Hai, sang pemantik fajarku yang telah lama pergi. Kau
tahu bila aroma minyak wangimu masih dapat tercium jelas di hidungku? Aroma
floral yang lembut itu selalu menggelitiki hidungku tiap kali aku mengingatmu. Kini
kita memang telah terpisah. Bukan. Bukan terpisah melainkan memang sudah berpisah.
Ya, berpisah karena itulah maumu, bukan?
Kau pernah mengatakan padaku tentang apa itu
kesetiaan. Kau pernah mengajariku tentang apa itu kebahagiaan. Tapi kau juga
yang mengingkari semua itu. Kecewa? Apa kau melihatku sebagai orang yang penuh
rasa kecewa? Aku tak kecewa, sayang. Aku hanya orang yang pernah terluka oleh
sikapmu yang tak pernah sama dengan ucapanmu.
Aku seperti air tawar yang kau simpan di dalam
lemari besimu. Kau menyimpanku baik-baik dan akan datang padaku hanya saat kau
membutuhkanku. Saat kau tengah dehidrasi. Saat kau tengah haus dengan belaian
kasih sayang. Dan aku selalu membiarkanmu meneguk kasihku dengan napsumu itu
hingga kau tak lagi merasa kering.
Aku seperti lilin di tengah gulitanya tempatmu
berpijak. Aku selalu berusaha menerangimu dengan api kecilku agar kau tak perlu
takut lagi dengan pekatnya gelap. Aku selalu mencoba agar tak padam walau angin
meniupku kencang. Aku selalu berusaha menerangimu walau ku tahu bila nanti aku
akan mencair dan mati.
Aku seperti kotak musikmu yang kau simpan di bawah
tempat tidurmu. Kau akan mengambilku dan membawaku pergi saat kau mulai lupa
dengan syair cinta. Ku berikan semua kata manisku untukmu agar kau dapat
tertidur lelap dengan senyum di wajahmu.
Di mataku, kau bagaikan bunga tulip di antara
tumpukan mawar merah. Kau berbeda, namun tetap terlihat indah. Keanggunanmu tak
dapat ditutupi oleh bunga-bunga lain walau kau tak berwarna merah. Seperti
itulah aku menilaimu.
Oh, iya. Apa kau ingat dengan kata-katamu waktu itu?
Waktu kau meminta sebuah perpisahan kepadaku. Saat itu kau mengatakan padaku
bila cinta tak harus memiliki. Bila cinta tak harus bersama. Mungkin bagi
kebanyakan orang itu dibenarkan, tapi bagiku itu hanya omong kosong! Tak ada
cinta yang tak memiliki. Tak ada cinta yang bisa melihat orang yang dicintanya
tertawa di dalam pelukan orang lain.
Untuk apa ada cinta bila bukan untuk saling
memiliki? Cinta ada karena rasa ingin saling memiliki yang lebih. Bukankah
itulah mengapa cinta menjadi alasan untuk menikah. Cintalah yang menjadi alasan
manusia untuk terus bersama hingga umur tak lagi dapat bertambah. Cinta jugalah
yang menjadi alasan manusia untuk terus saling memandang hingga mata tak
dapat lagi berkedip. Saling mencintai berarti harus saling memiliki. Bila tak
lagi saling memiliki maka itu bukanlah lagi bernama cinta, melainkan luka.
Maafkan aku sayang bila aku membuatmu risau dengan
suratku ini. Aku tak bermaksud begitu. Aku hanya ingin kau tahu bila kau adalah
pembual yang handal. Seorang pembual yang bisa membuatku jatuh cinta. Pembual
yang selalu membuatku rindu. Ya, harus ku akui walaupun aku benci mengakuinya.
Aku rindu padamu, pemantik fajarku.
Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #SuratUntukRuth novel Bernard Batubara.
nice{} mampir ke solitatiolinatambunan.blogspot.com
BalasHapus