![]() |
Gambar: |
“Apa kau pernah mendengar tentang Negeri Hujan?”
Begitulah seorang pria yang muncul entah dari mana tiba-tiba
saja bertanya kepadaku ketika aku hendak menyeruput kopiku untuk kali terakhir
di warung Khasim. Ah, sial, rutukku dalam hati. Apakah hal seperti ini harus
menimpaku lagi? Seingatku, tempo hari jauh sekali seorang pengelana juga pernah
datang padaku dan bertanya, apakah aku pernah mendengar tentang Negeri Senja?
Dan ia pun mulai berkisah padaku tentang Matahari
yang Tidak Pernah Terbenam di Negeri Senja1 selama hampir satu
malam penuh. Hasilnya, setelah mendengar ceritanya hingga tandas aku pun
seketika mengantuk sehingga lupa untuk memeriksa keadaan kampungku. Untungnya
malam itu tak ada penyamun yang sedang beraksi di kampungku. Tak ada sapi atau
kambing warga yang hilang.
Dan malam ini, ketika aku baru saja hendak berkeliling
guna memeriksa keadaan kampungku, seorang pria tiba-tiba saja muncul entah dari
mana dan bertanya apakah aku pernah mendengar tentang Negeri Hujan. Apakah aku
harus mendengarkan kisahnya―yang entah bualan atau bukan―tentang Negeri Hujan, atau
aku tak perlu mendengarkan apa-apa dari lelaki itu dan langsung pergi saja
untuk menunaikan tugasku―memastikan bila keamanan kampung terjamin? Tetapi, sejujurnya
aku belum pernah sekalipun mendengar tentang Negeri Hujan. Lagi pula, aku
penasaran, seberapa menarik kisah tentang Negeri Hujan ini? Dan apa yang
membuat Negeri Hujan begitu istimewa sehingga lelaki itu mau bersusah-susah
berdongeng tentang Negeri Hujan kepadaku? Aku kira tak mengapa bila mendengar
kisahnya lebih dulu sebelum aku memutari kampong yang sunyi ini. Lagi pula,
sekarang masih pukul 11 malam.
“Ceritakan padaku tentang Negeri Hujan itu.”
“Kau orang yang bijaksana,” kata lelaki itu,
tersenyum lengkung dan mengangguk-angguk.
Pria yang wajahnya betapa kusam dan berjanggut lebat
tak terawat itu tak lantas menceritakan langsung tentang Negeri Hujan. Ia
berkisah lebih dulu tentang perjalanan yang sudah dilakukannya dua tahun
belakangan ini. Ia berasal dari selatan. Melakukan perjalanan dengan menunggang
kuda guna mencari Negeri Senja. Ia pernah mendengar tentang Negeri Senja dari
kabar angin yang juga membawa serta kabar kematian adik dan kakaknya dari
negeri seberang. Tetapi hingga sekarang ia masih belum bisa juga menemukan keberadaan
Negeri Senja. Justru dalam perjalanannya ia malah menemukan Negeri Hujan.
Negeri Hujan adalah negeri yang tersembunyi di
antara bukit-bukit yang hutannya betapa lebat. Dari kejauhan, Negeri Hujan
hanyalah tampak bagai lembah yang dipayungi segumpal awan yang tak henti-henti
menjatuhkan hujan. Pengelana itu mandapati Negeri Hujan setelah ia berjalan
menyisiri hutan dan bukit selama hampir dua minggu lamanya. Sebelum kemudian ia
mendapati negeri yang tak pernah kering itu di balik ilalang-ilalang menjulang
hampir lima meter tingginya.
Tak ada yang berbeda antara penduduk Negeri Hujan
dengan penduduk di negeri lain pada umumnya. Hanya saja, kata si pengelana,
kujamin kau tak akan menemukan hal apa pun yang berhubungan dengan kegiatan
jemur menjemur di sana. Tidak ada pakaian yang dijemur untuk dikeringkan. Tidak
ada ikan atau hasil panen yang dijemur di sana. Tidak ada sebab semua pastilah
akan basah.
Namun demikian, Negeri Hujan adalah negeri yang
damai, tentram dan tak pernah ada kegaduhan apa pun di sana. Semua penduduknya
selalu mampu menjaga ketenangan negeri itu dengan baik. Tak ada satu pun tindak
kejahatan yang terjadi di sana sebab hukum adat masih begitu dijaga oleh mereka.
Penduduk Negeri Hujan tahu betul bagaimana menjamu
tamu dengan baik. Seorang tetua sekaligus pemimpin di sana yang memperkenalkan
diri bernama Tarub, berkata kepada si pengelana, bila tamu haruslah dijamu
dengan baik. Sebab, bagaimanapun, siapa tahu tamu yang datang kali ini atau di
masa mendatang adalah seseorang yang betapa ditunggu-tunggu oleh penduduk
Negeri Hujan. Seseorang yang bisa menyelamatkan Negeri Hujan.
Menyelamatkan? Tanpa sadar kening si pengelana
mengernyit. “Apa dan siapa yang perlu diselamatkan? Bukankah negeri ini betapa
damai dan tentramnya?”
Si pemimpin itu tersenyum, lalu dengan lugas ia
berkata bila Negeri Hujan adalah negeri yang selalu hujan. Hujannya pun tak
melulu menderas. Kadang kala hujannya hanya gerimis di tengah terik, atau hanya
rinai di antara mendung. Dari pagi sampai malam, hujan selalu menitik, maka tak
heran tanah di negeri ini tak pernah kering. Tetapi bila hujannya sudah menderas,
maka tak ada penduduk Negeri Hujan yang berani pergi ke luar rumah. Semua akan
berada di dalam rumah, berlindung. Sebab bila hujan makin menderas maka petir
akan menggelegar, kilat akan menyambar-nyambar, dan suara gemuruh bagai tumpukan
kayu yang beradu dan terpelanting di sana-sini akan meruap memekakkan telinga.
Selain itu, meski tanah di Negeri Hujan tak pernah
kering lagi tandus, namun rupa-rupanya Negeri Hujan bukanlah negeri yang subur.
Tumbuhan-tumbuhan di Negeri Hujan rentan mati sebab tak kuasa selalu dihujani
tapi jarang terpapar sinar matahari. Sebab itu jarang ada yang mau bercocok
tanam di sini. Hewan ternak pun tak bisa dipastikan untuk selalu sehat di
tempat ini. Mereka rentan mati kedinginan atau sakit. Paling tidak lebih sering
terjangkit sakit flu.
“Karena itu, kami butuh penyelamat,” sela seorang
penduduk.
“Ya, kami butuh diselamatkan,” yang lain berkata.
“Apakah Anda orang yang ditakdirkan untuk
menyelamatkan kami?” kata yang lain bertanya.
Si pemimpin Tarub kemudian menenangkan para penduduk
yang menghadiri acara jamuan makan tersebut. Ia mendeham, lalu bertanya kepada
si pengelana dari manakah asalnya. Si pengelana menjawab bila ia berasal dari
selatan. Ia berkelana dengan menunggang kuda. Namun, sebelum memasuki hutan
tanpa diduga kudanya terperosok ke parit dan mengalami luka di beberapa bagian
tubuhnya. Kudanya tak dapat berjalan lagi. Maka terpaksa si pengelana
menyembelih kudanya sendiri sebagai bekal makanan, sebelum kemudian melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki menyisiri hutan seorang diri.
“Oh… ternyata dari selatan,” gumam si pemimimpin
Tarub, menghela napas. Nada bicaranya menyiratkan kekecewaan. Si pengelana yang
menyadari adanya kekecewaan yang tersirat pada wajah Tarub kemudian bertanya,
siapakah yang sebetulnya mereka tunggu. Seorang pemuda kemudian berkata bila
mereka menunggu seorang pengelana dari timur.
“Seorang pengelana dari timur yang menunggang unta!”
seru pemuda yang lain.
Menunggang unta? Si pengelana mengernyitkan
keningnya. Lelucon apa lagi ini? Mana ada seorang pengelana yang akan merentasi
hutan lebat dengan menunggang seekor unta?
“Lalu, apa yang kalian harapkan dari seorang
pengelana dari timur itu?” tanya si pengelana.
“Menghentikan hujan!” seru seseorang dari kejauhan.
“Ya, menghentikan hujan meski hanya sehari!” kata
yang lain.
“Kami ingin hujan berhenti!”
“Ya, hujan berhenti!”
Dan keadaan di balai pertemuan pun menjadi riuh
karena penduduk Negeri Hujan betapa mendambakan hujan untuk berhenti meski
sebentar.
“Dan bila berhasil menghentikan hujan di negeri kami
maka kami akan berikan mata air kami sebagai bayarannya,” kata pemimpin Tarub
di sela-sela keriuhan. Kemudian suasana pun mendadak hening sehening-heningnya
malam. Keriuhan yang semula meruap berubah menjadi bisikan-bisikan lamat-lamat.
Mereka membicarakan tentang mata air yang punya sejuta khasiat itu.
Negeri Hujan menyimpan sebuah mata air yang betapa
khasiatnya tak diragukan. Penduduk Negeri Hujan tak ada yang berusia senja,
semuanya berusia dan berwajah muda. Sekalipun kau berusaha maka tak akan kau
temukan orangtua yang hidup di sana, kata si pengelana kepadaku. Penduduk
Negeri Senja tidak ada yang berwajah maupun berfisik tua sebab semuanya meminum
air yang berasal dari mata air yang memiliki beribu khasiat di negeri mereka.
Mata air itu terletak di utara Negeri Hujan. Sedikit
menaiki perbukitan, ada sebuah perigi yang dalamnya tak lebih dari limapuluh
sentimeter di dekat sebuah batu besar. Di atas perigi itu akan selalu ada
pelangi yang terlukis. Itulah sumber mata air yang betapa berkhasiat membuat
siapa pun yang meminumnya mampu untuk tetap muda dan betapa menawan.
“Dan apa kau meminumnya?” tanyaku memotong kisahnya.
Si pengelana justru terkekeh geli. Sambil menggeleng
ia berkata, “Aku belum sempat meminumnya. Lagi pula aku tak percaya hal-hal tak
masuk akal semacam itu.”
Aku mengangguk-angguk paham. Lagi pula, andaikan ia
mengatakan ikut meminumnya maka bisa kupastikan bila apa yang dikisahkannya ini
hanyalah bualan belaka. Sebab wajahnya betapa kusam dan sama sekali tak
menawan. Tapi bila apa yang dikisahkannya itu ada benarnya, mungkin ada baiknya
bila ia meminum air itu untuk menyelamatkan wajahnya.
Sebagaimana yang dikatakan penduduk Negeri Hujan,
tentu saja mereka hanya akan memberikan mata air milik mereka kepada seseorang
yang bisa menghentikan hujan di sana. Dan sebab dulu si pengelana pernah
mempejari mantra menghentikan hujan―dulu ia pernah ingin menjadi pawang hujan―maka
ia pun mencoba untuk melakukannya lagi. Namun, sayangnya, ia hanya mampu
sedikit mengingat rapalan mantra-mantra untuk menghentikan hujan. Sebelum
akhirnya ia pun menyerah untuk melakukannya. Ia pun pergi dari Negeri Hujan
setelahnya untuk melanjutkan perjalanannya, sebelum kemudian berhenti di sebuah
desa dan menceritakan pengalamannya selama berada di Negeri Hujan.
“Jadi, kau tidak sempat mencoba mata air itu?”
tanyaku penasaran.
Pengelana itu menggeleng. “Tapi kalau kau mau
mencobanya, silakan.” Lelaki itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya yang
terbuat dari semacam karung goni dan menaruh benda itu di atas meja di
hadapanku. Sebotol kecil air. Ya, ia menaruh sebotol kecil air entah apa.
“Apa ini?” tanyaku begitu ia letakan sebotol air di
atas meja. Sambil tersenyum seolah hendak menyeringai, lelaki itu kemudian
berkata bila itu adalah mata air dari Negeri Hujan yang dipercaya berkhasiat.
Sambil mengernyit, aku bertanya dari mana ia bisa mendapatkannya.
“Aku mencurinya,” kata lelaki itu terkekeh. “Hanya
satu botol ini saja,” katanya lagi.
Sebab merasa sedikit aneh, maka aku pun bertanya
untuk apa ia menunjukkan air itu kepadaku. Daripada menunjukkannya kepadaku, kenapa
air itu tidak langsung diminumnya saja. Lagi pula, air itu terlihat tak ada
bedanya dengan air mineral kemasan yang biasa dijual di warung-warung.
Tetapi, lelaki itu justru terkekeh dan berkata bila
ia tidak minum hasil curian. “Aku juga tidak tahu apakah khasiatnya masih akan
sama bila sudah dicuri begitu,” katanya lagi.
Kupikir orang ini sedikit aneh. Dan entah mengapa,
seketika aku begitu menyesal karena sudah bersedia mengorbankan banyak waktuku
untuk mendengarkan kisahnya, yang entah benar atau hanya bualannya saja.
Dan selepas aku menandaskan gelas kopiku yang kedua
malam itu, lelaki berpakaian serba lusuh itu sudah lebih dulu menghilang entah
ke mana. Kecuali botol kecil air yang teronggok di atas meja, tak ada sedikit
pun jejak yang ditinggalkannya usai ia berdongeng. Bahkan aroma tubuhnya yang
menyerupai bau sapi itu hilang tak terjejak. Dan sebab aku tak begitu peduli
pada sebotol air itu, maka sambil membayar kopi kukatakan kepada pemilik
warung―Khasim―bahwa ia bisa memiliki air yang ada di botol itu.
“Air itu punya khasiat membuatmu lebih muda dan
menawan,” gurauku kepadanya sebelum kemudian beranjak pergi menunaikan tugas di
tengah malam.
Tetapi, esok harinya, saat rembang petang, aku tak
mendapati Khasim maupun warungnya masih berada di sana. Aku datang dan warung kopi
itu sudah dalam keadaan tutup. Sial! apa Khasim bangkrut karena terlalu banyak orang
yang berhutang di warungnya? Padahal aku sudah mengurangi utangku kepadanya.
Tetapi, sepertinya bukan itu persoalannya.
Ketika aku memutuskan bertanya ke pemilik warung
makan di seberang jalan, katanya si Khasim sudah tidak lagi berjualan karena ia
sudah menikah dengan wanita kaya dari kota. “Janda kaya! Sepertinya,” kata
pemilik warung makan itu sambil mendelik, matanya menyala-nyala seolah
menceritakan sebuah keajaiban.
Tetapi memang itu sebuah keajaiban. Apalagi namanya
kalau bukan keajaiban bila nasib seseorang bisa berubah sebegitu beruntungnya hanya
dalam semalam? Dan ketika aku termenung demikian, si pemilik warung makan itu melanjutkan,
si Khasim seperti habis dari dukun. Mungkin ia mengenakan semacam rajah, karena
tadi wajah si Khasim tampak betapa berubah menjadi tampan setampan bintang film
Hollywood dan segala yang melihatnya pasti akan terpesona. Bahkan si pemilik
warung yang sudah berpipi kempot itu pun mengaku rela dijadikan bini kedua si
Khasim.
“Begitulah sampai seorang janda kaya mengalami
kempes ban dan dia berhenti di warung Khasim tadi siang. Lalu perempuan itu terpesona
pada ketampanannya dan mengajaknya menikah dan tinggal di kota,” kata si
pemilik warung makan dengan mata yang masih menyala-nyala.
Saat mendengar kesaksian itu kepalaku tak bisa
berpikir jernih. Yang terlintas di benakku hanyalah, aku lupa menanyakan di
manakah letak Negeri Hujan itu berada. Sebab barangkali aku bisa membawa serta
pawang hujan ke sana sebelum kemudian bisa mendapatkan mata airnya yang
berkhasiat itu. ***
Bekasi, 26 Maret 2016
Catatan kaki: 1) Cerpen Seno Gumira Ajidarma, Matahari Tidak Pernah Terbenam di Negeri
Senja
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusArtikel bagus, menarik dan bermanfaat...
BalasHapusuntuk Training ISO bisa menghubungi:
Training ISO
(FR)
kelinci99
BalasHapusTogel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny