[Cerpen] Tulang Punggung Baja

“Sabrina! Waktunya pulang, sayang!”
            Bila aku sudah mendengar kalimat seperti itu dari Mama, maka aku akan berhenti bermain dan langsung berlari menghampiri Mama yang sudah menjemputku untuk pulang. Setelah itu Mama akan menyunggingkan senyumnya sembari merendahkan tubuhnya dan menyambutku dengan pelukannya. Kemudian Mama akan membalikkan tubuhnya dan membiarkanku untuk bersandar di punggungnya. Mungkin aku tak seperti anak-anak kebanyakan yang senang digendong di depan karena aku sangat senang bila Mama menggendongku di belakang tubuhnya. Membiarkanku berada di punggungnya yang kuat seperti baja.
            Bagiku, Mama memiliki punggung yang kuat seperti baja, namun juga lembut seperti bantal Turki yang terbuat dari bulu domba. Tak jarang punggung Mama membuatku tertidur saat aku digendong di atasnya. Selain itu, hal yang paling kusuka dari Mama adalah wangi tubuhnya yang selalu ingin kuhirup. Mama memiliki wangi tubuh yang lembut dan menyegarkan, seperti wangi bunga lili yang pernah kucium saat bertamasya ke taman bunga sebulan yang lalu. Wangi tubuh Mama selalu mengingatkanku kepada Papa. Tepatnya saat aku bertanya bagian diri Mama yang mana yang paling disukai oleh Papa. Sambil tersenyum simpul, Papa pun menjawab dengan suaranya yang terdengar parau, “Wangi tubuh Mamalah yang paling Papa suka, nak.” Dan kini aku mengerti mengapa Papa begitu menyukai wangi tubuh Mama yang lembut dan menyegarkan seperti bunga lili ini.
            Ah, sial! Aku harus kembali mengingat soal Papa. Sosok pria yang juga memiliki punggung yang kuat seperti baja. Pria yang baru saja meninggalkan kami berdua. Walau Papa baru saja pergi meninggalkan kami, tapi rasanya begitu lama bagiku, membuatku sering merindukannya. Padahal makamnya saja masih begitu wangi oleh taburan kembang tujuh rupa. Selain itu tumpukkan tanahnya pun masih berwarna cokelat basah. Benar-benar mewujudkan sebuah makam yang masih baru. Papa pergi meninggalkan aku dan Mama karena serangan jantung tepat empat bulan yang lalu.
            Masih hangat betul di ingatan ini bagaimana Mama menangis saat tahu bila Papa tak bisa lagi menemaninya hidup di dunia ini. Mama terisak dengan begitu sendunya. Bulir-bulir bening terus berlinang dari matanya, teruntai turun membasuh kulit pipinya yang memerah, meski tak semerah bola matanya. Tapi saat Mama menyadari kehadiranku, dengan lekas beliau menyeka linangan air matanya. Saat kutanya mengapa Mama menangis? Mama hanya memberikan jawaban dengan sebuah senyuman. Saat itu aku belum bisa mengartikan senyumannya itu. Tapi, kini aku mengerti bila waktu itu adalah senyuman hampa yang ditunjukkannya untuk menutupi dukanya. Sambil menggelengkan kepalanya, Mama memelukku seraya mengangkat tubuhku yang kecil ini. Mama menggendongku. Sepintas terdengar suara seperti sebuah isakkan di telingaku. Saat itu kuingin tahu apa yang terjadi dengan Mama, tapi eratnya pelukan Mama membuatku tak bisa bergerak sedikitpun. Aku hanya bisa melingkarkan tanganku di leher Mama dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Sekali lagi, aku terbius oleh wangi tubuh Mama.
***
            Sejak kepergian Papa, kini Mama harus berperan sebagai tulang punggung keluarga. Mama harus mencari nafkah untuk kelanjutan hidup kami berdua. Tapi, Mama hanyalah gadis dari desa yang hanya bermodalkan ijazah SMA, yang berani datang ke kota untuk menemani suami yang dipindah tugaskan ke kota sebagai bentuk kenaikan jabatannya di kantor. Tak banyak skill yang dikuasai oleh Mama, kecuali skill memasak yang didapatnya dari orang tuanya terdahulu.
            “Buat apa kau melanjutkan sekolah? Ayahmu itu tuan tanah. Kau hanya perlu hidup dari situ. Jadi, kau tak perlu melanjutkan sekolahmu dan mulailah membantuku di dapur menyiapkan makan untuk ayahmu dan calon suamimu kelak.” Begitulah ucapan nenek yang aku tahu dari Mama yang sering menceritakan itu kepadaku sebagai dongeng sebelum tidur. Alasan mengapa Mama tak bisa melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih memilih menikah dengan almarhum Papa. Dan terkadang Mama menyesali keputusan nenek yang melarangnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kini tanah warisan kakek hanya tersisa dua. Yang satu dengan luas tak lebih dari 300 meter persegi yang sengaja ditanami padi untuk kelanjutan hidup nenek, sedangkan yang satu lagi hanyalah tanah berukuran 2x3 meter di mana tempat kakek terbaring saat ini. Sesuai dengan permintaan kakek sebelum meninggal yang ingin jasadnya menyatu dengan tanah hasil jerih payahnya sendiri.
            Sebenarnya hati kecilku tak kuasa melihat Mama yang bekerja keras untuk menghidupiku. Ingin aku bergerak untuk membantu Mama mencari nafkah. Tapi apa daya, aku yang masih suka mengenakan seragam putih-merah ke sekolah ini belum bisa berbuat banyak untuk membantu Mama. Lagi pula, tiap kali aku ingin bekerja untuk membantu Mama, selalu saja beliau menjawab, “Tak usah kamu berpikir untuk bekerja, sayang. Sekolah saja yang pintar. Buatlah perempuan tua ini bangga dengan prestasimu.” Begitulah yang selalu Mama katakan padaku dengan senyum penuh makna dan pandangan mata penuh harap yang diperlihatkannya kepadaku. Aku selalu mengangguk seraya tersenyum setiap kali mendengar ucapan Mama itu. Tapi, setelah itu aku akan lupa lagi dan kembali mengutarakan niatku kepada Mama untuk bekerja. Aku selalu ingin bekerja tiap kali aku ingat bila Mama hanyalah seorang pedagang gorengan.
            Aku tahu bila Mama begitu lelah dalam menjalani hidup ini. Air mukanya mengguratkan kelelahan tiap kali pulang ke rumah saat petang menjelang, apalagi bila masih ada sisa gorengan di dalam bakul yang terbuat dari anyaman bambu berwarna cokelat pucat yang selalu digendongnya itu. Napasnya selalu terasa berat dan terengah-engah dengan keringat yang tak jarang menumpuk di keningnya tiap kali beliau menapakkan kakinya ke dalam rumah. Tapi semua itu selalu dapat disembunyikannya dengan senyum yang selalu tersungging di wajahnya tiap kali aku menyambut kepulangannya.  Aku selalu suka memijit-mijit pundak Mama di malam hari setelah aku selesai belajar. Aku tahu bila pijitan dari jemari-jemari mungilku ini belum cukup untuk memudarkan rasa lelah yang bersandar di pundak Mama. Aku juga tahu bila Mama telah menanggung banyak beban di pundaknya yang tampak kecil itu. Tak salah bila pundak itu selalu terlihat menurun tiap harinya karena terlalu berat menopang beban hidup. Kapan aku bisa membantu Mama untuk memindahkan beban yang bersandar di pundaknya ini ke pundakku? Batinku yang selalu bertanya tiap kali jemari-jemari mungilku ini memijit pundak Mama yang selalu terasa semakin tebal dan kaku setiap harinya.
            Perempuan adalah makhluk Tuhan yang penuh kelembutan yang juga tegar. Begitulah kata para pujangga bila sudah mendefinisikan tentang perempuan. Tapi ada yang mereka lupa bila perempuan adalah makhluk Tuhan yang menyimpan kerapuhan juga di dalam dirinya. Aku pernah terbangun dari tidurku di tengah malam. Saat itu bulan hanya menampakkan sebagian wujudnya hingga tampak seperti sebuah sabit. Di tengah sadarku yang hanya setengah, tak sengaja kudengar samar suara seseorang yang tengah terisak dari balik pintu kamarku. Aku segera bangkit dari tidurku dan beranjak menuju pintu. Sambil memicingkan mata, dari balik pintu aku mengintip Mama yang tengah menangis dengan sendunya sambil menaruh sebuah bingkai foto di dadanya. Bingkai foto yang memampang foto almarhum Papa, dan Mama memeluknya begitu erat. Mama layaknya Monica Bellucci di film Malena yang tengah rindu dan memeluk erat foto suaminya yang telah meninggal di medan perang. Tapi bedanya Mama tak menari-nari dengan foto almarhum Papa. Mama hanya menangisinya.
Sejak saat itu aku tahu mengapa Mama tak pernah mengeluh di depanku, bahkan Mama tak pernah sekalipun mengeluh saat tengah memeluk foto almarhum Papa. Mama selalu mengganti keluhannya dengan linangan air matanya di tengah malam saat aku tertidur. Mama membiarkan linangan air matanya sebagai pesan yang tersirat kepada kesunyian malam tentang keluhannya kepada dunia. Dan sejak itu pula aku mengerti mengapa Mama selalu berpesan kepadaku tentang sebuah ketegaran.
            “Janganlah kamu mengeluh, sayang. Perempuan tak boleh mengeluh.”
            “Kenapa, Ma?”
            “Karena perempuan adalah makhluk Tuhan yang tegar. Maka kamu juga harus menjalani hidup ini dengan tegar pula.”
            Aku menganggukkan kepalaku walau ku belum begitu mengerti maksud Mama saat itu. Namun, kini aku mengerti bila Mama ingin aku tumbuh menjadi perempuan dewasa yang tegar menjalani kehidupan ini, seperti dirinya.
***
            Pesan dari Mama itu selalu kuingat hingga sekarang aku telah menjadi seorang istri sekaligus seorang Ibu layaknya Mama bagiku. Aku selalu mengajarkan kepada anak perempuanku hal yang Mama ajarkan kepadaku juga. Dan ajaran itu juga akan diturunkan oleh anakku kepada anaknya, dan anaknya kepada anaknya lagi, terus dan terus hingga berganti generasi.
            Di balik lipatan-lipatan wajahnya yang mulai mempertegas umurnya, senyum indahnya masih merekah jelas seperti dulu. Bahkan aku masih sangat senang memeluk Mama dari belakang. Menyandarkan kepalaku di pundaknya dan membiarkan hidungku menghirup aroma tubuhnya. Aroma tubuhnya memang tak lagi wangi seperti wangi bunga lili yang lembut dan menyegarkan. Tapi kini wangi tubuh Mama seperti bau air hujan yang turun di tengah kemarau berkepanjangan, begitu menyejukkan. Aku selalu senang menghabiskan waktu seperti ini. Memeluk erat tubuh Mama yang sudah tak semuda dulu dan menghirup aroma tubuhnya sambil melihat anak-anakku bermain dengan riangnya di teras rumah. Dan di saat seperti ini hati kecilku selalu berkata, aku akan menjalani hidup seperti Mama, perempuan paling tegar sekaligus pemilik tulang punggung baja yang kukenal.

-Sekian-

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

One Response to [Cerpen] Tulang Punggung Baja

  1. Wah amanat yang terkandung sama persis kayak cerpen biinan temen saya :D Nice !
    Salam kenal kawan :) --- Irfan Andriarto ---
    Kalau mau ng'blog sambil bisnis Daftar di sini broh, GRATIS ! Lumayan kok di sini Daftar

    BalasHapus

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.