Satu
tahun sudah lamanya Joni tak lagi mendengar kabar dari kekasihnya, Intan.
Satu-satunya hal yang membuatnya masih yakin bila mereka akan dipertemukan
kembali adalah secarik surat dari Intan yang masih disimpannya hingga saat ini.
Joni tak pernah sedikitpun menyisihkan Intan dari ingatannya. Kurang lebih
sudah satu tahun ini Joni hanya bisa mengobati rasa rindunya kepada Intan
melalui sebuah foto. Sebuah foto Intan dan dirinya yang selalu ia selipkan di
dalam dompetnya dan beberapa lagi ia tempelkan di dinding kamarnya. Baginya
merindu seperti ini sangatlah menyiksa. Hanya bisa memandangi seseorang yang
begitu dirindunya dari sebuah foto tanpa bisa menyentuhnya. Ia tak ada bedanya
dengan orang yang hanya memiliki pacar khayalan.
Tak
ingin membuka hatinya untuk hal yang baru tak lantas membuat Joni membatasi
pergaulannya. Banyak sudah perempuan yang berlalu lalang di dalam hidupnya.
Apalagi kini Joni sudah berada di dunia kerja. Dunia di mana ia akan makin
banyak menemukan orang-orang baru. Dan salah satu orang baru di dalam hidupnya
adalah seorang perempuan bernama Tania. Seorang perempuan yang ia kenal selama lima
bulan terakhir ini. Satu-satunya perempuan yang hingga saat ini bisa dekat
dengan dirinya semenjak ia tak lagi dapat berjumpa dengan Intan.
Joni
pertamakali mengenal Tania saat mereka berdua sama-sama menunggu giliran
interview di perusahaan tempat mereka berdua bekerja saat ini. Tak bisa
dipungkiri bila Joni memang merasakan hal yang berbeda saat ia sedang berbicara
dengan Tania. Joni selalu bisa merasa enjoy saat sedang mengobrol dengannya, seolah-olah
mereka sudah saling lama mengenal satu sama lainnya. Dan kedekatan mereka pun
terus berlanjut hingga hari ini.
“Gue
denger-denger ada gosip baru nih di kantor?” saut Joni dengan pipi yang
mengembung karena penuh dengan makanan.
Tania
mengernyitkan keningnya. “Gosip apaan?” tanyanya balik dengan mulut yang masih
mengunyah pancake cokelat bakar miliknya.
“Katanya
sih, habis ada yang nolak si Danu. Katanya sih, gitu.” goda Joni sembari terus
menyendoki nasi gorengnya. Sadar akan gosip yang dimaksud Joni adalah dirinya,
Tania hanya tersenyum dingin menanggapinya. Ia lebih memilih kembali berurusan
dengan pancake bakarnya daripada harus menanggapi gosip barusan. “Kok lu bisa
nolak si Danu sih, ni? Bukannya dia udah nunjukin keseriusannya ya sama lu?”
lanjut Joni penasaran.
“Yah,
mau gimana lagi?” Tania diam sejenak sembari menghela napas. “Guenya nggak
tertarik sama sekali sama dia.” Lanjutnya sambil sedikit menaikkan kedua
bahunya.
“Jangan
terlalu pemilih, ni. Ntar jadi perawan tua lho!” saut Joni yang kemudian
terkekeh.
“Terus
apa bedanya gue sama elo?” Tania mendelik sambil memasang senyuman yang
menyindir. Matanya seperti berubah menjadi sebuah cermin bagi Joni. Membuat Joni
menyadari bila Tania tak jauh berbeda dengannya. Ya, saat ini mereka sama-sama
tengah menutup pintu hati masing-masing. Joni memang sudah bercerita banyak
tentang dirinya dan masa lalunya kepada Tania, tapi hal berbeda dilakukan oleh
Tania. Tania tak pernah sekalipun memberitahu Joni mengapa ia bisa mengunci
hatinya untuk pria-pria yang mendekatinya.
Kebersamaan
mereka selama ini tak sedikitpun membuat Tania dan Joni canggung. Apalagi
seringkali mereka berdua menjadi bahan gosip oleh teman sekantor mereka. Tapi
hal itu tentu saja tak lantas menjadi beban pikiran mereka berdua. Joni dan
Tania menjalankan pertemanan mereka dengan gaya mereka sendiri. Tak bisa
dipungkiri memang bila di antara joni dan Tania sudah saling merasakan
kenyamanan bila mereka sedang berdua.
Kedekatan
mereka makin lama berangsur terlihat semakin istimewa. Bahkan kini mereka
selalu pergi berdua kemanapun mereka pergi. Dari makan siang, nonton, belanja,
hingga bersepeda di Minngu pagi pun mereka lakukan berdua. Dan perlahan
kedekatan mereka berdua sama-sama mampu menggoyahkan benteng yang selama ini
telah mereka berdua dirikan. Pintu hati memang tak akan pernah bisa didobrak
ataupun diruntuhkan dari luar sekeras apapun berusaha bila sang pemilik hati
sudah terlanjur menguncinya. Hanya keinginan sang pemilik hatilah yang mampu membuka kembali hatinya saat ia sudah
bersedia.
Kenyamanan
yang selama ini ada di pertemanan mereka berdua kini perlahan membuat Joni
mulai agak terganggu dengan itu. Kedekatannya dengan Tania membuatnya nyaman
hingga terkadang membuat hatinya seperti ingin sekali menerima kehadiran Tania
untuk lebih dari sekedar teman. Tapi di sudut hatinya yang terdalam masih
tersimpan rapi nama Intan yang enggan untuk ia lupakan. Terukir jelas di dalam
hatinya sehingga ia enggan untuk menghilangkannya. But life must go on, right?
Secara
perlahan waktu membiarkan Joni untuk membungkus sekaligus menyimpan baik-baik
nama Intan yang pernah menjadi pemilik seluruh ruang di hatinya. Kini nama
Intan sudah ia kubur dalam-dalam agar ruang di hatinya dapat kembali kosong sehingga
dapat ia siapkan untuk menyambut seseorang yang baru.
Malam
ini. Dengan ditemani kunang-kunang yang menari-nari di antara mereka berdua,
Joni berniat untuk menyatakan perasaannya kepada Tania. Tepat di depan teras
rumah Tania, sesaat setelah mengantarkan Tania pulang Joni pun menyatakan
cintanya kepada Tania. Awalnya perempuan berlesung pipi dan berkacamata itu tak
langsung memberikan jawabannya. Namun, pada akhirnya Tania pun mau menerima
Joni dan sejak saat itulah mereka berdua resmi berstatus pacar. Malam itu, puluhan kunang-kunang yang berayun-ayun
di udara telah menjadi saksi bagi Joni dan Tania dalam merajut sebuah hubungan
lama ke sebuah tahap baru yang lebih jauh lagi.
Seiring
bergulirnya waktu, Joni mulai merasakan sebuah nama yang pernah, bahkan masih
terukir di hatinya kini mencuat kembali. Baru dua bulan hubungannya dengan
Tania berjalan, nama Intan sudah kembali mengganggu sanubarinya. Nama itu
kembali muncul dan kembali mengkontaminasi saraf-saraf otak Joni hingga
memenuhi kepalanya kembali. Entah mengapa nama Intan kembali terngiang setelah
Joni merasa bila benar-benar sudah menguburnya dalam-dalam. Apa karena Tania
tak seperti pasangan yang selama ini ia harapkan? Atau mungkin karena Tania tak
lebih baik dari Intan, sehingga membuat nama Intan, orang yang benar-benar
mengerti dan memahami Joni itu muncul kembali? Ah, mungkin ini hanya karena
rindu. Ya, hanya rasa rindu sehingga membuat nama Intan kembali menghantui
hari-harinya. Setidaknya itu yang diyakini Joni saat ini.
Segala
sesuatu yang kita jalani memang terkadang tak sesuai dengan angan yang pernah
kita miliki. Hubungan yang tengah dibangun Joni semakin hari semakin sering
berkecamuk dengan pertengkaran-pertengkaran. Memang itu hanyalah
pertengkaran-pertengkaran kecil, tapi bukankah akan jenuh juga bila harus
bertengkar tiap kali bertemu. Joni semakin hari semakin memperlakukan Tania
sama seperti saat ia memperlakukan Intan dulu. Walaupun secara tak langsung
berbicara, tapi dari perlakuan Joni kepada Tania jelas terlihat bila ia masih
memimpikan sosok yang mirip seperti Intan untuk menjadi pendampingnya.
“Kamu
belum benar-benar bisa nerima aku, Jon...” saut Tania dengan tatapan yang
menunjukkan kelelahan.
Joni
mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu apasih?” tanya Joni sembari menancapkan
sendok plastik yang digenggamnya ke atas tumpukan ice cream cokelat miliknya.
“Kamu
masih melihat aku sebagai Intan. Kamu nggak pernah melihat aku sebagai diri aku
sendiri, Jon. Bahkan aku merasa nggak jadi diri aku sendiri tiap kali jalan
sama kamu.” Ujar Tania dengan suara yang makin meninggi. Joni terdiam. Matanya
menatap lurus ke bawah. Ia merasa apa yang diucapkan Tania barusan adalah
benar, dan Tania sudah bisa merasakan itu. Ia benar-benar tak bisa
menyangkalnya saat ini.
“Seperti
sekarang. Kamu selalu ngajak aku pergi makan ice cream di sini tiap sore,
sementara aku nggak pernah sekalipun suka sama ice cream. Kamu selalu ngelakuin
ini karena kamu berharap nantinya aku akan suka ice cream sama seperti Intan.
Kamu belum benar-benar bisa ngelepasin bayangan Intan dari hidup kamu, Jon.”
Lanjut Tania sembari menggelengkan pelan kepalanya. Ia sudah menyerah kepada
Joni. “Aku rasa hubungan kita cukup sampai di sini aja.” Lanjutnya yang langsung
beranjak pergi meninggalkan Joni. Joni sempat mencegah Tania, tapi usahanya tak
berhasil. Tania tetap pergi meninggalkannya. Joni hanya bisa terduduk lesu
sambil menyandarkan kepalanya dengan kedua tangannya. Matanya sempat memandangi
semangkuk ice cream vanila yang sudah mencair, hingga menciptakan genangan ice
cream di dalam mangkuknya. Tania sama sekali tak pernah menyentuh ice cream itu.
Mungkin memang benar bila Joni belum benar-benar bisa lepas dari bayang-bayang
Intan. Bagaimana mungkin bisa melupakan bila ia sendiri masih terjebak di dalam
masa lalunya.
Semenjak
kejadian itu Joni tak lagi saling berkomunikasi dengan Tania. Hampir seminggu
lamanya. Bahkan saat di kantor pun mereka tak saling sapa. Tapi, saat akan
istirahat makan siang tadi, Tania sempat menghampiri Joni di meja kerjanya dan
berbicara cukup lama. Inti dari pembicaraannya adalah lusa ia ingin mengajak
Joni pergi ke suatu tempat. Sebuah tempat yang Tania sendiri masih merahasiakan
di mana lokasinya. Biarpun begitu Joni menerima ajakan Tania dan ia hanya
berharap dengan ini maka hubungannya dengan Tania akan membaik.
Hari
ini adalah lusa untuk kemarin lusa. Hari ini adalah hari di mana Joni akan
pergi bersama Tania. Tepat pukul 8 pagi Tania menjemput Joni dengan menyetir
sebuah mobil. Setelah itu Joni pun ikut ke manapun Tania akan membawanya. Hampir
setengah jam kemudian sampailah Tania ke dalam sebuah perumahan. Sebuah
perumahan yang tak asing bagi mereka berdua. Ya, perumahan di mana Tania
tinggal. Mobil Jazz merah itu pun kemudian berhenti tepat di depan rumah Tania.
Joni sempat bertanya kepada Tania mengapa ia diajak ke sini namun, Tania tak
menjawabnya. Ia hanya meminta agar Joni tetap diam dan mengikutinya.
Sesampainya
di dalam rumah, Joni diminta untuk menunggu sejenak di ruang tamu oleh Tania.
Tak berselang lama Tania pun kembali muncul.
“Ada
hal yang ingin aku tunjukin ke kamu.” Saut Tania sesaat setelah ia duduk tepat
di sebelah Joni. Joni tak menjawab. Ia mengernyitkan dahinya dan memandang
bingung ke arah Tania. Sesaat kemudian tiba-tiba saja Tania meraih kedua tangan
Joni dan menggenggamnya. Ia menatap Joni penuh makna.
“Hal
yang akan kamu lihat nanti adalah kebenaran yang sebenarnya.” ujar Tania
sembari tersenyum simpul. Kemudian Tania menarik pelan tangan Joni sembari
melangkahkan kakinya masuk lebih jauh ke dalam rumahnya. Mereka berjalan
menaiki beberapa anak tangga sebelum akhirnya langkah mereka terhenti di depan
sebuah pintu kayu. Sebuah pintu yang berwarna coklat muda dengan terdapat
ukiran berbentuk persegi yang berjumlah enam di badan pintu tersebut.
Sesaat
Tania menatap Joni sekali lagi penuh makna. Sebuah tatapan yang bahkan Joni
sendiri tak bisa mengartikannya. Perlahan tangan kanan Tania meraih gagang
pintu yang berwarna keemasan itu dan mendorongnya ke bawah. Greek! Pintu itu pun perlahan terbuka.
Perlahan Tania melangkahkan kaki memasuki pintu tersebut. Joni pun perlahan
mengikuti di belakang Tania. Saat memasuki kamar tersebut pandangan Joni pun
seketika melayang-layang ke tiap sudut ruangan itu. Dahinya sempat mengkerut
saat ia melihat adanya tabung oksigen dan beberapa alat yang harusnya terdapat
di rumah sakit tapi, ada di kamar ini. Ia sempat menghentikan langkahnya saat menyadari
ada seseorang yang terbaring di sebuah tempat tidur. Orang itu sepertinya sedang
sakit parah. Joni bisa menerka itu karena ada tabung oksigen di sebelahnya
dengan selang yang terhubung ke hidung orang itu.
Sementara
itu Tania sudah berada di sisi tempat tidur. Tania menatap orang itu murung.
Melihat tatapan Tania membuat Joni semakin penasaran. Siapa sebenarnya orang
yang tengah terbaring di situ? Joni pun kembali melangkahkan kakinya perlahan.
Sesaat kemudian ia menyadari bila orang itu adalah seorang perempuan. Ada
rambut panjang yang menjuntai dan menyelimuti kepalanya. Selangkah kemudian
Joni mengernyitkan keningnya saat ia melihat wajah yang pucat pasih itu.
Selangkah lagi kaki Joni melangkah membuat wajah perempuan itu semakin jelas
tertangkap oleh retina matanya. Di balik wajahnya yang pucat pasih, Joni
seperti mengenal perempuan itu.
Selangkah
demi selangkah Joni terus berjalan mendekati perempuan yang tengah terbaring
itu. Semakin dekat Joni melangkah jantungnya semakin berdetak kencang tanpa
permintaannya. Kaki dan tangannya tiba-tiba saja dirasa dingin. Dan di langkah
terakhirnya, Joni merasakan kakinya lemas. Ia menatap tak percaya ke arah
perempuan yang tengah terpejam dan terbaring di tempat tidur itu. Ia memandangi
perempuan itu dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan mata yang
berkaca-kaca. Mulut Joni tiba-tiba saja terasa kaku. Mulutnya hanya bisa
bergetar tanpa bisa ia gunakan untuk bicara. Perlahan tangan kanannya
menggenggam tangan perempuan itu, sedangkan tangan kirinya ia layangkan untuk
menyentuh kening perempuan itu. Matanya yang hanya berkaca-kaca kini sudah
mengalirkan bulir-bulir bening yang tak dapat lagi dibendungnya. Emosinya
sesaat mencuat membuatnya terisak hingga ia agak sulit bernapas.
“In...
In-tan...” seru Joni yang mulai terisak. Sembari mengecup hangat kening
perempuan itu isak tangis Joni pun pecah. Tangan kanannya terus menggenggam
erat tangan perempuan yang ia kenal sebagai Intan itu, kekasihnya yang telah lama
tak bisa ia temui. Kini Joni pun dapat meluapkan kerinduan yang sudah lama
bersemayam di dalam dadanya. Kecupan Joni ke kening Intan seperti
mengisyaratkan akan luapan kerinduan yang begitu dalam. Rasa rindu yang begitu
menyiksa. Beberapa saat kemudian tangan Tania pun meraih bahu Joni.
“Ada
yang harus aku omongin sama kamu, Jon.” Saut Tania. Setelah itu Joni pun
berusaha meredakan luapan emosinya. Ia menyeka air matanya dan berkali-kali
menghela napasnya agar ia dapat lebih tenang. Sesaat mereka berdua pun berjalan
menuju beranda yang hanya dipisahkan oleh sebuah pintu kaca yang besar dari
kamar tempat Intan terbaring.
Di
sana Tania pun mulai menceritakan bagaimana kebenaran yang terjadi. Ternyata
selama ini Tania memiliki hubungan darah dengan Intan. Mereka adalah sepupu
yang sudah sangat dekat. Sebelum keberangkatan untuk menjalani operasi kanker
otaknya di Singapore, Intan sempat menginap di rumah Tania. Saat itulah Intan
pernah meminta kepada Tania untuk menggantikan posisinya di hati Joni. Meminta
Tania agar mau menjaga Joni. Semata-mata itu ia lakukan demi Joni, agar Joni
tak perlu bersedih bila nanti operasinya tak berjalan sesuai harapan. Itulah
mengapa Tania selalu mengikuti gerak-gerik Joni hingga ia bisa satu kantor
dengan Joni dan menjadi kekasihnya. Tapi nampaknya rencana untuk menggantikan
posisi Intan itu tak berjalan lancar karena Joni terlalu mencintai Intan.
Mungkin dengan mempertemukan kembali Joni dengan Intan seperti ini adalah jalan
terbaik bagi mereka berdua.
Setelah
mengungkapkan semua kebenaran, sambil menyeka air matanya, Tania memohon kepada
Joni agar dapat memberikan kebahagiaan kepada Intan. Mungkin untuk yang
terakhir kalinya. Operasi yang dilalui Intan tak berjalan lancar karena kanker
otak yang menyerang Intan terbilang ganas. Walaupun sudah melakukan
pengangkatan, tapi masih ada kanker yang bersarang di otaknya yang sulit untuk
dilakukan pengangkatan. Dengan air mata yang berlinang Tania pun mengatakan
kepada Joni bila waktu Intan tak akan lama lagi. Dan mungkin ini kesempatan
terakhir bagi Joni untuk membahagiakan Intan. Mendengar itu membuat jantung
Joni seperti berhenti untuk berdetak beberapa detik.
Tak
beberapa lama kemudian Intan terbangun dari tidurnya. Sepertinya efek obat
biusnya sudah hilang. Tania yang menyadari bila Intan sudah bangun pun segera
menghampirinya. Intan pun langsung menyambut Tania dengan senyuman hangat yang
selalu ia lontarkan tiap kali berjumpa dengan sepupunya itu. Dan sesaat
kemudian sambil memicingkan matanya, Intan melihat sosok pria datang
menghampirinya. Pria itu tak lain adalah Joni yang seketika langsung memberikan
kecupan hangatnya ke kening Intan sekali lagi.
“Hai...”
sapa Joni sembari tersenyum ke arah Intan. Intan pun balas tersenyum sambil
mengatakan hai juga kepada Joni. Perlahan tangan Joni meraih tangan Intan dan
menggenggamnya erat. Ia memandang Intan penuh makna.
“Kamu
jangan pernah pergi lagi dari aku, ya.” pinta Joni sembari menciumi tangan
Intan yang tengah digenggamnya itu. Mendengar permintaan Joni membuat Intan
lantas menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lengkung.
“I
miss you.” Ujar Intan dengan suara yang lirih. Joni pun mengucapkan kalimat
yang sama dan kembali memberikan kecupan hangatnya kepada Intan. Mereka berdua
pun saling meluapkan rindu. Mereka saling meluapkan rasa rindu yang selama ini
ada di antara mereka berdua. Siang itu Tania telah menjadi saksi akan dua insan
yang saling mencintai yang sangat sulit untuk dipisahkan, bahkan saat keadaan
sendiri yang memintanya sekalipun.
Sejak
siang itu, Joni pun selalu menemani Intan yang hanya bisa terbaring di atas
tempat tidurnya hingga malam menyapa. Joni bahkan tertidur di sisi tempat tidur
Intan. Hari itu Intan merasakan bila waktu begitu cepat berlalu dibanding
hari-hari sebelumnya. Mengapa waktu begitu cepat berlalu tiap kali kita
menghabiskan waktu bersama dengan orang terkasih? Mungkin itulah cara Tuhan
agar manusia tak cepat bosan saat berada di dekat orang yang benar-benar sudah disiapkan
untuknya. Seperti halnya Joni yang benar-benar disiapkan untuk menemani Intan
hingga ajal menjemputnya.
“Sus,
buat saat ini aku nggak mau di bius dulu.” Pinta Intan begitu perawat
pribadinya masuk dengan membawa beberapa obat-obatan untuknya. Intan sudah
paham betul bila tiap kali selesai waktu makan siang maka perawat pribadinya
akan menyuntiknya dengan bius agar ia tertidur dan dapat beristirahat. Itu
memang sudah prosedurnya. Tapi kali ini sepertinya ia tak ingin dibius, lebih
tepatnya ia tak ingin menghabiskan waktunya hari ini dengan tertidur. Ia
benar-benar tak ingin melewati sedetikpun kebersamaannya dengan Joni. Hari itu
Intan pun tak diberi bius dan ia pun bisa menikmati kebersamaannya dengan Joni
tanpa harus terganggu dengan waktu istirahatnya.
Namun,
sore itu ada yang berbeda dengan Intan. Untuk pertamakalinya ia meminta untuk
dipindahkan ke sebuah kursi roda. Ia ingin menikmati langit senja dan sunset
dari beranda kamarnya. Dengan dibantu oleh Tania dan Joni akhirnya Intan pun
bisa duduk di atas sebuah kursi roda. Selain itu ia juga melepas selang oksigen
yang ada di hidungnya. Selang itu membuatnya risih sehingga ia takut tak bisa
menikmati sunset hanya karena sebuah selang yang mengganggu lubang hidungnya.
“Jon.
Kamu tahu nggak kalau selama ini aku selalu membayangkan hal seperti ini.
Menikmati sunset bersama kamu.” Ujar Intan dengan mata yang agak memicing.
Joni
yang berdiri di belakang Intan pun tersenyum sipu. Ia sedikit menundukkan
tubuhnya agar dapat merangkul Intan. “Aku selalu percaya. Apapun akan terasa
begitu indah kalau aku harus menikmatinya bersama kamu.” Bisiknya ke telinga
Intan. “Sekalipun yang ada di depan kita saat ini cuma sepasang kucing kawin.”
Lanjut Joni yang kemudian terkekeh. Intan pun spontan tergelak saat mendengar
candaan Joni barusan. Di mata Joni wajah pucat pasih Intan ternyata belum mampu
menutupi kecantikannya saat ia tertawa. Dan melihat Intan dapat tertawa lepas
seperti itu adalah panorama terindah yang ditangkap oleh mata Joni sejauh ini.
Sore
itu, senja terlihat begitu anggun ditemani dengan jingga yang terlihat begitu
nyata merajai langit. Di ufuk barat sang mentari seperti tengah melambai-lambai
kepada mereka berdua saat akan terbenam. Dua insan yang tengah menikmati senja
bersama. Dua insan yang tengah menghabiskan waktu bersama seperti enggan untuk
dipisahkan.
Satu
hal yang Joni tahu tentang cinta adalah bila cinta itu tak akan mati. Sekalipun
raga seseorang yang dicintainya telah mati tapi cintanya akan selalu ada karena
cinta itu ada di dalam jiwa. Cinta tak akan bisa mati selama manusia masih
terus hidup dan memberikan keturunan karena cinta selalu bersemi. Dan cinta akan
selalu kekal hingga di nirwana nanti. Karena selama manusia belum musnah maka
selama itu juga cinta akan selalu ada.
Dan
kini Joni menyadari bila cintanya tak akan pernah bisa mati kepada Intan,
begitupun sebaliknya. Namun, ia sadar bila ia tak bisa memaksakan keadaan yang
tak bisa menyatukan mereka di dunia ini. Di depan sebuah makam dengan sebuah
batu nisan yang bertuliskan “Intan
Permata Hati, 23 Mei 1989 – 14 Juni 2014” Joni telah menetapkan hatinya
untuk tetap melanjutkan hidupnya, seperti yang telah diminta oleh Intan saat
mereka tengah menikmati sunset bersama sore itu. Kini, salah satu ruang di hati
Joni sudah benar-benar terukir nama Intan yang tak akan bisa dihapus oleh
siapapun itu. Ya, nama itu terukir di dalam hatinya dan ia biarkan salah satu
sudut di ruang hatinya itu terus tertutup. Tak ada seorangpun yang bisa
menyentuhnya biarpun orang itu telah mengisi sisi lain dari ruang hati Joni. Setidaknya
dengan begitu ia tetap bisa melanjutkan hidupnya dan memberikan cintanya kepada
orang lain tanpa harus takut kehilangan Intan dan cintanya dari relung hatinya
yang terdalam. Selain harta dan tahta, hal yang paling ditakuti oleh manusia
adalah kehilangan cintanya. Sebuah raga memang akan mati, tapi cinta dan
kenangannya tak akan pernah bisa mati. Walaupun mereka kini berada di dua dunia
yang berbeda tapi, mereka tetap memiliki satu cinta yang sama.
-Sekian-