[Cerpen] Satu Cinta Dua Dunia (Part 2)

Satu tahun sudah lamanya Joni tak lagi mendengar kabar dari kekasihnya, Intan. Satu-satunya hal yang membuatnya masih yakin bila mereka akan dipertemukan kembali adalah secarik surat dari Intan yang masih disimpannya hingga saat ini. Joni tak pernah sedikitpun menyisihkan Intan dari ingatannya. Kurang lebih sudah satu tahun ini Joni hanya bisa mengobati rasa rindunya kepada Intan melalui sebuah foto. Sebuah foto Intan dan dirinya yang selalu ia selipkan di dalam dompetnya dan beberapa lagi ia tempelkan di dinding kamarnya. Baginya merindu seperti ini sangatlah menyiksa. Hanya bisa memandangi seseorang yang begitu dirindunya dari sebuah foto tanpa bisa menyentuhnya. Ia tak ada bedanya dengan orang yang hanya memiliki pacar khayalan.
Tak ingin membuka hatinya untuk hal yang baru tak lantas membuat Joni membatasi pergaulannya. Banyak sudah perempuan yang berlalu lalang di dalam hidupnya. Apalagi kini Joni sudah berada di dunia kerja. Dunia di mana ia akan makin banyak menemukan orang-orang baru. Dan salah satu orang baru di dalam hidupnya adalah seorang perempuan bernama Tania. Seorang perempuan yang ia kenal selama lima bulan terakhir ini. Satu-satunya perempuan yang hingga saat ini bisa dekat dengan dirinya semenjak ia tak lagi dapat berjumpa dengan Intan.
Joni pertamakali mengenal Tania saat mereka berdua sama-sama menunggu giliran interview di perusahaan tempat mereka berdua bekerja saat ini. Tak bisa dipungkiri bila Joni memang merasakan hal yang berbeda saat ia sedang berbicara dengan Tania. Joni selalu bisa merasa enjoy saat sedang mengobrol dengannya, seolah-olah mereka sudah saling lama mengenal satu sama lainnya. Dan kedekatan mereka pun terus berlanjut hingga hari ini.
“Gue denger-denger ada gosip baru nih di kantor?” saut Joni dengan pipi yang mengembung karena penuh dengan makanan.
Tania mengernyitkan keningnya. “Gosip apaan?” tanyanya balik dengan mulut yang masih mengunyah pancake cokelat bakar miliknya.
“Katanya sih, habis ada yang nolak si Danu. Katanya sih, gitu.” goda Joni sembari terus menyendoki nasi gorengnya. Sadar akan gosip yang dimaksud Joni adalah dirinya, Tania hanya tersenyum dingin menanggapinya. Ia lebih memilih kembali berurusan dengan pancake bakarnya daripada harus menanggapi gosip barusan. “Kok lu bisa nolak si Danu sih, ni? Bukannya dia udah nunjukin keseriusannya ya sama lu?” lanjut Joni penasaran.
“Yah, mau gimana lagi?” Tania diam sejenak sembari menghela napas. “Guenya nggak tertarik sama sekali sama dia.” Lanjutnya sambil sedikit menaikkan kedua bahunya.
“Jangan terlalu pemilih, ni. Ntar jadi perawan tua lho!” saut Joni yang kemudian terkekeh.
“Terus apa bedanya gue sama elo?” Tania mendelik sambil memasang senyuman yang menyindir. Matanya seperti berubah menjadi sebuah cermin bagi Joni. Membuat Joni menyadari bila Tania tak jauh berbeda dengannya. Ya, saat ini mereka sama-sama tengah menutup pintu hati masing-masing. Joni memang sudah bercerita banyak tentang dirinya dan masa lalunya kepada Tania, tapi hal berbeda dilakukan oleh Tania. Tania tak pernah sekalipun memberitahu Joni mengapa ia bisa mengunci hatinya untuk pria-pria yang mendekatinya.
Kebersamaan mereka selama ini tak sedikitpun membuat Tania dan Joni canggung. Apalagi seringkali mereka berdua menjadi bahan gosip oleh teman sekantor mereka. Tapi hal itu tentu saja tak lantas menjadi beban pikiran mereka berdua. Joni dan Tania menjalankan pertemanan mereka dengan gaya mereka sendiri. Tak bisa dipungkiri memang bila di antara joni dan Tania sudah saling merasakan kenyamanan bila mereka sedang berdua.
Kedekatan mereka makin lama berangsur terlihat semakin istimewa. Bahkan kini mereka selalu pergi berdua kemanapun mereka pergi. Dari makan siang, nonton, belanja, hingga bersepeda di Minngu pagi pun mereka lakukan berdua. Dan perlahan kedekatan mereka berdua sama-sama mampu menggoyahkan benteng yang selama ini telah mereka berdua dirikan. Pintu hati memang tak akan pernah bisa didobrak ataupun diruntuhkan dari luar sekeras apapun berusaha bila sang pemilik hati sudah terlanjur menguncinya. Hanya keinginan sang pemilik hatilah yang mampu  membuka kembali hatinya saat ia sudah bersedia.
Kenyamanan yang selama ini ada di pertemanan mereka berdua kini perlahan membuat Joni mulai agak terganggu dengan itu. Kedekatannya dengan Tania membuatnya nyaman hingga terkadang membuat hatinya seperti ingin sekali menerima kehadiran Tania untuk lebih dari sekedar teman. Tapi di sudut hatinya yang terdalam masih tersimpan rapi nama Intan yang enggan untuk ia lupakan. Terukir jelas di dalam hatinya sehingga ia enggan untuk menghilangkannya. But life must go on, right?
Secara perlahan waktu membiarkan Joni untuk membungkus sekaligus menyimpan baik-baik nama Intan yang pernah menjadi pemilik seluruh ruang di hatinya. Kini nama Intan sudah ia kubur dalam-dalam agar ruang di hatinya dapat kembali kosong sehingga dapat ia siapkan untuk menyambut seseorang yang baru.
Malam ini. Dengan ditemani kunang-kunang yang menari-nari di antara mereka berdua, Joni berniat untuk menyatakan perasaannya kepada Tania. Tepat di depan teras rumah Tania, sesaat setelah mengantarkan Tania pulang Joni pun menyatakan cintanya kepada Tania. Awalnya perempuan berlesung pipi dan berkacamata itu tak langsung memberikan jawabannya. Namun, pada akhirnya Tania pun mau menerima Joni dan sejak saat itulah mereka berdua resmi berstatus pacar.  Malam itu, puluhan kunang-kunang yang berayun-ayun di udara telah menjadi saksi bagi Joni dan Tania dalam merajut sebuah hubungan lama ke sebuah tahap baru yang lebih jauh lagi.
Seiring bergulirnya waktu, Joni mulai merasakan sebuah nama yang pernah, bahkan masih terukir di hatinya kini mencuat kembali. Baru dua bulan hubungannya dengan Tania berjalan, nama Intan sudah kembali mengganggu sanubarinya. Nama itu kembali muncul dan kembali mengkontaminasi saraf-saraf otak Joni hingga memenuhi kepalanya kembali. Entah mengapa nama Intan kembali terngiang setelah Joni merasa bila benar-benar sudah menguburnya dalam-dalam. Apa karena Tania tak seperti pasangan yang selama ini ia harapkan? Atau mungkin karena Tania tak lebih baik dari Intan, sehingga membuat nama Intan, orang yang benar-benar mengerti dan memahami Joni itu muncul kembali? Ah, mungkin ini hanya karena rindu. Ya, hanya rasa rindu sehingga membuat nama Intan kembali menghantui hari-harinya. Setidaknya itu yang diyakini Joni saat ini.
Segala sesuatu yang kita jalani memang terkadang tak sesuai dengan angan yang pernah kita miliki. Hubungan yang tengah dibangun Joni semakin hari semakin sering berkecamuk dengan pertengkaran-pertengkaran. Memang itu hanyalah pertengkaran-pertengkaran kecil, tapi bukankah akan jenuh juga bila harus bertengkar tiap kali bertemu. Joni semakin hari semakin memperlakukan Tania sama seperti saat ia memperlakukan Intan dulu. Walaupun secara tak langsung berbicara, tapi dari perlakuan Joni kepada Tania jelas terlihat bila ia masih memimpikan sosok yang mirip seperti Intan untuk menjadi pendampingnya.
“Kamu belum benar-benar bisa nerima aku, Jon...” saut Tania dengan tatapan yang menunjukkan kelelahan.
Joni mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu apasih?” tanya Joni sembari menancapkan sendok plastik yang digenggamnya ke atas tumpukan ice cream cokelat miliknya.
“Kamu masih melihat aku sebagai Intan. Kamu nggak pernah melihat aku sebagai diri aku sendiri, Jon. Bahkan aku merasa nggak jadi diri aku sendiri tiap kali jalan sama kamu.” Ujar Tania dengan suara yang makin meninggi. Joni terdiam. Matanya menatap lurus ke bawah. Ia merasa apa yang diucapkan Tania barusan adalah benar, dan Tania sudah bisa merasakan itu. Ia benar-benar tak bisa menyangkalnya saat ini.
“Seperti sekarang. Kamu selalu ngajak aku pergi makan ice cream di sini tiap sore, sementara aku nggak pernah sekalipun suka sama ice cream. Kamu selalu ngelakuin ini karena kamu berharap nantinya aku akan suka ice cream sama seperti Intan. Kamu belum benar-benar bisa ngelepasin bayangan Intan dari hidup kamu, Jon.” Lanjut Tania sembari menggelengkan pelan kepalanya. Ia sudah menyerah kepada Joni. “Aku rasa hubungan kita cukup sampai di sini aja.” Lanjutnya yang langsung beranjak pergi meninggalkan Joni. Joni sempat mencegah Tania, tapi usahanya tak berhasil. Tania tetap pergi meninggalkannya. Joni hanya bisa terduduk lesu sambil menyandarkan kepalanya dengan kedua tangannya. Matanya sempat memandangi semangkuk ice cream vanila yang sudah mencair, hingga menciptakan genangan ice cream di dalam mangkuknya. Tania sama sekali tak pernah menyentuh ice cream itu. Mungkin memang benar bila Joni belum benar-benar bisa lepas dari bayang-bayang Intan. Bagaimana mungkin bisa melupakan bila ia sendiri masih terjebak di dalam masa lalunya.
Semenjak kejadian itu Joni tak lagi saling berkomunikasi dengan Tania. Hampir seminggu lamanya. Bahkan saat di kantor pun mereka tak saling sapa. Tapi, saat akan istirahat makan siang tadi, Tania sempat menghampiri Joni di meja kerjanya dan berbicara cukup lama. Inti dari pembicaraannya adalah lusa ia ingin mengajak Joni pergi ke suatu tempat. Sebuah tempat yang Tania sendiri masih merahasiakan di mana lokasinya. Biarpun begitu Joni menerima ajakan Tania dan ia hanya berharap dengan ini maka hubungannya dengan Tania akan membaik.
Hari ini adalah lusa untuk kemarin lusa. Hari ini adalah hari di mana Joni akan pergi bersama Tania. Tepat pukul 8 pagi Tania menjemput Joni dengan menyetir sebuah mobil. Setelah itu Joni pun ikut ke manapun Tania akan membawanya. Hampir setengah jam kemudian sampailah Tania ke dalam sebuah perumahan. Sebuah perumahan yang tak asing bagi mereka berdua. Ya, perumahan di mana Tania tinggal. Mobil Jazz merah itu pun kemudian berhenti tepat di depan rumah Tania. Joni sempat bertanya kepada Tania mengapa ia diajak ke sini namun, Tania tak menjawabnya. Ia hanya meminta agar Joni tetap diam dan mengikutinya.
Sesampainya di dalam rumah, Joni diminta untuk menunggu sejenak di ruang tamu oleh Tania. Tak berselang lama Tania pun kembali muncul.
“Ada hal yang ingin aku tunjukin ke kamu.” Saut Tania sesaat setelah ia duduk tepat di sebelah Joni. Joni tak menjawab. Ia mengernyitkan dahinya dan memandang bingung ke arah Tania. Sesaat kemudian tiba-tiba saja Tania meraih kedua tangan Joni dan menggenggamnya. Ia menatap Joni penuh makna.
“Hal yang akan kamu lihat nanti adalah kebenaran yang sebenarnya.” ujar Tania sembari tersenyum simpul. Kemudian Tania menarik pelan tangan Joni sembari melangkahkan kakinya masuk lebih jauh ke dalam rumahnya. Mereka berjalan menaiki beberapa anak tangga sebelum akhirnya langkah mereka terhenti di depan sebuah pintu kayu. Sebuah pintu yang berwarna coklat muda dengan terdapat ukiran berbentuk persegi yang berjumlah enam di badan pintu tersebut.
Sesaat Tania menatap Joni sekali lagi penuh makna. Sebuah tatapan yang bahkan Joni sendiri tak bisa mengartikannya. Perlahan tangan kanan Tania meraih gagang pintu yang berwarna keemasan itu dan mendorongnya ke bawah. Greek! Pintu itu pun perlahan terbuka. Perlahan Tania melangkahkan kaki memasuki pintu tersebut. Joni pun perlahan mengikuti di belakang Tania. Saat memasuki kamar tersebut pandangan Joni pun seketika melayang-layang ke tiap sudut ruangan itu. Dahinya sempat mengkerut saat ia melihat adanya tabung oksigen dan beberapa alat yang harusnya terdapat di rumah sakit tapi, ada di kamar ini. Ia sempat menghentikan langkahnya saat menyadari ada seseorang yang terbaring di sebuah tempat tidur. Orang itu sepertinya sedang sakit parah. Joni bisa menerka itu karena ada tabung oksigen di sebelahnya dengan selang yang terhubung ke hidung orang itu.
Sementara itu Tania sudah berada di sisi tempat tidur. Tania menatap orang itu murung. Melihat tatapan Tania membuat Joni semakin penasaran. Siapa sebenarnya orang yang tengah terbaring di situ? Joni pun kembali melangkahkan kakinya perlahan. Sesaat kemudian ia menyadari bila orang itu adalah seorang perempuan. Ada rambut panjang yang menjuntai dan menyelimuti kepalanya. Selangkah kemudian Joni mengernyitkan keningnya saat ia melihat wajah yang pucat pasih itu. Selangkah lagi kaki Joni melangkah membuat wajah perempuan itu semakin jelas tertangkap oleh retina matanya. Di balik wajahnya yang pucat pasih, Joni seperti mengenal perempuan itu.
Selangkah demi selangkah Joni terus berjalan mendekati perempuan yang tengah terbaring itu. Semakin dekat Joni melangkah jantungnya semakin berdetak kencang tanpa permintaannya. Kaki dan tangannya tiba-tiba saja dirasa dingin. Dan di langkah terakhirnya, Joni merasakan kakinya lemas. Ia menatap tak percaya ke arah perempuan yang tengah terpejam dan terbaring di tempat tidur itu. Ia memandangi perempuan itu dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan mata yang berkaca-kaca. Mulut Joni tiba-tiba saja terasa kaku. Mulutnya hanya bisa bergetar tanpa bisa ia gunakan untuk bicara. Perlahan tangan kanannya menggenggam tangan perempuan itu, sedangkan tangan kirinya ia layangkan untuk menyentuh kening perempuan itu. Matanya yang hanya berkaca-kaca kini sudah mengalirkan bulir-bulir bening yang tak dapat lagi dibendungnya. Emosinya sesaat mencuat membuatnya terisak hingga ia agak sulit bernapas.
“In... In-tan...” seru Joni yang mulai terisak. Sembari mengecup hangat kening perempuan itu isak tangis Joni pun pecah. Tangan kanannya terus menggenggam erat tangan perempuan yang ia kenal sebagai Intan itu, kekasihnya yang telah lama tak bisa ia temui. Kini Joni pun dapat meluapkan kerinduan yang sudah lama bersemayam di dalam dadanya. Kecupan Joni ke kening Intan seperti mengisyaratkan akan luapan kerinduan yang begitu dalam. Rasa rindu yang begitu menyiksa. Beberapa saat kemudian tangan Tania pun meraih bahu Joni.
“Ada yang harus aku omongin sama kamu, Jon.” Saut Tania. Setelah itu Joni pun berusaha meredakan luapan emosinya. Ia menyeka air matanya dan berkali-kali menghela napasnya agar ia dapat lebih tenang. Sesaat mereka berdua pun berjalan menuju beranda yang hanya dipisahkan oleh sebuah pintu kaca yang besar dari kamar tempat Intan terbaring.
Di sana Tania pun mulai menceritakan bagaimana kebenaran yang terjadi. Ternyata selama ini Tania memiliki hubungan darah dengan Intan. Mereka adalah sepupu yang sudah sangat dekat. Sebelum keberangkatan untuk menjalani operasi kanker otaknya di Singapore, Intan sempat menginap di rumah Tania. Saat itulah Intan pernah meminta kepada Tania untuk menggantikan posisinya di hati Joni. Meminta Tania agar mau menjaga Joni. Semata-mata itu ia lakukan demi Joni, agar Joni tak perlu bersedih bila nanti operasinya tak berjalan sesuai harapan. Itulah mengapa Tania selalu mengikuti gerak-gerik Joni hingga ia bisa satu kantor dengan Joni dan menjadi kekasihnya. Tapi nampaknya rencana untuk menggantikan posisi Intan itu tak berjalan lancar karena Joni terlalu mencintai Intan. Mungkin dengan mempertemukan kembali Joni dengan Intan seperti ini adalah jalan terbaik bagi mereka berdua.
Setelah mengungkapkan semua kebenaran, sambil menyeka air matanya, Tania memohon kepada Joni agar dapat memberikan kebahagiaan kepada Intan. Mungkin untuk yang terakhir kalinya. Operasi yang dilalui Intan tak berjalan lancar karena kanker otak yang menyerang Intan terbilang ganas. Walaupun sudah melakukan pengangkatan, tapi masih ada kanker yang bersarang di otaknya yang sulit untuk dilakukan pengangkatan. Dengan air mata yang berlinang Tania pun mengatakan kepada Joni bila waktu Intan tak akan lama lagi. Dan mungkin ini kesempatan terakhir bagi Joni untuk membahagiakan Intan. Mendengar itu membuat jantung Joni seperti berhenti untuk berdetak beberapa detik.
Tak beberapa lama kemudian Intan terbangun dari tidurnya. Sepertinya efek obat biusnya sudah hilang. Tania yang menyadari bila Intan sudah bangun pun segera menghampirinya. Intan pun langsung menyambut Tania dengan senyuman hangat yang selalu ia lontarkan tiap kali berjumpa dengan sepupunya itu. Dan sesaat kemudian sambil memicingkan matanya, Intan melihat sosok pria datang menghampirinya. Pria itu tak lain adalah Joni yang seketika langsung memberikan kecupan hangatnya ke kening Intan sekali lagi.
“Hai...” sapa Joni sembari tersenyum ke arah Intan. Intan pun balas tersenyum sambil mengatakan hai juga kepada Joni. Perlahan tangan Joni meraih tangan Intan dan menggenggamnya erat. Ia memandang Intan penuh makna.
“Kamu jangan pernah pergi lagi dari aku, ya.” pinta Joni sembari menciumi tangan Intan yang tengah digenggamnya itu. Mendengar permintaan Joni membuat Intan lantas menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lengkung.
“I miss you.” Ujar Intan dengan suara yang lirih. Joni pun mengucapkan kalimat yang sama dan kembali memberikan kecupan hangatnya kepada Intan. Mereka berdua pun saling meluapkan rindu. Mereka saling meluapkan rasa rindu yang selama ini ada di antara mereka berdua. Siang itu Tania telah menjadi saksi akan dua insan yang saling mencintai yang sangat sulit untuk dipisahkan, bahkan saat keadaan sendiri yang memintanya sekalipun.
Sejak siang itu, Joni pun selalu menemani Intan yang hanya bisa terbaring di atas tempat tidurnya hingga malam menyapa. Joni bahkan tertidur di sisi tempat tidur Intan. Hari itu Intan merasakan bila waktu begitu cepat berlalu dibanding hari-hari sebelumnya. Mengapa waktu begitu cepat berlalu tiap kali kita menghabiskan waktu bersama dengan orang terkasih? Mungkin itulah cara Tuhan agar manusia tak cepat bosan saat berada di dekat orang yang benar-benar sudah disiapkan untuknya. Seperti halnya Joni yang benar-benar disiapkan untuk menemani Intan hingga ajal menjemputnya.
“Sus, buat saat ini aku nggak mau di bius dulu.” Pinta Intan begitu perawat pribadinya masuk dengan membawa beberapa obat-obatan untuknya. Intan sudah paham betul bila tiap kali selesai waktu makan siang maka perawat pribadinya akan menyuntiknya dengan bius agar ia tertidur dan dapat beristirahat. Itu memang sudah prosedurnya. Tapi kali ini sepertinya ia tak ingin dibius, lebih tepatnya ia tak ingin menghabiskan waktunya hari ini dengan tertidur. Ia benar-benar tak ingin melewati sedetikpun kebersamaannya dengan Joni. Hari itu Intan pun tak diberi bius dan ia pun bisa menikmati kebersamaannya dengan Joni tanpa harus terganggu dengan waktu istirahatnya.
Namun, sore itu ada yang berbeda dengan Intan. Untuk pertamakalinya ia meminta untuk dipindahkan ke sebuah kursi roda. Ia ingin menikmati langit senja dan sunset dari beranda kamarnya. Dengan dibantu oleh Tania dan Joni akhirnya Intan pun bisa duduk di atas sebuah kursi roda. Selain itu ia juga melepas selang oksigen yang ada di hidungnya. Selang itu membuatnya risih sehingga ia takut tak bisa menikmati sunset hanya karena sebuah selang yang mengganggu lubang hidungnya.
“Jon. Kamu tahu nggak kalau selama ini aku selalu membayangkan hal seperti ini. Menikmati sunset bersama kamu.” Ujar Intan dengan mata yang agak memicing.
Joni yang berdiri di belakang Intan pun tersenyum sipu. Ia sedikit menundukkan tubuhnya agar dapat merangkul Intan. “Aku selalu percaya. Apapun akan terasa begitu indah kalau aku harus menikmatinya bersama kamu.” Bisiknya ke telinga Intan. “Sekalipun yang ada di depan kita saat ini cuma sepasang kucing kawin.” Lanjut Joni yang kemudian terkekeh. Intan pun spontan tergelak saat mendengar candaan Joni barusan. Di mata Joni wajah pucat pasih Intan ternyata belum mampu menutupi kecantikannya saat ia tertawa. Dan melihat Intan dapat tertawa lepas seperti itu adalah panorama terindah yang ditangkap oleh mata Joni sejauh ini.
Sore itu, senja terlihat begitu anggun ditemani dengan jingga yang terlihat begitu nyata merajai langit. Di ufuk barat sang mentari seperti tengah melambai-lambai kepada mereka berdua saat akan terbenam. Dua insan yang tengah menikmati senja bersama. Dua insan yang tengah menghabiskan waktu bersama seperti enggan untuk dipisahkan.
Satu hal yang Joni tahu tentang cinta adalah bila cinta itu tak akan mati. Sekalipun raga seseorang yang dicintainya telah mati tapi cintanya akan selalu ada karena cinta itu ada di dalam jiwa. Cinta tak akan bisa mati selama manusia masih terus hidup dan memberikan keturunan karena cinta selalu bersemi. Dan cinta akan selalu kekal hingga di nirwana nanti. Karena selama manusia belum musnah maka selama itu juga cinta akan selalu ada.
Dan kini Joni menyadari bila cintanya tak akan pernah bisa mati kepada Intan, begitupun sebaliknya. Namun, ia sadar bila ia tak bisa memaksakan keadaan yang tak bisa menyatukan mereka di dunia ini. Di depan sebuah makam dengan sebuah batu nisan yang bertuliskan “Intan Permata Hati, 23 Mei 1989 – 14 Juni 2014” Joni telah menetapkan hatinya untuk tetap melanjutkan hidupnya, seperti yang telah diminta oleh Intan saat mereka tengah menikmati sunset bersama sore itu. Kini, salah satu ruang di hati Joni sudah benar-benar terukir nama Intan yang tak akan bisa dihapus oleh siapapun itu. Ya, nama itu terukir di dalam hatinya dan ia biarkan salah satu sudut di ruang hatinya itu terus tertutup. Tak ada seorangpun yang bisa menyentuhnya biarpun orang itu telah mengisi sisi lain dari ruang hati Joni. Setidaknya dengan begitu ia tetap bisa melanjutkan hidupnya dan memberikan cintanya kepada orang lain tanpa harus takut kehilangan Intan dan cintanya dari relung hatinya yang terdalam. Selain harta dan tahta, hal yang paling ditakuti oleh manusia adalah kehilangan cintanya. Sebuah raga memang akan mati, tapi cinta dan kenangannya tak akan pernah bisa mati. Walaupun mereka kini berada di dua dunia yang berbeda tapi, mereka tetap memiliki satu cinta yang sama.


-Sekian-

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.