis begal dari Desa Tebing, juga dari desa-desa tetangganya di Kecamatan Melinting dan kecamatan tetangganya, Jabung. Sebab selama puluhan tahun, dua kecamatan tersebut dikenal polisi sebagai 'pemasok' begal berdarah dingin.
Pada hasil investigasi tersebut, dituliskan jika ada seorang jawara begal yang berada di Desa Tebing. Lelaki itu dikenal sebagai Minak Radin. Sepuluh tahun lebih sejak akhir 1990-an, namanya mulai mencuat sebagai pembegal di kawasan Jakarta dan Surabaya. Bahkan, pada 2000-2002 ia sudah 'go international', ia sudah merampok sampai Malaysia dan Singapura. Namun, kini ia sudah tak lagi menjalani hidup sebagai pembegal. Ia mengakui jika sudah meninggalkan dunia hitam tersebut sejak tahun 2008. Lewat Tempo, ia berkata jika kini sudah menjadi seorang pengusaha dan mengklaim memiliki 100 anak buah. Kendati demikian, ia menyatakan masih mengikuti perkembangan dunia begal. "Sebab saya ingin mengajak para begal bertobat," tuturnya pada Tempo.
Rupanya, dalam dunia begal pun tak ubahnya dunia sekolah, mereka pun mengenal senior dan junior. Dan belakangan, ia mengetahui jika para senior begal tersebut sudah menggunakan sabu untuk menjaring para remaja. Remaja-remaja yang umumnya berasal dari keluarga miskin pun kemudian dibuat berutang hingga puluhan juta rupiah. "Akhirnya mereka mencicil utang dengan uang hasil membegal," tukasnya. Bahkan, ia amat meyakini jika sabu-sabu menjadikan penyebab begal dari daerahnya semakin beringas.
Sesuai dengan pernyataan Minak Radin, saya pun tak ragu untuk membenarkannya. Inilah poin ke-dua bagi saya pribadi. Tentunya, kita sudah sering mendengar bagaimana beringasnya manusia ketika sudah kecanduan barang haram tersebut. Apa pun akan berani dilakukan oleh pecandu demi bisa membeli dan menikmati barang haram tersebut. Dan saya rasa negeri ini sudah masuk ke dalam krisis narkoba, sebab sudah banyak pemuda harapan bangsa yang terjerumus masuk ke dalam lubang hitam itu.
Serupa kisah fiksi pada sebuah film mafia, rupa-rupanya tak hanya Minak Radin yang dikenal sebagai jawara begal. Ada seorang lagi yang juga menyandang gelar 'jawara' tersebut selain dirinya, ialah Is Kambing. Jika Minak Radin dikenal sebagai jagoan begal Melinting, maka Is Kambing dikenal sebagai jagoan begal Jabung.
Dulunya, mereka berdua bersahabat. Mereka kerap beraksi bersama-sama untuk membegal. Tapi, ketika Minak Radin pensiun, Is Kambing masih enggan untuk hal itu. Bahkan, ia masih sering mengongkosi begal dari desanya yang hendak beroperasi di Jawa. Karena masih aktifnya Is Kambing itulah, para begal asal Lampung mengenalnya sebagai 'godfather'. Dan saat ini, ia masih menjadi buronan polisi.
Sesuai yang dilansir oleh Majalah Tempo, Is Kambing memang bukan pendatang baru di dunia gelap kriminalitas. Dua adiknya telah tewas diterjang timah panas polisi ketika membegal, namun ia tak kunjung kapok dengan tragedi tersebut. Pada 2011, Is Kambing pun berhasil ditangkap, lalu divonis tujuh setengah tahun penjara dalam kasus narkotika. Namun, belum rampung masa tahanannya, lelaki itu berhasil kabur dari LP Rajabasa pada Agustus 2012. Sejak saat itu, polisi berkali-kali mencoba menangkapnya, tapi selalu saja berujung pada kegagalan. Ia selalu berhasil lolos.
Kesulitan polisi menciduk Is Kambing memang tak bisa dilepaskan dari peran tetangganya. Pasalnya polisi sering gagal untuk masuk ke desa Jabung atau Melinting. Kalau bukan karena buruannya keburu kabur, polisi sering dihadang oleh massa. Lihat saja, pada 2013 silam, tim gabungan Kepolisian Daerah Lampung dan Kepolisian Daerah Jawa Barat menurunkan 500 personel untuk menangkap Said alias Yunus, begal yang menembak mati seorang polisi di Bandung. Dua kendaraan lapis baja pun dikerahkan dalam operasi di Desa Tebing. Namun, sayangnya buronan sudah lebih dulu lari. Berhasil kaburnya buronan pastinya disebabkan bocornya informasi penggerebekan tersebut.
Memang, menangkap seorang kriminal yang berasal dari desa tersebut tidaklah mudah. Sebab, ada kekerabatan yang begitu erat antara satu warga dengan warga lainnya. Mungkin, bisa saya katakan jika mereka merasa menjadi korban dari janji manis yang semu dari pemimpin negeri ini. Dan pada hasil investigasi Majalah Tempo, bahkan Minak Radin pun dengan bangga menceritakan kisah-kisah perlawanan penduduk saat melawan aparat. Menurutnya, warga Jabung umumnya terikat tali kekerabatan yang erat sebab tradisi perkawinan sesama saudara dan tetangga yang masih terjaga. Karena itu, bila ada kerabat yang hendak ditangkap, tanpa perlu komando, mereka akan kompak melawan aparat.
Lebih lanjut lagi, Minak Radin menuturkan jika perlawanan warga Jabung pun kerap dipompa dendam. Sebab, dari tahun ke tahun selalu ada saja 'kiriman peti mayat' ke Jabung dan sekitarnya. Menurut pensiunan begal itu, warga tak sepenuhnya percaya atas semua penjelasan polisi bahwa tetangga atau famili mereka ditembaki ketika membegal. "Ada yang ditangkap sehat-sehat, ketika pulang jadi mayat," katanya, "Pantas kalau keluarga dendam."
Inilah poin terakhir bagi saya pribadi: dendam. Pastinya sebuah dendam bisa menimbulkan efek yang tidak baik bagi siapa pun, termasuk juga bagi warga Jabung. Karena dendamlah mereka kerap kali melawan aparat demi melindungi tetangga dan famili mereka. Atau, mungkin bisa saya tambahkan jika rasa ketidakpercayaan mereka terhadap polisi pun menjadi poin penambah mengapa mereka begitu enggan menerima kehadiran polisi.
Sekali lagi, saya simpulkan jika ada tiga faktor yang menyebabkan warga dari desa-desa di Lampung tersebut menjadi pembegal, yaitu politik, narkoba, dan dendam. Memang, begal tetaplah begal, kejahatan tetaplah kejahatan, mau apa pun alasan di balik semua itu, kriminalitas tetap saja tidak boleh dihalalkan. Namun, agaknya dari apa yang saya jabarkan ini, semoga saja bisa membuka mata kita, memberikan sudut pandang baru jika pembegal juga manusia. Selalu ada sebab di balik sebuah tindakan.
Mengutip dari sub judul pada Majalah Tempo di edisi yang sama, Urusan Perut, Orang Bisa Nekat. Agaknya, saya pun tidak mau menyalahkan pihak-pihak tertentu, tapi ijinkan saya untuk menyampaikan pesan kepada para petinggi negeri ini lewat tulisan ini. Semoga ada salah satu dari para pejabat yang tengah duduk santainya, entah itu dari sekte kecamatan sampai presiden, yang membaca tulisan ini. Dan semoga mereka bisa tersadar agar tidak ada lagi keputusan-keputusan yang menguntungkan kelompok tertentu dan melulu menjadikan rakyat sebagai korban.
Itulah sudut pandang yang bisa saya berikan berdasarkan hasil investigasi tim Tempo, dan beberapa opini pribadi yang saya tuangkan. Mungkin, Anda memiliki opini serta sudut pandang yang berbeda menanggapi isu begal yang sedang marak diekspos oleh media belakangan ini, Anda bisa berbagi hal itu pada kolom komentar.