[Cerpen] Mata Indah Sekar (Part II)

(gambar: www.pinterest.com)
Selepas kepulangannya dari rumah sakit, tak ada yang berubah dari hidup Ibu Sekar. Perempuan paruh baya itu masih melanjutkan hidupnya seperti biasa: bekerja mengurusi salonnya. Sebenarnya dokter sudah memintanya untuk melakukan perawatan di rumah sakit demi kelanjutan kesehatannya. Namun tentu saja ia menampiknya. Ia enggan bila harus berada di sekitar mereka, apalagi dalam waktu yang tak sebentar. Bahkan, bujukan Sekar yang semakin cemas dengan kondisinya pun masih tak mampu merubah pendiriannya. Padahal, rasa benci Sekar kepada dokter telah sedikit memudar karena kehadiran Rama. Namun sepertinya, itu belum juga berlaku bagi ibunya.

Betapa cepatnya waktu bergulir bagi Sekar. Menit menjadi jam. Hari menjadi minggu. Dan minggu menjadi bulan. Waktu terus bergulir tanpa bisa dihentikannya. Atau untuk sekedar dilambatkannya pun ia tak mampu. Kematian memang akan selalu datang menjemput siapa saja. Namun siapa yang tak cemas bila hari kematian bagi orang tersayang dapat dikatakan dengan gamblangnya? Membuat hidup selalu dibuntuti oleh kecemasan. Membuat nalar tersadar jika waktu kebersamaan ini akan segera berakhir. Mungkin karena inilah Tuhan merahasiakan kematian hambanya. Sebab tak semua manusia siap menyambut hari kematiannya.

Lima bulan telah berlalu. Sekar pun semakin cemas dengan kondisi ibunya. Membuatnya akhir-akhir ini enggan untuk pergi jauh dari sisi ibunya. Ia tak ingin meninggalkan ibunya walau hanya sebentar, meski hanya sejengkal. Hari-harinya seolah sudah benar-benar ia dedikasikan hanya untuk ibunya seorang. Tidak untuk yang lain.
∞∞∞
“Ada yang mau mendonorkan jantungnya untuk ibuku, Rama! Pihak rumah sakit baru saja menelponku. Ibuku akan sehat lagi!” betapa riangnya suara Sekar yang terdengar dari balik telepon. Seperti anak kecil yang baru saja mendapati hadiah kejutan di hari ulang tahunnya.

“Oh, ya? Syukurlah! Lalu kapan ibumu akan melakukan transplantasi jantung?”

“Entahlah, pihak rumah sakit belum bisa memastikan. Tapi katanya ibuku diminta menyiapkan diri sekitar dua minggu lagi.” Sekar berhenti sejenak. Ia merebahkan diri di atas tempat tidurnya, “kata pihak rumah sakit, yang mau mendonorkan jantungnya adalah penderita kanker otak stadium akhir. Ia mau mendonorkan jantungnya karena umurnya tinggal sebentar lagi.”

Rama diam sejenak. “Tapi, apa ibumu sudah bersedia untuk melakukan itu? Bukankah dia masih membenci rumah sakit beserta dokternya?”

“Yaah... awalnya ibuku memang menolak. Tapi akhirnya ibuku mau juga setelah kukatakan jika aku yang akan mendonorkan jantungku sendiri kepadanya bila ia tetap menolak.”

Rama terkekeh. “Rupanya ibumu masih sulit untuk dibujuk dibandingkan dirimu.”

“Aku tak sabar menanti hari itu Rama,” sahut Sekar antusias. Ia tak mengindahkan ucapan Rama barusan.

“Oh, iya. Kau harus datang ketika hari itu tiba, ya. Temani aku di sana. Proses transplantasi jantung pasti akan memakan waktu yang lama kan?”

“Ya. Tentu. Aku akan datang, Sekar.”
∞∞∞
Hari ini adalah hari yang paling dinanti-nanti oleh Sekar. Bahkan, ia dan adiknya sudah semalaman berada di sisi sang Ibu yang tengah berbaring dengan pakaian serba hijau. Semalaman sudah Sekar dan adiknya senantiasa menemani ibunya yang akan menjalani tahap transplantasi jantung. Mereka tak henti berharap dan berdoa. Bahkan, genggaman Sekar tak pernah lepas dari tangan ibunya yang telah menua. Saat ini ia merasakan kelegaan dalam dirinya. Tinggal sebentar lagi. Tinggal melewati tahap operasi. Maka, kesempatan ibunya untuk hidup lebih lama akan terwujud. Ya, akan terwujud!

Seorang suster masuk dengan langkah yang agak tergesa-gesa. Ia menyampaikan kabar bila jantung yang mereka nantikan telah tiba lima menit yang lalu. Ia pun meminta Ibu Sekar untuk bersiap-siap. Tentu Sekar merasakan sebuah kelegaan dalam dadanya ketika mendengar hal itu. Senyumnya mengembang. Matanya berbinar-binar. Sambil menggenggam tangan ibunya ia terus meyakinkan kepada ibunya bila semua akan baik-baik saja.

“Suster!” panggil Sekar ketika suster itu hendak beranjak. “Kalau boleh tahu, siapa nama orang yang bersedia mendonorkan jantungnya untuk Ibu saya, sus?”

Suster itu menggeleng. “Saya tidak diberitahu namanya. Mungkin Anda bisa tanyakan langsung ke dokternya nanti,” jawabnya. Kemudian suster itu pun melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Entah mengapa Sekar merasakan jantungnya berdebar begitu tak menentu ketika mengantarkan ibunya sampai ke pintu operasi. Rasa senangnya kini berubah menjadi rasa waswas. Kecemasan kini menguasai dirinya seutuhnya. Sejak lampu di atas pintu operasi itu menyala, Sekar tak bisa duduk dengan tenangnya. Sesekali ia akan berdiri, berjalan sambil menghitungi tiap langkahnya dengan wajah yang menunduk, sebelum kemudian duduk kembali. Matanya pun tak jarang mengintip jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Begitu dan terus begitu.

Sesungguhnya, di saat-saat seperti inilah ia merasa amat membutuhkan kehadiran Rama. Ia merasa perlu ada seseorang yang bisa menenangkannya. Namun, sampai detik ini lelaki itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Ponselnya pun tak dapat dihubungi. Selalu nada sibuk yang terdengar. Ah, ke mana sih kamu, Rama?!

Selepas operasi, Sekar belum dapat langsung menemui ibunya. Kata dokter, mereka harus memastikan dulu bila jantungnya dapat bekerja dengan baik. Untuk sementara, Sekar masih harus menunggu lagi. Biar begitu, rasa cemasnya kini telah berangsur reda. Dadanya tak lagi berdebar seperti saat menunggu jalannya operasi. Setidaknya, ia sudah tahu bila peroses transplantasi jantung ibunya telah berjalan lancar.

Tadi seorang dokter baru saja masuk untuk memastikan kondisi ibunya. Dan ketika keluar dokter itu berkata bila Sekar sudah bisa masuk untuk menjenguk ibunya. Tetapi ia masih belum boleh membangunkannya, sebab ibunya masih berada di dalam pengaruh obat bius.

Dengan langkah hati-hati yang disertai perasaan bahagia tak terkira, Sekar pun masuk ke ruang tersebut beriringan dengan adiknya. Ia menarik sebuah bangku, menaruhnya di sisi tempat tidur ibunya, lalu duduk di atasnya. Sementara adiknya berdiri di sisi yang berbeda. Kini ia sudah bisa melihat ibunya terbaring tanpa bantuan alat pernapasan seperti waktu itu. Perlahan, sebelah tangannya pun menjulur dan meraih tangan ibunya. Tangan ibunya sudah menua dan dipenuhi oleh kerutan, tetapi masih saja terasa halus di tangannya seperti kain sutra. Ia menarik tangan ibunya, lalu menciumnya. Bahkan, aroma alami dari wangi tubuh ibunya masih dapat menenangkan jiwanya.

“Mbak Sekar. Ada seorang lelaki yang ingin menemui Anda di luar,” sahut seorang suster yang tiba-tiba saja masuk.

Sekar menoleh. “Laki-laki?”

Suster itu mengangguk.

Rama, batin Sekar menebak. Mengapa ia tak langsung masuk saja?

“Ya. Akan saya temui dia.”

Sesaat kemudian Sekar pun berdiri. Ia meminta kepada adiknya untuk tetap di sisi Ibu, lalu ia pun melangkah menuju pintu. Tak dikira ternyata tebakannya salah besar. Bukan Rama yang menunggunya di luar, melainkan seorang lelaki yang tak pernah dikenalnya. Lelaki itu berkacamata. Rambutnya tampak basah dan disisir seluruhnya ke belakang. Pakaiannya rapi dengan setelan jasnya. Dan ia menjinjing sebuah koper hitam.

“Anda Sekar?” sapa lelaki itu sesaat setelah ia berdiri menyambut kehadiran Sekar.

Dengan agak termangu, Sekar pun mengangguk pelan. Dijabatnya tangan lelaki itu tanpa membuang tatapan penuh tanyanya. Siapa lelaki ini?

“Saya, Joe. Kuasa hukum dari Rama,” tuturnya memperkenalkan diri sebelum Sekar bertanya. Suaranya tegas. Intonasinya terdengar teratur. “Bisa kita bicara sambil duduk?” sambungnya ketika menyadari Sekar hanya mematung menatapnya.

“Oh, iya. Tentu.” Sekar pun duduk di salah satu kursi yang tersemat pada sisi dinding, berada tak jauh dari pintu. Lelaki itu pun mengisi bangku yang ada di sampingnya.

Sesaat kemudian lelaki itu mulai bicara. Sekar mendengarkannya dengan seksama. Perhatian Sekar pun seketika teralihkan kepada lelaki itu tatkala ia berhasil membuatnya tersentak. Dadanya mendadak sesak. Bibirnya kelu. Dan garis muka yang menggambarkan kebingungan itu kini perlahan menyiratkan kepedihan. Dua suster melintas di depannya sambil bersenda gurau. Tetapi ia tak menghiraukannya.

Pembicaraan yang begitu serius, namun tak berlarat-larat. Sekar masih kelu dalam bisunya. Kini sorot matanya berubah sendu. Lelaki itu kemudian berhenti bicara. Ia memangku kopernya, membukanya, lalu mengambil sebuah amplop surat dari dalam. Kemudian, ia berikan surat itu kepada Sekar sebelum menutup kembali koper hitamnya. Merasa bila tugasnya telah selesai, lelaki itu pun kemudian beranjak dan pergi meninggalkan Sekar dalam kesendiriannya.

Kini Sekar hanya duduk menyendiri di antara deretan kursi yang kosong. Wajahnya tertunduk meratapi sebuah surat yang kini ada di tangannya. Ia mengambil satu tarikan napas yang amat dalam, lalu mengembuskannya guna menenangkan dirinya. Jantungnya masih berdegup cepat. Dengan tangan yang agak gemetar, dibukanya amplop surat yang putih itu secara perlahan. Amat perlahan seperti membuka perban yang membalut luka. Lalu, diambilnya dua lembar kertas yang ada di dalamnya. Ia pun membuka dan membacanya;

Hai, Sekar. Bila surat ini sudah berada di tanganmu, itu berarti kamu sudah mendengar semuanya dari lelaki yang memberikanmu surat ini. Aku tahu, kamu pasti tak pernah mengira semua itu. Ya, Sekar, aku adalah anak dari seorang dokter yang menjadi tempat ibumu menangis dan mengemis demi keselamatan ayahmu. Aku adalah anak dari laki-laki yang telah mengecewakanmu dan juga ibumu. Aku tahu bagaimana rasanya melihat seseorang yang kita cintai menangis dan mengemis di kaki orang lain demi keselamatan orang yang dicintainya. Tak perlu kau tanyakan hal itu kepadaku, sebab aku tahu bagaimana rasanya.
Kamu pasti tak menyadari bila dokter itu adalah ayahku, sebab waktu itu kita masih SMA. Seperti yang kau tahu, saat itu kita hanya sebatas kenal saja. Kau tahu Sekar? Saat melihat semua itu sesungguhnya aku pun merasa marah, sedih, dan pasrah. Aku marah kepada ayahku sendiri yang tak bisa berbuat layaknya seorang dokter. Aku sedih ketika melihat ibumu berlutut dan menangis. Tapi saat itu aku hanya bisa pasrah karena aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa melihat dan mengintipmu dari balik tembok. Hanya bisa melihat tangismu dan ibumu waktu itu. Sejak itulah aku merasa bila ada dosa yang mengalir di dalam keluargaku. Setiap kali aku mengingat kejadian itu, aku selalu merasa ada sebuah  dosa besar yang mengikutiku. Dosa itu selalu menghantuiku, sebab aku mengenalmu. Aku melihatmu dan ibumu yang menangis. Lebih-lebih melihat ibumu bersujud di kaki ayahku. Bayangan itu selalu membuatku merasa berdosa, Sekar.
Karena kejadian itu akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan bangku kuliahku di fakultas kedokteran. Bukan untuk mengikuti jejak ayahku, melainkan untuk menebus dosa ayahku. Kamu tahu, pertemuan kita di apotek waktu itu bukanlah sebuah kebetulan, sebab aku memang sudah lama merencanakannya. Aku tahu kamu sering menebus obat jantung dari seorang apoteker. Tapi aku tak tahu untuk siapa obat itu. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menghampirimu yang tengah duduk sendirian menunggu obatmu. Dan disitulah kamu berkata bila sedang menebus obat untuk ibumu. Saat itulah aku tahu bila ibumu mengidap penyakit jantung.
Kamu tahu Sekar, saat itu aku baru lulus dari kuliah kedokteranku. Dan sejak saat itulah aku memutuskan melanjutkan kuliahku untuk menjadi dokter spesialis jantung dan pembuluh darah. Tentunya bukan tanpa alasan. Aku hanya berharap agar ketika aku sudah menjadi dokter spesialis jantung nanti, aku dapat mengobati ibumu. Atau malah menyembuhkan penyakit ibumu. Tapi rupanya kenyataan memang tak selalu berjalan sesuai rencana. Belum selesai aku menyelesaikan kuliahku, kondisi ibumu sudah semakin parah. Dan yang membuatku makin sedih adalah ketika kamu memberitahuku bila dokter telah mendiagnosa umur ibumu tak akan sampai enam bulan. Lebih lagi ketika dokter bilang harapan ibumu untuk sembuh hanya dari transplantasi jantung. Saat itu aku ingin menjerit mendengarnya, Sekar. Bagaimana aku bisa menebus dosa kepada ibumu bila umurnya tak lagi panjang? Tapi, kemudian aku pun menemukan jawabannya Sekar. Ya, aku memutuskan untuk mendonorkan jantungku. Aku berharap dengan ini aku bisa menebus dosa-dosa keluargaku. Dosa ayahku.
Aku yakin pasti pihak rumah sakit mengatakan bila yang mendonorkan jantungnya adalah orang yang telah mengidap kanker otak stadium akhir. Tenang Sekar, aku tak pernah mengidap penyakit itu. Kamu tahu, segalanya bisa dimanipulasi di negara ini. Termasuk kematian. Tapi kamu tak perlu merasa berdosa, sebab saat ini aku telah tenang dalam tidurku. Oh, iya, bagaimana kabar ibumu? Aku harap proses transplantasinya berjalan lancar. Dan semoga jantungku bisa bekerja normal di tubuh ibumu.
Ada lagi yang ingin kusampaikan kepadamu, Sekar. Sesungguhnya alasanku melakukan semua ini bukan hanya ingin menebus dosa ayahku. Walau itu memang tujuan utamaku, tapi sudah sejak SMA aku selalu senang mengawasimu dari kejauhan. Dan seiring kebersamaan kita ini, kurasa alasan lain kumau melakukan semua ini adalah karena aku mencintaimu. Benar, Sekar. Aku mencintaimu. Karena itulah rasanya tak mungkin aku akan kuat menjalani hidup bila setiap hari aku harus melihatmu bersedih. Melihat matamu yang teduh itu berubah redup meratapi kehilangan ibumu. Aku tak mau itu Sekar. Aku ingin matamu yang cokelat dan teduh itu selalu tampak indah. Aku berharap dengan mendonorkan jantungku pada ibumu, bisa membuatmu selalu mengingatku setiap kali kamu melihat ibumu. Setidaknya aku bisa menjadi bagian dari seseorang yang paling kamu sayangi.
Rasanya sudah cukup aku mengutarakan semuanya, Sekar. Semuanya telah kusampaikan kepadamu. Termasuk perasaanku. Aku harap kita dapat bertemu lagi di alam yang berbeda. Atau mungkin di kehidupan yang lain. Tentunya, tanpa aku perlu memikul sebuah dosa kepadamu. Sebab aku ingin selalu berada di sampingmu tanpa perlu mengingat luka.
Aku akan selalu mencintaimu, Sekar.
Tertanda, Rama.

Buliran bening seketika terbit di sudut matanya. Melembak dan berderai menuruni pipinya. Menitik pada secarik kertas yang tengah dibacanya. Meninggalkan bercak pada kertasnya. Memudarkan beberapa huruf yang terangkai dan tertulis di sana. Sekuat hati ia berusaha menahan isaknya. Namun, betapa pun ia berusaha, tetap saja ia tak sanggup membendungnya. Di sepanjang koridor yang tengah lengang dan sepi, ia menumpahkan semuanya.
Wajahnya tertunduk menumpahkan pilunya. Matanya terpejam lekat. Air matanya terus melembak dan berderai menuruni pipinya. Beberapa sampai menitik ke lantai. Sebelah tangannya menutupi bibirnya yang bergetar dan basah. Napasnya pun tersengal-sengal karena isakannya. Sebelah tangannya lagi masih mengenggam secarik kertas itu agak gemetar. Tubuhnya terduduk lemas meratapi kehilangannya.***

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

3 Responses to [Cerpen] Mata Indah Sekar (Part II)

  1. nice,
    cinta dan maut..
    lanut ke part 3 dong, ceritanya sekar punya pacar baru gitu :)

    BalasHapus
  2. Cerpen yang bagus. Benarkah tindakan donor organ oleh orang yang sehat walafiat diperbolehkan? Mulia tapi menyedihkan bgt ya. Kalau ada waktu, main main ke interleaved.blogspot.com yaaa. Hehehe.

    BalasHapus
  3. Cerpennya keren, gue aja buat cerpen masih putus-putus ;)

    BalasHapus

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.