[Cerpen] Mata Indah Sekar (Part I)

(gambar: www.pinterest.com)
Soluna hitam itu berhenti tepat di depan sebuah rumah kala Rama menginjak pedal remnya. Setelah menarik rem tangan, ia bergegas keluar, berjalan setengah berlari menuju pintu belakang dengan memutari mobil. Bersamaan dengannya, Sekar yang duduk di samping kursi kemudi pun bergegas keluar. Ia beralih ke pintu belakang, membukanya, dan menuntun ibunya yang hendak turun dari mobil. Dan ketika Rama─yang berniat ingin menuntunnya─baru saja mencekal lengan Ibu Sekar, dengan serta merta perempuan paruh baya itu justru menampiknya. Bahkan ia terus berlalu tanpa sekalipun mau menatapnya. Sekar sempat melempar pandangannya kepada Rama saat itu juga. Sebuah tatapan yang menyiratkan penyesalan. Dan Rama hanya membalasnya dengan sebuah senyum tipis. Seolah ia sedang memberikan siyarat ‘tak apa’. Sambil terus mencekal lengan dan merangkul pundak ibunya, Sekar pun menuntun ibunya masuk ke dalam rumah.
            Sementara itu, Rama memutuskan untuk menunggu Sekar di sisi mobilnya. Berdiri sambil bersandar pada mobilnya. Matanya menatap lurus ke depan. Tepat ke rumah yang tak terlalu besar dengan pagar teralis yang tingginya hampir sedadanya. Pintu depannya tersingkap, memancarkan semburat keputihan dari dalam yang kontras dengan lampu terasnya yang berpendar temaram.
Sepi.
Malam telah larut dan hanya terdengar lamat-lamat parade para jangkrik yang mengerik. Semilir angin sempat menerpanya. Menepi ke tengkuk Rama, membuatnya sedikit bergidik. Tak berselang lama, Sekar pun kembali muncul dari pintu yang terbuka itu. Ia berjalan menghampiri Rama yang telah menanti kehadirannya.
            “Terima kasih ya, Rama. Kau sudah mau menjemput ibuku lagi,” ujar Sekar begitu berdiri tepat di depan Rama. Sebelah tangannya menyisihkan sisi rambutnya, yang kemudian diselipkannya ke belakang telinganya. “Maaf soal tadi. Ibuku masih seperti itu kepadamu,” sambungnya tak enak hati seraya sedikit menundukkan wajahnya.
“Tak apa Sekar. Aku mengerti. Dulu kau pun begitu, kan?” sahut Rama tanpa sedikit pun merasa terhina.

Sekar tersenyum tipis seraya mengangguk kecil. Ia tak menampiknya bila dulu ia pun begitu.
            Jeda sesaat. Jangkrik-jangkrik masih mengerik.
            “Oh, iya. Kau mau masuk dulu? Aku bisa buatkan minum untukmu.”
            “Tidak. Tidak perlu. Sudah terlalu larut. Lebih baik aku langsung pulang saja.” Rama meraih kunci mobilnya dari saku celananya. Namun, sesaat kemudian ia terhenti. Ia teringat sesuatu.
“Oh, iya. Ada sesuatu untuk ibumu.” Rama segera melangkah ke bagasi mobilnya, membukanya, lalu mengambil sebuah kantung plastik putih yang tampak telah berisi. Kemudian ia memberikannya kepada Sekar.
            “Ini apa?” tanya Sekar begitu menerima kantung plastik itu dari Rama.
            “Di situ ada buah apel dan alpukat. Buah-buah itu baik untuk jantung. Jadi berikan untuk ibumu. Katakan kepada ibumu untuk sering-seringlah makan buah-buahan itu.”
            “Terima kasih, Rama. Aku tidak tahu harus bagaimana membalas semua kebaikanmu ini.”
            “Tak perlu kau pikirkan soal itu. Anggap saja semua ini kulakukan sebagai bukti keseriusanku.”
            Sekar hanya tersenyum sipu menanggapi ucapan Rama. Sebelah tangannya menyisihkan sisi rambutnya lagi. Lalu, menyelipkannya ke belakang telinganya.
            Sesaat kemudian Rama pun pamit. Ia melangkah masuk ke mobilnya. Setelah mesinnya meraung, sedan hitam itu pun lekas melaju membelah pekatnya malam. Merentas kesunyian di antara temaramnya lampu-lampu jalanan.
Sekar masih membatu di tepi jalan sambil menjinjing sebuah kantong plastik. Ia masih di sana sampai mobil itu tak lagi tampak di pelupuk matanya. Menghilang setelah melewati tikungan.
∞∞∞
Rupanya perempuan paruh baya itu masih belum juga sudi mengubah penilaiannya terhadap Rama. Sorot matanya yang penuh benci dan penghakiman itu masih sJ ia tumpahkan kepada Rama. Sorot mata yang menakutkan. Bahkan hingga hampir satu tahun sudah Rama berusaha meyakinkan bila ia berbeda, perempuan yang hitam rambutnya telah sedikit memudar itu tak juga merubah anggapannya.
Rama tak pernah menyalahkan sorot mata penuh kebencian dan penghakiman yang masih ditumpahkan itu kepadanya. Sebab dulu Sekar pun memiliki sorot mata yang serupa. Sorot mata yang memancarkan dendam dan kebencian tatkala ia tahu bila Rama adalah seorang dokter. Sorot mata yang menakutkan. Rama tahu, pasti ada alasan dibalik kebencian mereka. Seperti halnya cinta, tentunya kebencian pun perlu sebuah alasan.
Sesungguhnya, sorot mata Sekar begitu gelap dan menghunjam. Seolah ada dendam yang telah mengendap lama di sana. Terkubur bersamaan dengan luka yang masih menganga. Bersemayam dan siap keluar untuk menerkam setiap kali ia menatap kepada seorang dokter. Tak terkecuali, Rama. Ya, Rama adalah seorang dokter. Dan setiap kali Sekar menatapnya seperti itu, maka hanya rasa bersalah yang akan muncul di dalam dirinya. Rama seolah tengah dihakimi atas perbuatan yang belum pernah dilakukannya kepada Sekar. Entahlah, mengapa bisa begitu. Tetapi, itulah kekuatan mata Sekar. Mata yang menyimpan dendam.
“Apa kau begitu membenci seorang dokter?”
“Ya,” jawab Sekar dingin seraya terus menggoreskan kuasnya pada permukaan kanvas. Matanya tak teralihkan sedikit pun dari lukisannya.
Rama sempat mengalihkan perhatiannya pada lukisan Sekar untuk sesaat. Dilihatnya gambar seorang Ibu yang tengah menyusui anaknya. Perempuan pada lukisan itu bersanggul dan mengenakan kebaya tipis seperti perempuan Jawa tempo dulu. Tapi anehnya, lukisan Sekar tampak kabur dan tak mendetail. Seperti foto yang tak mendapatkan titik fokus.
“Apa itu juga berarti kau membenciku?” tanya Rama begitu ia alihkan lagi perhatiannya kepada Sekar.
“Tidak. Aku tidak membencimu. Tapi aku membenci profesimu.”
“Memangnya apa yang salah dengan profesiku? Kenapa kau dan ibumu begitu membenci seorang dokter?”
Sekar menghela napasnya. Sejenak ia menghentikan gerakan tangannya. Matanya menatap Rama untuk sesaat. Kali ini tak ada dendam atau pun kebencian yang tersirat dari matanya. Entahlah, tapi bisa dibilang bila saat itu sorot matanya tak menyiratkan apa pun. Kosong. Seperti raga yang sudah tak bernyawa. Sesaat kemudian ia kembali melemparkan pandangannya pada lukisannya. Menggoreskan lagi kuasnya.
Rama sempat lama memerhatikan Sekar. Ia menunggu. Tetapi Sekar tak kunjung berbicara lagi. Hanya terdengar suara denyit kipas yang berputar di langit-langit meruap di ruangan ini. Namun, ketika Rama baru akan bertanya sekali lagi, Sekar dengan sendirinya mulai bicara. Seraya terus menggoreskan kuasnya, ia mulai menceritakan sebagian sejarah hidupnya.
“Lima tahun yang lalu, di mana aku masih SMA. Kau pun masih SMA. Kita masih duduk di kelas dua belas. Saat itu, kondisi ayahku yang tengah menjalani perawatan pascakecelakaan semakin kritis. Kata dokter, ayahku mengalami epidural hematoma. Semacam pendarahan pada selaput otaknya dan harus segera dioperasi. Tapi, karena keluargaku tidak memiliki biaya yang cukup untuk melengkapi administrasi, operasi pun tak kunjung dilakukan.
Waktu itu, ibuku sampai membuang rasa malunya untuk memohon dan mengemis kepada seorang dokter yang akan mengoperasi ayahku. Tapi dokter itu bilang bila ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia tetap tak bisa melakukan operasi karena tak mendapat ijin dari pihak rumah sakit. Ia terikat dengan peraturan rumah sakit. Ibuku terus memohon dan menangis. Bahkan ia sampai berlutut di kakinya. Melihat hal itu tentu membuatku miris. Aku pun ikut memohon dan mengemis kepada dokter itu. Tapi aku tak sampai berlutut. Hanya ibuku yang rela berlutut kepadanya. Mengemis dan memohon. Tapi dokter itu malah pergi meninggalkanku dan ibuku.”
Sekar berhenti sejenak. Ia mengoleskan kuasnya pada paletnya, lalu menggoreskannya lagi ke permukaan kanvasnya.
“Nyawa ayahku tak dapat lagi tertolong. Ayahku meninggal hanya karena tak segera mendapatkan pertolongan yang ia perlukan.” Matanya yang cokelat itu perlahan mulai menunjukkan jiwanya. Buliran bening pun seketika menggenang di sudut matanya. Tangannya tak lagi menggiring kuasnya untuk menggoreskan warnanya. Tapi hanya ia pangku di atas pahanya.
“Bisa kau bayangkan bagaimana kondisi dan perjuangan ibuku saat itu? Ia berlutut, mengemis, dan memohon agar suaminya bisa segera dioperasi. Agar suaminya dapat tertolong. Bahkan ibuku sampai berjanji akan menggadaikan surat tanahnya nanti untuk membayar biaya operasi. Tapi mereka, para dokter dan pihak rumah sakit lainnya hanya diam dan seolah tak punya rasa iba. Adakah yang lebih menyakitkan ketika kau melihat seorang manusia mau mengemis dan memohon kepada orang lain demi keselamatan orang yang dicintainya?”
Rama seketika tak dapat bersuara. Bibirnya mendadak kelu untuk sekedar membela profesinya. Suaranya seolah tersekat di antara merihnya. Bahkan ia tak kuasa menatap mata Sekar yang kala itu tengah menumpahkan pedihnya. Buliran bening itu berlinang menelusuri kulit pipi Sekar yang putih. Seperti hujan yang turun di kala terik. Namun, tak ada pelangi yang muncul sesudah redanya, melainkan sebuah halimun pekat yang lahir setelahnya. Matanya begitu mendung.
Hanya dari menceritakan masa lalunya saja sorot mata Sekar sudah begitu berbeda dan memilukan, antara benci dan sedih, pasrah dan dendam, kehilangan dan kecewa. Semua itu mampu terlukis pada sorot matanya. Apakah bencinya memang sebegitu kuat adanya, sehingga bisa mengubah sorot matanya dalam sekejap? Entahlah, batin Rama termenung.
∞∞∞
            Matanya cokelat dan teduh. Rambutnya hitam dan lurus sebahu. Bibirnya tipis dan selalu tampak alami, sebab ia tak pernah menggunakan gincu. Wajahnya putih dan cantiknya natural, sebab ia pun tak terlalu suka berdandan. Selain itu, ia selalu senang mengenakan kaos dan juga flannel yang tak pernah dikancingnya. Dan ia selalu suka mengenakan celana jeans birun dengan warna yang pudar di sekitar pahanya. Itulah gadis yang telah setahun belakangan ini selalu menjadi tempat singgah bagi Rama. Tak peduli meski dulu matanya pernah menatapnya penuh dendam dan benci. Rama tak pernah letih membuktikan kepadanya jika ia berbeda dari yang lainnya.
            “Apalagi yang kau bawa ini?” tanya Sekar begitu menerima sebuah kantung plastik putih dari Rama. Ia masih berdiri tepat di pintu pagarnya, menyambut kedatangan Rama yang mengunjunginya. Padahal baru semalam mereka bertemu. Tapi sore ini lelaki itu kembali menemuinya.
            “Itu isinya irisan ikan tuna dan salmon. Aku baru membelinya tadi di supermarket. Masakkan itu untuk ibumu.”
            “Kau begitu memperhatikan ibuku. Mungkin tak ada salahnya bila kau menikah dengan ibuku nanti.”
            “Bagaimana ibumu bersedia menikahiku bila menjadikanku menantunya saja ia masih menolak?” seloroh Rama jengkel.
Sekar mengatupkan rapat mulutnya. Ia menahan kekehnya.
“Apa ibumu ada di rumah?” tanya Rama seraya menerawangi teras rumah Sekar yang tampak sepi.
Sekar menggeleng. “Ibu sedang di salon. Hanya ada adikku di rumah.”
Pantas bila Sekar begitu sulit untuk diluluhkan bila melihat ibunya yang seperti itu. Padahal baru semalam Rama menjemputnya dari rumah sakit, tapi itu tak membuatnya jerah dan berhenti bekerja untuk mengurusi salonnya sendiri. Bila berkaca pada ibunya, memang tak salah bila Sekar memiliki hati yang tebal juga. Begitu sulit untuk diruntuhkan. Bahkan, hanya untuk membuatnya mau menarik kembali kata-katanya merupakan hal yang sangat sukar untuk dilakukan.
Setelah dirasa cukup basa-basinya, Sekar pun mengajak Rama menuju sebuah rumah kecil yang tepat berada di samping rumahnya. Tempat Sekar sering menghabiskan waktunya untuk melukis. Sekar memanglah seorang pelukis. Selepas SMA, ia putuskan untuk mengambil kuliah seni guna mengasah kemampuannya dalam melukis. Dan selepas lulus dari kuliahnya, ia pun sering mengikuti pameran-pameran seni rupa untuk memasarkan lukisannya. Tak jarang pula lukisannya selalu laku terjual.
Rama mengambil sebuah bangku plastik warna hijau tanpa sandaran, menaruhnya di dekat bangku Sekar berada, lalu duduk di atasnya. Dilihatnya sebuah kanvas yang masih terpasang pada easelnya. Kali ini Sekar tengah melukis dua anak kecil yang sedang asyik bermain kelereng. Tetapi, entah di mana mereka bermain, sebab Sekar baru melukiskan wujud dua anak kecil dan kelereng yang bertebaran di dekat mereka pada kanvasnya.
“Apa ini lukisan yang akan kau pajang untuk pameran lusa?” tanya Rama begitu Sekar kembali dari dapur rumahnya untuk menaruh makanan pemberiannya tadi.
“Bukan,” jawab Sekar begitu mengisi kembali bangkunya. “Lukisanku yang akan dipajang di pameran itu sudah kusiapkan di sana,” sambungnya sambil menunjuk ke salah satu sudut ruangan dengan matanya.
Rama menoleh ke sudut ruangan yang ditunjuk Sekar. Ia mendapati tiga buah lukisan yang disandarkan pada dinding bercat hijau muda itu. Lukisan-lukisan itu tak jauh berbeda dengan lukisan Sekar pada umumnya; tak memiliki detail dan agak kabur. Katanya, lukisannya memiliki unsur impresionisme. Entahlah, apa maksudnya. Apakah itu berupa aliran atau jenis. Rama tak begitu mengerti.
Sebelumnya ia pernah menjelaskan hal itu kepada Rama, tetapi Rama sudah lupa dengan penjelasannya. Yang Rama tahu lukisannya memang menarik. Seperti pada ketiga lukisannya itu; lukisan tiga perahu nelayan yang sedang bersandar di pinggir pantai, lukisan seseorang yang tengah meringkuk dan menyendiri di atas perahunya di tengah danau, dan lukisan seorang penari wanita yang berpakaian wayang. Semua tak mendetail dan agak kabur. Tetapi tetap saja, begitu menarik untuk dilihat.
“Apa hanya tiga itu saja?”
“Ya, hanya itu. Itu pun aku sudah bersyukur. Aku hampir tak kebagian tempat lagi karena banyaknya peserta yang mengikuti pameran.”
Saat itu Rama hanya duduk seraya terus memerhatikan Sekar yang tengah menyelesaikan lukisannya. Tak ada hal yang lebih menarik baginya selain melihat Sekar seperti saat ini. Sebab saat melukislah mata Sekar yang cokelat itu akan memancarkan semburatnya yang berbeda. Tak ada dendam maupun benci. Tak ada kesedihan maupun kepiluan. Tak ada luka maupun nestapa. Sorot matanya akan tampak begitu teduh. Membuat siapa pun mau berlama-lama memandangi panorama indah itu. Apalagi seberkas cahaya tampak menaungi wajahnya tatkala ia tengah konsen menyelesaikan lukisannya.
Tetapi, entah mengapa hari ini Rama tak melihat semua itu lagi di wajahnya. Bahkan sinar wajahnya redup. Seperti bulan yang mengalami gerhana. Sorot matanya membuncah. Seperti air danau yang tertumpah limbah. Apa yang sedang dipikirkannya?
“Apa yang sedang kau pikirkan? Wajahmu terlihat begitu cemas.”
“Tidak. Tidak ada yang kupikirkan. Atau pun aku cemaskan.”
“Ayolah, jangan menyembunyikan sesuatu dariku. Aku bisa melihat jelas wajahmu menyimpan kecemasan. Ada apa? Ceritalah,” cecar Rama tak puas dengan jawaban Sekar.
Sekar tersenyum getir. Ditariknya lagi kuasnya dari kanvas. Ia menghela napasnya amat dalam, lalu mengembuskannya kembali dengan perlahan. Embusan napasnya terdengar begitu berat. Sekar seperti sedang memikul beban yang amat berat.
“Aku memikirkan kondisi ibuku. Aku semakin cemas dengan kondisinya. Dalam sebulan sudah dua kali ia masuk rumah sakit. Dan yang semalam sudah ketiga kalinya. Aku takut kondisinya akan semakin memburuk nantinya.”
“Tak bisakah kau membujuk ibumu agar mau mendapatkan perawatan di rumah sakit?”
Sekar menggeleng. “Ibuku sudah terlalu benci kepada dokter dan rumah sakit. Bahkan ia lebih senang mengkonsumsi obat-obatan herbal daripada obat dari dokter. Tapi tetap saja, bagaimana ibuku bisa sembuh bila ia tak pernah mau memeriksa kondisi jantungnya ke rumah sakit? Bagaimana ibuku bisa tahu apa yang harus diminumnya bila ia tak mengetahui jelas tentang penyakit jantung yang dideritanya?” kali ini suaranya bergetar. Ia berusaha keras mengatur intonasinya. Berusaha untuk tetap terlihat tegar di depan Rama. Padahal, hatinya sudah cemas tiada tara.
“Andai aku tak memikirkan ibuku akan hidup menyendiri dan menanggung hidup adikku sendirian, pastinya aku akan mendonorkan jantungku demi kesehatannya kembali,” sambungnya lirih seraya menyeka air matanya yang telah menggenang di sudut matanya.
Rama menatap Sekar penuh simpati. Ia bisa merasakan betapa cemasnya Sekar saat ini. Ia bisa merasakan sebab ia begitu peduli kepadanya. Siapa yang tak sedih bila melihat orang yang dikasihinya sedang bersedih?
Jeda sesaat. Denyit kipas yang berputar di langit-langit masih terdengar meruap.
“Apa ibuku masih bisa hidup lebih lama lagi?” tanya Sekar sesaat setelah menggoreskan lagi kuasnya pada permukaan kanvasnya.
Rama bergeming. Sejujurnya ia bingung harus menjawab apa.
“Katakan saja, Rama. Bukankah kau seorang dokter? Apalagi saat ini kau sedang melanjutkan kuliahmu untuk menjadi dokter spesialis jantung.”
“Tapi aku masih dalam tahap belajar. Aku belum tahu jelas mengenai penyakit ibumu.”
“Kalau begitu katakanlah sebagai seorang dokter jantung yang masih belajar. Apakah ibuku akan sembuh dari penyakitnya?” cecar Sekar.
Rama menghela napasnya panjang. “Ya, Sekar. Ibumu akan hidup lebih lama lagi. Jauh lebih lama dari yang kau kira,” jawabnya setelah sempat lama berpikir.
Entahlah, benar atau tidak apa yang dikatakannya. Yang Rama tahu, inilah jawaban terbaiknya saat ini. Mencoba meyakinkan Sekar bila ia tak ‘kan kehilangan orang yang dikasihinya dalam waktu dekat ini.
Beberapa saat berlalu, mereka tak saling berkata-kata. Hanya suara denyitan kipas yang meruap di sekitar mereka. Sekar masih memakukan pandangannya pada lukisannya yang sudah hampir selesai. Sorot matanya yang membuncah perlahan telah kembali jernih. Wajahnya yang redup telah kembali berseri. Sementara Rama senantiasa berada di sampingnya seraya terus memerhatikannya.
“Rama, apa kau sadar bila kita ini begitu berbeda dibandingkan SMA dulu?” sahut Sekar menyingkirkan sepi yang beberapa saat lalu melingkari mereka.
“Ya. Dulu kita hanya sekedar mengenal muka dan nama saja, tapi tak pernah menghabiskan waktu bersama.”
Sekar tersenyum geli. “Lucu ya. Kita justru semakin dekat saat sudah tak satu sekolah lagi.”
Rama mengedikkan bahu. “Yaah... terkadang Tuhan memang suka memisahkan dua insan terlebih dulu sebelum menyatukannya kembali. Anggaplah bila itu adalah cara kerja Tuhan yang misterius.”
“Ya. Mungkin,” jawab Sekar seraya menilik lukisannya yang sudah hampir selesai. Sebelah tangannya menyisihkan sisi rambutnya, yang kemudian diselipkannya ke belakang telinganya.
Semakin dekat, ya? Apa ia juga merasakan kedekatan itu, batin Rama.
Rama memandangi gadis itu dengan rambut hitamnya yang sebahu. Mata cokelatnya yang teduh. Bibirnya yang tipis dan lebar. Kulitnya yang putih. Dagunya yang mungil dan meruncing. Sekali lagi, ada yang berdebar di dadanya. Seperti gemuruh genderang di medan perang. Apakah Sekar dapat merasakan debar ini juga?
“Rama, apa besok kau ada waktu?”
Rama terkesiap. “Oh. Iya. Tentu. Ada apa memang?”
“Pameran itu akan berlangsung lusa. Dan besok malam aku harus sudah meletakkan lukisanku di sana. Bisa kamu temani aku besok malam untuk menaruh lukisanku di sana? Jika itu tak merepotkanmu tentunya.”
“Tentu saja aku bisa,” jawab Rama tanpa berpikir lagi. “Kapan pun akan kusediakan waktu untukmu.”
∞∞∞
Sedan hitam itu melaju cepat merentas pekatnya malam. Rama tak terlalu peduli dengan berbagai kendaraan yang bejalan lambat di depannya. Dengan cekatan ia memacu mobilnya mendahului kendaraan-kendaraan itu. Entahlah, apakah kendaraan-kendaraan itu berjalan terlalu lambat, atau Rama yang memacu mobilnya terlalu cepat?
Di sampingnya, aura kecemasan masih begitu kentara di wajah Sekar. Ia duduk sambil terus bersedekap. Bahkan sejak tadi ia tak berhenti menggigit bibir bawahnya sendiri. Hal itu memang biasa ia lakukan ketika sedang dilanda kecemasan yang berlebih. Betapa ia tidak cemas? Baru saja selesai memindahkan lukisannya ke galeri untuk persiapan pameran besok, sebuah kabar buruk langsung menghampirinya. Adiknya menelepon dan mengatakan bila Ibu mereka tiba-tiba saja jatuh pingsan sambil memegangi dadanya saat tengah menonton tv. Dan kini ibunya sedang dilarikan ke rumah sakit dengan sebuah ambulans. Sekar yang mendapati kabar itu jelas tersekat. Bagaimana pun ia tak mau hal buruk menimpa Ibu yang amat dicintainya.
Sesampainya di rumah sakit, tanpa menunggu Rama, Sekar bergegas keluar dari mobil dan berlari menuju ruang UGD. Setelah melewati pintu kaca yang besar itu, ia mendapati adiknya tengah duduk sendirian di salah satu kursi yang berarak pada tepian dinding. Garis mukanya terlihat sedih. Matanya sembap dan air matanya berlinang deras di pipinya. Dengan lekas Sekar menghampirinya, memeluknya, dan menenangkannya. Gadis itu berusaha menenangkan adiknya. Padahal dirinya pun sedang dirundung kecemasan yang tak terkira.
Tak berselang lama, Rama pun masuk dan berjalan dengan setengah berlari menghampiri mereka. Ia duduk di sebelah Mawar. Tangannya perlahan menyentuh pundak Mawar yang selalu bergerak naik-turun beriringan dengan isaknya. Tak banyak yang bisa dilakukannya saat ini selain berusaha menenangkan Mawar dan juga kakaknya yang tengah dihujani oleh kecemasan.
Setelah hampir 45 menit lamanya mereka menunggu, barulah seorang dokter keluar dari pintu cokelat yang besar itu. Menyadari hal itu, Sekar dengan lekas berdiri. Ia berjalan dengan setengah berlari menghampiri lelaki yang berpakaian serba putih itu.
“Bagaimana kondisi Ibu saya, Dok?” tanya Sekar serta merta. Suaranya bergetar dengan intonasi yang tak terkendali.
“Anda ini anaknya?”
“Iya, saya anaknya! Bagaimana kondisi Ibu saya?”
“Tenang dulu. Kalau boleh tahu, di mana Ayah Anda?” tanya dokter itu seraya membenarkan letak kacamatanya yang bulat.
“Ayah saya sudah meninggal, Dok.”
Dokter itu diam sejenak. “Kalau begitu mari kita bicara di ruangan saya.”
 Walau agak ragu karena Sekar takut untuk mendengar hal buruk tentang ibunya, tetapi kemudian ia mengangguk juga. Kakinya mulai melangkah mengikuti jejak sang dokter. Sementara itu, Rama menemani Mawar.
Cukup lama Rama menunggu hingga Sekar kembali. Bahkan saat ini, Mawar sudah tak lagi bermandikan air mata. Ia sudah lebih tenang dari sebelumnya.
“Ibu akan baik-baik saja kan, Kak?” tanya Mawar lirih dan bergetar. Suaranya parau karena telah habis oleh isakannya tadi.
Rama menghela napasnya sejenak. Ia tersenyum dan dibelainya lagi kepala Mawar yang masih tersandar di bahunya. “Ibu kalian pasti akan baik-baik saja. Ibumu adalah perempuan yang kuat, Mawar,” jawabnya mencoba meyakinkan Mawar.
Inilah bagian tersulit bagi Rama. Saat ia harus meyakinkan orang lain tentang sesuatu yang ia sendiri belum yakin dengan hal itu. Tetapi, tugasnya akan lebih berat lagi ketika ia sudah resmi menjadi seorang dokter spesialis. Sebab saat itulah ia harus siap bicara apa adanya kepada keluarga pasien. Sekalipun kabar buruk yang harus disampaikannya. Sesungguhnya, tak ‘kan ada orang yang mau bekerja hanya untuk menjadi pembawa kabar buruk.
∞∞∞
“Dokter bilang penyakit jantung Ibu sudah parah. Sudah berada di stadium tiga,” ungkap Sekar lirih dan bergetar. Matanya sembap karena sendu yang masih enggan meninggalkannya. Lewat sebuah kaca yang tak terlalu besar, ia menatap nanar ibunya yang terbaring lemah di ruang ICU. Alat bantu pernapasan terpasang jelas menutupi hidung dan mulutnya. Di dekatnya, sebuah layar monitor masih terus menggambarkan garis hijau naik-turun yang tak beraturan.
“Dokter bilang Ibu mengalami kardiomiopati. Pengerasan otot jantung yang membuat jantungnya membesar. Dokter mendiagnosa bila umur Ibu tak ‘kan sampai enam bulan lagi. Bila Ibu ingin sembuh, jalan satu-satunya adalah lewat transplantasi jantung.” Sekar berhenti sejenak. Ia berusaha mengatur napasnya. Matanya yang cokelat itu masih basah oleh linangan air matanya. “Tapi, kata dokter, sangat susah mendapatkan tranplantasi jantung di sini.”
“Dokter hanya bisa mengira-ngira, Sekar. Ibumu kuat. Aku yakin itu.”
“Apa kau bisa menjamin bila yang dikatakan dokter itu tidak benar?”
Rama seketika membatu. Sekali lagi, ia mencoba meyakinkan orang lain sesuatu hal yang ia sendiri belum yakin sepenuhnya. Dan kali ini ia gagal. Ia tak bersuara. Mawar yang tadi membaringkan tubuhnya pada kursi kayu yang tersemat di sisi dinding telah pulas dalam tidurnya.
“Mungkin memang baiknya aku mendonorkan jantungku untuk ibuku.”
“Tak ada orangtua yang tega mengorbankan hidup anaknya. Aku yakin bila kau tanyakan kepadanya, ia akan lebih memilih mati daripada mengorbankan hidup anaknya.”
“Lalu aku harus melakukan apa saat ini, Rama? Apa?!” sergah Sekar dengan suara yang meninggi dan bergetar. Air matanya kembali berlinang. Isaknya kembali pecah. Dengan lekas Rama mendekapnya. Menenggelamkannya lagi ke dalam peluknya.
“Semua pasti ada jalan keluarnya Sekar. Pasti ada jalan keluarnya.”
Sekar terisak dalam dekapan Rama. Terisak dan semakin terisak. Sekar semakin hanyut dalam kenyataan hidupnya yang pelik ini. Sementara Rama berusaha menenangkan Sekar lewat dekapannya. Membiarkan linangan air matanya membanjiri polo shirt biru dongker yang dikenakannya. Menjadikan pundaknya sebagai sandaran pelipur laranya. Baginya tak mengapa, asalkan pilu gadis yang dikasihinya ini dapat segera sirna.
∞∞∞

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

4 Responses to [Cerpen] Mata Indah Sekar (Part I)

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.