Karmela, seorang anak yang sangat senang
menulis. Ia begitu riang tiap kali ia guratkan ujung penanya yang runcing itu
ke permukaan kertas. Tiap guratannya ia bentuk menjadi huruf per huruf dan ia
susun hingga menjadi sebuah kalimat, bahkan sebuah paragraf. Kesenangannya
menulis ia dapatkan dari ayahnya. Ayah Karmela adalah seorang penulis ulung
yang telah menulis di banyak kertas. Ayahnya adalah orang yang paling terkenal
di desanya. Semua orang desa tahu siapa Ayah Karmela. Pria kurus dengan kumis
dan kacamata yang hampir sama tebalnya. Pak Julis, begitu biasanya mereka
menyapanya. Entah kenapa warga desa senang memanggil beliau dengan sebutan Pak
Julis, padahal namanya bukanlah Julis, melainkan Deri. Mungkin panggilan Julis itu
berasal dari kepanjangan ‘juru tulis’ yang disingkat menjadi ‘Julis’. Entahlah,
tapi yang jelas nama itu sudah lama melekat di dalam diri Ayah Karmela.
Sesuai dengan panggilannya, Ayah
Karmela adalah seorang juru tulis di desanya. Lebih tepatnya juru tulis dalam
hal surat menyurat. Banyak orang yang bisa menulis, tapi hanya sedikit orang
yang bisa membuat orang lain ingin selalu membaca dengan tulisannya. “Ingatlah,
nak. Bila kamu menulis, maka menulislah dengan hati yang jujur. Niscaya
orang-orang akan senang saat membaca apa yang kamu tulis.” Begitulah pesan yang
selalu beliau ucapkan tiap kali sedang mengajari Karmela menulis. Dan Karmela
selalu saja tersenyum tiap kali menanggapi kalimat itu. Walaupun sebenarnya
Karmela belum mengerti maksud dari ucapan ayahnya itu.
Kini Karmela sudah berusia 9 tahun dan
ia masih senang menulis. Banyak hal yang telah Karmela tulis. Di bukunya,
Karmela menuliskan banyak cerita tentang dirinya dan ayahnya, bahkan tak jarang
Karmela juga menulis surat untuk ibunya yang telah lebih dulu menghadap sang Khalik
saat baru melahirkan dirinya. Ia percaya bila ibunya dapat membaca suratnya
dari surga, walaupun ia tak pernah mengirimkannya ke surga. Dan Karmela sangat
senang bila sudah menulis di belakang rumahnya. Di sana ada sebuah pohon yang
rindang dengan batangnya yang begitu tebal dan berwarna coklat gelap. Karmela
selalu menyempatkan waktu untuk menulis di bawah pohon itu. Menyandarkan
tubuhnya ke batang pohon yang tebal nan kokoh itu. Karmela sangat senang
menulis di sana karena di sana selalu ada teman yang menemaninya. Teman yang
selalu menjaga dan mengamatinya saat ia sedang menulis. Dan temannya itu adalah
seekor angsa putih.
Angsa putih itu tak bisa bernyanyi,
tak bisa bicara, dan juga tak bisa bersiul. Tapi Karmela begitu menyayanginya.
Angsa putih itu selalu saja datang tiap kali Karmela duduk di bawah pohon besar
yang rindang itu. Hewan cantik itu akan datang menghampirinya dan diam di
sampingnya saat ia sudah membuka bukunya dan mulai mengguratkan penanya di permukaan
kertasnya. Angsa itu hanya akan mengamati Karmela dari dekat tanpa mengeluarkan
suara sedikitpun dan angsa itu akan pergi saat Karmela juga pergi. Walau angsa
itu tak bisa bersiul apalagi berbicara, tapi Karmela sangat senang dengan
keberadaan angsa itu yang selalu menemaninya. Karmela memang hanya butuh
seorang teman yang selalu ada di sisinya.
Ayah Karmela selalu berangkat bekerja
sehabis mengantarkan Karmela ke sekolah dan baru pulang saat adzan Isya
berkumandang. Sepanjang hari Karmela selalu saja duduk di bawah pohon yang ada
di belakang rumahnya untuk menulis sambil menunggu kepulangan ayahnya. Namun,
kesepian Karmela akhirnya enyah juga semenjak angsa putih yang cantik itu
datang menemaninya. Angsa itu terlihat putih dan bersih, bahkan ia nampak
bercahaya seperti malaikat yang dikirim Tuhan dari surga saat matahari
menyinarinya. Angsa itu akan terihat cantik saat ia mengepakkan kedua sayapnya
ke udara dan menegakkan lehernya tinggi-tinggi. Maka saat itulah Karmela akan
tersenyum lebar sambil menuliskan banyak kisah tentang angsa itu di dalam
bukunya. Bahkan ia memberinya sebuah nama.
“Hai, angsa yang cantik. Siapa namamu?
Hmmm... sepertinya kamu tak punya nama, ya? Baiklah, bagaimana bila sekarang
ini kunamai dirimu, Viola.” Maka sejak saat itulah Karmela selalu memanggil
angsa itu dengan sebutan Viola. Karmela sendiri tak tahu apa arti nama Viola
itu, tapi kecantikan nama Viola setidaknya bisa mewakili kecantikan angsa itu.
Pertemanan Karmela dan Viola terus
terjalin hingga Karmela kini telah menginjak usia 12 tahun. Di usianya sekarang
ini Karmela masih melakukan banyak hal yang sama. Ia masih suka menulis di
bawah pohon rindang yang ada di belakang rumahnya dan ia juga masih suka
berbicara kepada Viola. Karmela Tahu bila angsa memang tak bisa bicara, tapi ia
yakin bila angsa bisa memahami dan mengerti apa yang dibicarakan oleh manusia.
Apalagi untuk seekor angsa yang sudah lama menjalin hubungan dengan manusia, maka
angsa itu akan bisa mengerti isi hati manusia. Seperti Karmela dan Viola saat
ini.
***
Sore itu, Karmela berjalan menuju
pohon rindang yang ada di belakang rumahnya dengan langkah yang teramat berat.
Karmela menjatuhkan dirinya saat ia sudah sampai di bawah pohon yang rindang
itu. Hari ini Karmela tak seperti biasanya. Biasanya Karmela akan langsung
membuka tasnya dan mengambil buku serta penanya untuk langsung menulis, tapi
hari ini berbeda. Karmela tak menyentuh tasnya sedikitpun. Ia membiarkan tasnya
terus menempel di punggungnya dan menjadikannya bantalan untuknya bersandar di
batang pohon. Wajah karmela menekuk dan air matanya terus berlinang. Ia
menangis, namun tak tersedu-sedu. Ia menangis teramat tenang tanpa ada suara
tangisan sedikitpun yang terdengar. Di sampingnya, angsa putih yang ia beri
nama Viola terdiam seolah-olah sedang mengamati dirinya. Mata bulat yang
berwarna hitam pekat milik angsa itu terus mengamati Karmela yang sedang
menangis.
“Viola. Mulai hari ini aku tak lagi
dapat menulis. Penaku telah dirusak oleh temanku.” Seraya tersedu-sedu Karmela
menunjukkan penanya yang ada di genggaman tangannya yang telah terbelah dua kepada
Viola.
“Aku terlanjur menyayangi pena ini
seperti aku menyayangimu. Aku tak mungkin bisa menulis lagi tanpa pena ini.
Lagipula di desa ini tak ada yang menjual pena atau semacamnya. Lalu, aku harus
bagaimana, Viola?” Karmela masih terus menangis sambil terus mengadukan semua
kegundahannya kepada Viola.
Desa tempat Karmela tinggal memang
desa yang sangat tertinggal. Untuk membeli alat tulis saja mereka harus
menyebrangi sungai dengan melalui sebuah jembatan yang terbuat dari bambu. Itu
pun jaraknya berpuluh-puluh kilometer. Karmela adalah anak yang tak ingin
merepotkan orang tuanya. Tak mungkin ia meminta ayahnya untuk pergi menempuh
jarak berpuluh-puluh kilometer dengan menggoes sebuah sepeda ontel hanya demi membeli
sebuah pena. Ia tak ingin menjadi seperti Malin Kundang yang sudah dicap
sebagai anak durhaka.
Waakkk!!! Tiba-tiba saja Viola seperti
sedang berteriak. Suaranya terdengar seperti terompet di tahun baru. Nyaring
dan menusuk gendang telinga. Viola berteriak hingga berkali-kali mengepakkan
kedua sayapnya. Tidak, ia tak ingin terbang. Ia seperti sedang melakukan
sesuatu, semacam berbicara tapi dalam bahasanya. Karmela yang tak mengerti apa
makna dari teriakan dan suara-suara Viola itu hanya bisa menatap Viola heran
bercampur bingung. Bahkan ia lupa dengan tangisannya.
“Kau sedang apa, Viola? Apa kau sedang
bernyanyi?” tanya karmela dengan sebuah tatapan bingung. Viola masih mengeluarkan
suaranya yang mirip terompet tahun baru itu sambil terus mengepak-ngepakkan
kedua sayapnya ke udara. Lalu, beberapa saat kemudian Viola mendekati Karmela
dan ia merentangkan sebelah sayapnya dan menaruhnya tepat di hadapan Karmela.
Karmela sempat tertegun sejenak karena ia tak tahu sedang apa dan ingin apa
Viola ini. Namun, angsa putih itu terus saja menggerak-gerakkan sebelah
sayapnya itu di hadapan Karmela. Ia seperti meminta sesuatu kepada Karmela.
Karmela yang awalnya tak mengerti
maksud dari angsa putih itu perlahan seperti mendapatkan sesuatu. Karmela
seperti dapat mengerti maksud dari angsa putih itu. Entah, bagaimana caranya
tapi ia seperti memahami keinginan angsa putih itu. Mungkin inilah yang disebut
ikatan batin.
“Kamu mau aku mencabut bulumu yang
putih dan cantik ini?” tanya Karmela meragu.
Waakk!!! Sekali lagi angsa itu
bersuara keras seperti sebuah terompet.
“Baiklah, jika itu maumu maka akan kulakukan.”
Tanpa muncul rasa penasaran lebih, dengan
lugunya Karmela mencabut satu buah bulu yang ada di sayap angsa itu. Hanya satu
buah sebelum akhirnya angsa itu kembali menarik sayapnya.
Waakk!!! Dan sekali lagi angsa itu
bersuara keras sebelum akhirnya ia pergi dan menghilang dari pandangan Karmela.
Saat angsa itu pergi, Karmela hanya bisa memandangi penuh tanya bulu angsa yang
kini ada di tangannya. Untuk apa aku mencabuti ini? batinnya heran sebelum
akhirnya ia menyimpan bulu angsa itu ke dalam tasnya.
***
“Hai, anakku, Karmela. Mengapa kamu
bermuram durja seperti ini? Apa kamu sudah bosan dengan kegiatan menulis?”
“Tidak, yah. Aku hanya sedang sedih.”
“Ceritalah pada Ayah.”
“Tidak perlu, Ayah. Ayah cukup membaca
kesedihanku ini melalui tulisanku saja.”
“Baiklah, jika itu maumu.”
Di bawah pohon yang rindang itu
Karmela tengah menuangkan tentang kesedihannya ke dalam bukunya melalui
tulisan-tulisannya. Ia sedih karena sudah lama ia tak lagi melihat Viola, angsa
putih yang biasanya selalu menemaninya saat ia menulis di bawah pohon ini.
Sudah dua bulan lamanya Karmela tak lagi melihat angsa putih itu. Tepatnya
setelah ia mencabut bulu angsa itu. Apa jangan-jangan Viola marah padaku?
Batinnya yang selalu saja bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.
“Hai, Karmela. Apa kamu pernah
mendengar tentang sebuah dongeng di desa ini?”
“Dongen apa itu, Ayah?” Karmela
menghentikan kegiatan menulisnya dan ia memalingkan wajahnya ke ayahnya dengan
raut wajah penuh tanya.
“Dongeng tentang seekor angsa.” Jawab
ayahnya sembari tersenyum simpul, namun tak terlihat karena tertutup oleh
kumisnya yang tebal.
Kedua alis Karmela pun saling bertemu
karena keningnya yang mengerut. “Ceritakanlah ayah.” Pintanya.
Lalu, ayahnya pun mulai menceritakan
tentang sebuah dongeng turun temurun yang ada di desa ini tentang seekor angsa ajaib.
Angsa yang hanya muncul ribuan tahun sekali. Angsa yang memiliki kekuatan,
yaitu bisa mengerti dan merasakan perasaan seorang manusia. Penduduk desa
meyakini bila seorang manusia memiliki hati yang bersih dan tulus maka manusia
itu bisa berjumpa dengan angsa ajaib itu. Dan ketika manusia itu sudah begitu
dekat dengan angsa itu maka angsa itu akan memberikan sehelai bulunya untuk
dicabut oleh manusia itu. Dan dalam waktu semalam bulu yang dicabut itu akan
berubah menjadi sebuah benda yang paling diinginkan oleh manusia yang telah mencabut
bulunya.
Karmela sempat tertegun sejenak saat
mendengar cerita dari ayahnya. Karmela sempat mengalihkan pandangannya ke
sebuah pena yang kini tengah digenggamnya. Sebuah pena yang ia temukan di dalam
tasnya sehari setelah ia mencabuti bulu Viola. Sebuah pena yang ia pikir hadiah
dari ayahnya.
“Lalu apa yang akan terjadi pada angsa
itu setelah bulunya dicabut, yah?”
“Angsa itu akan mati.”
Karmela kembali tertegun. Ia kembali
mengalihkan pandangannya ke penanya dan kemudian mulai menggenggam penanya
erat-erat. Perlahan Karmela mulai menitikkan air matanya dan isak tangisnya pun
pecah kala itu. Karmela menangis karena ia begitu menyesali kepergian Viola.
Andai ia tahu bila Viola akan pergi untuk selamanya, ia tak akan mencabut
bulunya walau hanya sebuah. Karena baginya Viola adalah teman yang tak dapat
ditukar dengan semahal apapun benda itu. Menyadari anaknya menangis, Ayah
Karmela seketika memeluk Karmela dengan kencangnya. Tangis Karmela makin pecah
seiring tenggelamnya Karmela di dalam dekapan ayahnya.
“Sudahlah, Karmela. Janganlah kamu
menangis. Ini hanya sebuah dongeng. Bisakah kamu percayai itu?”
wahh kamu pintar bikin cerpen yaa
BalasHapusJadi inget dongeng yang sering di bacain ibuk saya dulu :D
BalasHapusSalam kenal kawan :) --- Irfan Andriarto ---
Kalau mau ng'blog sambil bisnis Daftar di sini broh, GRATIS ! Lumayan kok di sini Daftar