![]() |
Gambar: sejarahri.com |
Langit Desember di hari Jum’at pagi, tanggal 11 tepatnya,
sangat meneduhkan. Saya masih ingat bagaimana rutinitas, yang terbilang biasa
ini, berlangsung dalam hidup saya; bangun pagi dan bergegas pergi bekerja. Saya
mengendarai motor, melewati rute yang sudah begitu familiar; menyebrangi rel
kereta tanpa palang pintu, melintasi jalur di pinggiran Kanal Banjir Timur, dan
bertemu dengan lampu lalulintas sebelum kemudian berkelok ke kiri. Sesampai di
kantor, saya lekas mengisi absen dan menuju meja.
Barangkali, kegiatan yang sering saya lakukan ketika pertama
kali menyalakan komputer akan sama seperti yang dilakukan manusia di zaman
digitalisasi ini; tanpa menghiraukan hal lain saya langsung membuka google
chrome, lalu segera membuka tiga laman sekaligus dengan tab yang berbeda, yakni email, facebook dan twitter. Tak ada hal
menarik ketika saya mengecek email―sebab yang masuk hanya email promo
dari beberapa market place yang
pernah saya coba hampiri. Namun lain hal ketika saya membuka laman facebook.
Sebab saat itu saya langsung mendapati sebuah postingan, yang di-like oleh salah seorang teman saya,
muncul di beranda saya dengan judul yang menarik, “JFK Dibunuh, Sukarno Lengser, Freeport ‘pun Deal!” (Anda bisa baca di sini). Seketika ada
sesuatu yang berkelebat di kepala saya ketika membaca judulnya. Apalagi foto hitam-putih
yang turut ditampilkan oleh postingan tersebut menampakkan sosok Soekarno yang
tengah berjalan dengan John F. Kennedy dan keduanya menyunggingkan senyum yang
begitu hangat. Intuisi saya pun dengan lekas menyambar.
Saya―mungkin Anda juga―masih begitu hangat dan akrab pada
kasus pencatutan nama dalam urusan kontrak PT Freeport Indonesia (FI) yang
menjadi sorotan utama pada pelbagai media massa belakangan ini. Kasus yang bermula
dari pengaduan Menteri ESDM Sudirman Said kepada Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD), perihal pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam perpanjangan kontrak
PT Freeport Indonesia yang dilakukan oleh Ketua DPR Setya Novanto. Pada kasus
tersebut juga menyeret beberapa nama seperti seorang pengusaha Muhammad Riza
Chalid dan Presiden Direktur PT FI Maroef Sjamsoeddin.
Mengingat kasus tersebut, tentu postingan dengan judul “JFK Dibunuh, Sukarno Lengser, Freeport ‘pun
Deal!” sangat menarik minat saya seketika. Apalagi, melihat dari judulnya,
membuat saya segera beranggapan jika ada sebuah konspirasi yang lahir antara masuknya
Freeport Indonesia dengan kematian JFK dan lengsernya Soekarno. Entahlah,
awalnya saya hanya menganggap itu sebagai hipotesis asal-asalan belaka.
Tetapi, ketika saya membaca artikel tersebut, saya pun mulai
percaya jika hipotesis asal-asalan itu tidak seutuhnya salah. Bahkan, saya
yakin jika memang ada konspirasi yang terjadi di negeri ini setelah membaca versi
artikel lebih lengkap (yang juga dijadikan sumber oleh artikel sebelumnya),
yakni dengan judul “JFK, Indonesia, CIA
& Freeport Sulphur”, yang pernah ditulis oleh Lisa Pease dan dimuat
pertama kali di Majalah Probe pada 1996. Yang juga tersimpan di Arsip Nasional
Washington DC. (Baca versi terjemahan tim sejarahri.com di sini)
Tentu hasrat saya pun semakin terpanggil untuk tahu lebih
dalam soal Freeport dan Indonesia ketika mendapati judul―yang menurut saya―sangat-sangat menarik dan penuh
enigma itu. Tentu pertanyaan yang muncul di benak saya adalah, apa hubungan JFK
dan CIA pada Indonesia dan Freeport? Dan setelah saya membaca artikel tersebut
yang sudah diterjemahkan versi sejarahri.com hingga tuntas―dengan mengorbankan waktu kerja―saya
semakin yakin jika catatan sejarah memang bukanlah sesuatu yang percuma,
melainkan hal terpenting bagi suatu bangsa. Sebab dari catatan sejarahlah kita
bisa lebih mengenal dunia ini. Bahkan dari catatan sejarahlah kita bisa belajar
agar tak lagi mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan oleh para pendahulu.
Dari sejarah juga kita bisa tahu perjuangan apa yang mesti kita teruskan nanti.
Sebab itulah hasrat
saya tak lesap meski selesai membaca “JFK, Indonesia, CIA & Freeport
Sulphur” hingga tuntas. Bahkan justru semakin menjadi-jadi sebab hasrat
saya berganti ingin menuliskan sesuatu yang lebih ringkas mengenai apa yang
sudah saya dapati. Semata-mata agar siapa pun yang membaca tulisan saya ini
bisa lebih mudah memahami dan sudi untuk mengetahui salah satu risalah sejarah
negeri ini. Dan, menurut saya, mengingat kasus Freeport tengah menguak
belakangan ini, maka ini adalah waktu yang tepat bagi siapa pun untuk mencari
lebih jauh lagi catatan sejarah Freeport dan Indonesia.
Segala sesuatu akan
lebih baik bila dimulai dari awal. Sebab itu saya akan mulai membahas Freeport
dan Indonesia dari awal keduanya saling bersentuhan.
Freeport Sulphur sejatinya
mulai memasuki Indonesia sejak 1959. Meski belum bisa dikatakan masuk secara
resmi sebab belum aktif beroperasi, namun sejak itu Freeport sudah mampu
mengendus keberadaan tambang yang mampu mendatangkan keuntungan berlimpah bagi
siapa saja yang bisa memilikinya. Masuknya Freeport ke Indonesia sebetulnya
dipicu oleh nasib Freeport yang berada di ambang kebangkrutan ketika tambang
mereka di Kuba akan dinasionalisasi oleh Presiden Kuba yang baru Fidel Castro
pada 1960 kelak.
Agustus 1959, Direktur
Freeport dan insinyur tertinggi Forbes Wilson bertemu dengan Jan Van Gruisen,
Managing Director dari Perusahaan Kalimantan Timur (East Borneo Company). Pada
pertemuan tersebut Gruisen memberitahu perihal sebuah laporan yang ditulis oleh
Jean Jacques Dozy mengenai sebuah gunung yang disebut “Ertsberg” (Gunung
Tembaga) di Papua Nugini (yang sekarang dikenal Irian Barat) pada 1936. Laporan
tersebut rupanya telah tersembunyi selama bertahun-tahun di perpustakaan
Belanda selama serangan Nazi terjadi. Hal itu pun diendus oleh Wilson sebagai
angin segar untuk masa depan Freeport.
Wilson kemudian berkongsi
dengan East Borneo Company untuk berangkat menuju Papua Nugini demi melakukan
eksplorasi lebih lanjut. Wilson juga sempat menuliskan sebuah buku tentang
perjalanannya menuju Ertsberg dengan judul The
Conquest of Copper Mountain. Dan memang, apa yang didapati Wilson saat itu
di luar dugaannya sendiri. Sebab bukan hanya kandungan tembaga yang ada di
tanah Papua, melainkan perak bahkan emas!
Atas apa yang
didapatinya, yaitu adanya 13 hektar lahan tambang tembaga, perak dan emas
dengan kualitas istimewa, Wilson pun segera mengirim pesan dalam bentuk kode
untuk bisa segera diterima oleh President Freeport Bob Hills di New York.
Ekspedisinya pun berakhir pada Juli 1960.
Setelah mendapati
laporan Wilson, Dewan Freeport pun segera melakukan perhitungan. Lewat
konsultan pertambangan, Wilson pun mengonfirmasi perkiraan dari 13 juta ton
bijih di atas tanah dan 14 juta lain di bawah tanah untuk setiap 100 meter
kedalaman yang ada di Papua, didapatkan data penghitungan bila perusahaan sudah
akan balik modal hanya dalam waktu tiga tahun, sebelum kemudian bisa menuai
keuntungan yang fantastis.
Sejatinya, sepanjang
tahun 1949-1960 Irian Barat belum termasuk di dalam kedaulatan NKRI. Pasalnya, di
tahun 1945, satu bulan setelah Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara
merdeka, Inggris kembali mendaratkan militernya di Jakarta guna memulihkan
kembali pemerintahan kolonial Belanda. Perang pun kembali meletus selama 4
tahun lamanya, sebelum kemudian pada 1949 Belanda resmi menyerahkan kedaulatan
NKRI kembali dengan pengecualian satu wilayah kunci, yaitu Irian Jaya atau
Papua Barat.
Freeport sendiri sudah
memiliki hubungan positif dengan Belanda. Bahkan sejak memutuskan berkongsi
dengan East Borneo Company untuk melakukan eksplorasi di Papua Nugini hubungan
positif itu sudah terjalin. Namun, kondisi sulit justru ditemui oleh Freeport
kemudian. Tahun 1960 Papua menjadi membara. Lewat operasi militer bernama
Trikora, saat itu Soekarno berusaha merebut Papua dari tangan Belanda.
Pada artikel yang
dituliskan oleh Lisa Pease, disebutkan bila Wilson saat itu berusaha meminta
bantuan Presiden AS John Fitzgerald Kennedy. Namun, presiden AS saat itu
memiliki pandangan lain. John F. Kennedy justru lebih condong ke Indonesia.
“Jangan heran Soekarno
seperti begitu tidak menyukai kita. Dia harus duduk bersama dengan orang-orang
yang mencoba menggulingkan dia” – Presiden Kennedy, 1961.
Menapak tilas kembali
hubungan bilateral antara Indonesia dan AS di bawah John F. Kennedy. Seperti
yang saya dapati dari artikel Lisa Pease, bantuan yang ditawarkan oleh AS ke
Indonesia sebelum kepemimpinan JFK lebih banyak dalam bentuk dukungan militer
semata. Namun, JFK lebih memilih memberikan bantuan ekonomi pada Indonesia di
masanya. Saat itu, JFK juga tahu bila Soekarno lebih banyak mengambil bantuan
senjata dari Uni Soviet dan China. Namun, JFK mengerti bila hal itu dilakukan
Soekarno sebab ia membutuhkan bantuan, bukan karena ingin jatuh di bawah
kekuasaan komunis. Karena itu JFK ingin agar bantuan AS dapat mencegah
ketergantungan Soekarno pada pasokan dari negara-negara komunis.
Namun, masalah
mendesak yang dihadapi JFK saat itu adalah Irian Barat. Apalagi saat itu AS
merupakan sekutu kedua negara yang tengah memperebutkan Irian Barat. AS pun
merasa terjebak di posisinya saat itu. Namun, Belanda sudah mengambil sikap
tegas, Indonesia pun sudah menyiapkan pasukan militer untuk melawan. Soekarno
tahu bila penduduk asli Papua tidak ada harapan untuk membangun pemerintahan
sendiri. Maka AS pun harus segera mengambil sikap. Saat itu pilihan JFK pun sudah
jatuh untuk membantu Indonesia, maka AS pun mulai berupaya menekan Belanda dari
balik layar.
Salah satu hal yang
dilakukan oleh JFK untuk menekan Belanda adalah dengan mengirimkan adiknya Bob
Kennedy untuk meminta pemerintah Belanda agar tak lagi mempertahankan Papua.
JFK pun mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika Belanda masih
berupaya mempertahankan Irian Barat. Diancam demikian, Belanda pun menjadi
gentar. Pasalnya, saat itu Belanda sangat memerlukan bantuan dari AS untuk
membangun kembali negerinya yang sempat hancur setelah Perang Dunia II.
Setelah Belanda
menyerah, PBB pun menyerahkan Irian Barat sepenuhnya kepada Indonesa. Tetapi
dengan ketentuan, pada 1969 rakyat Irian Barat diberikan kesempatan untuk
memilih: apakah akan tetap dengan atau memisahkan diri dari Indonesia. JFK pun
menangkap momen tersebut dan menerbitkan Nota Keamanan Aksi Nasional (NSAM) 179
pada 16 Agustus 1962, bahwa AS ingin berperan dalam mempromosikan penyelesaian
ini.
Jatuhnya Irian Barat
ke Indonesia tak pelak membuat Freeport gigit jari. Kontrak Freeport bersama Belanda pun buyar seketika. Apalagi tak
ada harapan bagi Freeport untuk bekerjasama dengan Indonesia saat itu, karena
Soekarno selalu menolak perusahaan asing menancapkan kaki di Papua. Apalagi,
pada perusahaan minyak asing yang sudah terlanjur beroperasi di Riau saja,
Soekarno meminta jatah 60% untuk rakyat Indonesia.
Sejak itu, boleh
dikatakan bila Freeport punya dendam kesumat pada JFK dan pemerintahannya.
Pasalnya, Freeport gagal menguasai tambang 13 hektar di Papua karena langkah
yang sudah diambil oleh JFK. Kekesalan Freeport pun semakin bertambah ketika
mengetahui JFK akan menyiapkan paket bantuan ekonomi untuk Indonesia sebesar 11
juta dollar AS dengan melibatkan International Monetary Fund (IMF) dan Bank
Dunia. Selain itu, JFK juga sudah merencanakan kunjungan kenegaraan pertamanya
ke Indonesia pada Januari 1964. Tentu saja, rencana tersebut disambut hangat
oleh Soekarno.
Namun, sementara JFK
tengah menunjukkan dukungannya pada Soekarno, ada kekuatan lain yang berusaha mencegah
usahanya. Perbedaan pendapat publik di Senat AS pun bergolak: apakah AS akan
terus membantu Indonesia sementara PKI tetap kuat. Namun JFK tetap bertahan
pada posisinya. Ia tetap menyetujui paket bantuan khusus untuk Indonesia pada
19 November 1963.
Namun, sayangnya, tiga
hari berselang sebutir peluru menghentikan langkah JFK. Ia tewas terbunuh pada
22 September 1963. Kematiannya saat itu pun sangat menggemparkan dunia. Pengganti
JFK pun seketika merubah total kebijakan selanjutnya. Bantuan ke Indonesia pun
dibatalkan. Kelak, Indonesia pun semakin menjauh dari AS dan semakin harmonis
dengan Blok Timur yang bernuansa komunis.
Sementara itu,
Soekarno sangat terguncang oleh berita kematian JFK. Apalagi, baru saja JFK
berjanji akan berkunjung ke Indonesia pada Januari 1964. Dan menyambut hal itu,
Soekarno bahkan sudah membangun sebuah rumah tamu khusus di taman Istana demi
menyambut kedatangan JFK.
Dalam kisahnya pada
Cindy Adams―yang menuliskan autobiografi John
Fitzgerald Kennedy―Soekarno pernah
berkata:
“Aku mencintai JFK.
Dia mengerti saya. Aku telah merancang dan membangun sebuah rumah tamu khusus
di taman istana untuk JFK yang berjanji padaku bahwa ia akan datang ke sini dan
menjadi Presiden AS pertama yang melakukan kunjungan kenegaraan ke negara ini.”
Soekarno lalu terdiam sejenak, sebelum kembali berkata, “Sekarang dia tidak
akan datang.” Soekarno saat itu sangat berkeringat. Ia bahkan berulang kali
mengusap alis dan dadanya, lalu kembali berkata, “Katakan padaku, mengapa
mereka membunuh Kennedy?”
Saat itu Soekarno pun
mencatat dengan ironis bahwa persis pada hari dibunuhnya JFK, Kepala
Pengawalnya tengah berada di Washington untuk belajar bagaimana melindungi
presiden. Namun, melihat apa yang terjadi, ia tak optimis lagi.
Soekarno juga pernah
berkata pada Cindy Adams yang tertulis di dalam buku autobiografi JFK:
“Kennedy berpikiran
progresif. Ketika aku membicarakan masalah bantuan kami dia mengerti. Dia
setuju. Seandainya Presiden Kennedy masih hidup tentu kedua negara tak akan
bersebrangan sejauh ini.”
Sepeninggalan JFK,
kebijakan luar negeri AS memang benar-benar berubah dengan cepat. Donald Gibson
dalam bukunya yang berjudul Batting Wall
Street menuliskan, “Dalam kebijakan luar negeri, perubahan terjadi sangat
cepat dan sangat dramatis.” Gibson pun menguraikan 5 perubahan dari kebijakan
jangka pendek dan beberapa kebijakan jangka panjang yang mulai berlaku setelah
kematian JFK. Dan salah satu perubahan jangka pendek Johnson, Presiden AS yang
baru, adalah pembatalan paket bantuan untuk Indonesia yang sebelumnya sudah
disetujui JFK.
Pada artikel yang saya
baca itu pun tertulis jika seseorang di Freeport sangat senang dengan sikap
Johnson pada Indonesia, sehingga ia mendukung dijalankannya presidensial pada
1964.
Dan sebagaimana yang
dikatakan Soekarno pada Cindy Adams, sepeninggalan JFK hubungan Indonesia dan
AS pun semakin jauh. Soekarno yang merasa bila dirinya masih membutuhkan
bantuan pun mulai beralih ke Blok Timur untuk menanam hubungan lebih dekat pada
China dan PKI. Bahkan, tidak lama setelah Indonesia memperoleh kendali atas
Irian Barat pada 1963, Soekarno yang telah mengonsolidasikan kekuasaan
eksekutifnya mulai membuat langkah yang akan membuat putus asa bagi para
investor Barat. Soekarno saat itu mengambil alih hampir semua investasi asing
di Indonesia. Ia bahkan memerintahkan agen-agen AS, termasuk Agen Pembangunan
Internasional untuk menginggalkan Indonesia.
Namun, menurut saya
pribadi, rupanya upaya Soekarno untuk membangun kedaulatan Indonesia agar lebih
kuat dengan menjalin kedekatan pada pihak komunis―karena
sudah tidak ada lagi JFK yang lain―akhirnya
justru menjadi lubang bagi CIA untuk menggulingkan Soekarno. Gagasan saya ini
tentunya tidak datang begitu saja. Sebab dari sumber artikel yang saya baca―dan
beberapa catatan sejarah yang pernah saya dengar di televisi―CIA
dituding turut terlibat dalam salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah
Indonesia, yaitu G 30S PKI. Saya yakin Anda pasti sudah mengetahui bagaimana
peristiwa G 30S PKI terjadi, sebab sejarah itu pun sudah dipelajari di bangku
sekolah.
Dan setelah peristiwa
itu terjadi, salah satu tindakan yang tak kalah keji―yang
sampai sekarang bahkan kasusnya belum juga tuntas sebagai salah satu kasus
pelanggaran HAM dunia―dilakukan oleh Jendral
Soeharto yang diberikan wewenang penuh oleh Soekarno pada saat itu untuk
menyelesaikan perkara soal dugaan pemberontakan PKI di Indonesia. Dan jalan
yang dipilih oleh Soeharto saat itu yakni dengan membantai semua orang yang
memiliki hubungan dengan PKI tanpa terkecuali. Dan menurut saya, posisi
Soekarno sudah mulai goyah sejak peristiwa itu terjadi. Tepatnya, ketika ia menunjuk
langsung Jendral Soeharto untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Dan mengenai peristiwa
G 30S PKI, pada hari-hari selanjutnya sejarah sering menggambarkan: “Sebuah
kudeta komunis yang gagal pada 1965 menyebabkan pengambilalihan anti-komunis
oleh militer, di bawah pimpinan Jendral Suharto.” (Sumber: The Concise Columbia
Encyclopedia)
Tetapi, menurut yang
saya baca dari artikel Lisa Pease, sebetulnya ada sebuah artikel yang jauh
lebih kompleks mengusut peristiwa tersebut. Artikel luar biasa tersebut ditulis
oleh Peter Dale Scott yang diterbitkan dalam Jurnal Inggris Lobster (Fall,
1990). Pada artikel yang ditulisnya, ada sebuah kesaksian yang dikutipnya dari
seorang penulis yang mengutip seorang peneliti yang telah diberikan akses ke
file dari Kementerian Luar Negeri di Pakistan. File tersebut merupakan sebuah
surat dari seorang mantan duta besar yang melaporkan percakapan antara seorang
perwira intelijen Belanda dengan NATO, yang mengatakan:
“Indonesia akan jatuh
ke pangkuan Barat seperti sebuah apel busuk.” Badan-badan intelijen Barat, kata
dia, akan mengorganisir sebuah kudeta, “komunis prematur yang akan ditakdirkan
untuk gagal, sehingga memberikan kesempatan yang sah dan selamat datang kepada
tentara untuk menghancurkan komunis dan membuat Soekarno tawanan niat baik
tentara.” (Desember 1964)
Kemudian, ada juga
kutipan dari buku Scott:
“Yang aku tahu, dari
peristiwa Indonesia,” kata salah seorang mantan perwira intelijen, “adalah
bahwa CIA bergerilya di beberapa orang atas, dan bahwa hal-hal besar pecah dan
sangat menguntungkan, sejauh yang kita peduli.”
Ralph McGehee, seorang
veteran agen CIA, juga menyebutkan keterlibatan CIA dalam sebuah artikel
(sebagian masih disensor oleh CIA) yang diterbitkan dalam The Nation (April 11,
1981):
“Untuk menyembunyikan
perannya dalam pembantaian orang-orang yang tidak bersalah, CIA, pada tahun
1968, mengarang sebuah penjelasan palsu tentang apa yang terjadi, yang kemudian
diterbitkan oleh CIA sebagai sebuah buku berjudul Indonesia-1965: The Coup That Backfired.”
Pada artikel yang
ditulis oleh Lisa Pease, juga tertulis bila Scott mengutip berita kabel
(delegasi AS untuk PBB) yang menyatakan bahwa Freeport Sulphur telah mencapai
‘kesepakatan’ pendahuluan dengan para pejabat Indonesia mengenai Ertsberg pada
April 1965, sebelum adanya perjanjian sah.
Ada sebuah cerita
resmi yang tampak aneh bagi Wilson. Yakni pada awal November, hanya sebulan
setelah peristiwa G 30S PKI terjadi, pimpinan Freeport Langbourne Williams
memanggil Direktur Wilson ke rumahnya. Ia menanyakan apakah waktunya telah
datang untuk mengejar proyek mereka di Irian Barat. Wilson mengatakan jika ini
menarik, “Aku begitu kaget dan tidak tahu harus berkata apa.”
Lisa Pease dalam
tulisannya pun mempertanyakan, bagaimana Williams tahu, dengan begitu cepat, bahwa
rezim baru akan berkuasa? Padahal Soekarno masih Presiden Indonesia dan akan
tetap demikian secara resmi hingga 1967. Hanya orang dalam yang tahu dari awal
bahwa hari-hari terakhir Soekarno bisa dihitung dan kekuasaannya yang sudah melemah.
Wilson menjelaskan
bahwa Williams punya beberapa informasi pribadi dari dua eksekutif Texaco.
Perusahaan Long berhasil mempertahankan hubungan dekat dengan seorang pejabat
tinggi rezim Soekarno, Julius Tahija. Tahija inilah yang menjadi broker pertemuan antara Freeport dan
Ibnu Sutowo, Menteri Pertambangan dan Perminyakan kala itu. Majalah Fortune
mengatakan ini tentang Sutowo (Juli 1973):
Sebagai presiden direktur dari perusahaan minyak milik
pemerintah/negara: Pertamina, Letnan Jenderal Ibnu Sutowo menerima gaji hanya $
250 per bulan. Namun kehidupannya seperti pada skala pangeran kerajaan. Dia
bergerak di sekitar Jakarta dengan mobil pribadinya: Rolls-Royce Silver Cloud.
Dia telah membangun sebuah kompleks rumah-rumah beberapa keluarga yang begitu
besar. Mengingat banyaknya bukti bahwa CIA terlibat dalam operasi ini,
tampaknya mungkin bahwa Ibnu Sutowo sama bertindak sebagai penyalur untuk dana
mereka.
Bahkan setelah
jatuhnya Soekarno dari kekuasaan, Sutowo membangun sebuah perjanjian baru yang
memungkinkan perusahaan-perusahaan minyak untuk menjaga persentase keuntungan
secara substansial lebih besar untuk mereka. Dalam sebuah artikel berjudul Oil and Nationalism Mix Beautifully in
Indonesia (Juli, 1973), Fortune malabeli kesepakatan pasca-Soekarno sebagai
sesuatu yang sangat menguntungkan bagi perusahaan minyak.
Dan bila melihat dari
meruapnya kasus pencatutan nama Presiden yang diadukan oleh Menteri ESDM
Sudirman Said terhadap Ketua DPR Setya Novanto kepada MKD, bila dikaitkan
dengan catatan sejarah, maka bisa dipastikan jika masih ada mafia-mafia penerus
Julius Tahija dan Ibnu Sutowo di negeri ini yang rela menjual negaranya demi
keuntungan pribadi semata. Inilah, yang menurut saya, sebuah konspirasi tingkat
tinggi. Apalagi, yang berkongsi merupakan pejabat-pejabat tinggi di negeri ini
yang seolah menutup mata pada perjuangan para pendahulu, seperti Soekarno, yang
tak ingin menjual kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan dan keuntungan
pihak asing. Dan tren negatif tersebut boleh jadi akan terus berlanjut dari
generasi ke generasi bila tak dituntaskan segera.
Namun, menurut saya, masih ada harapan untuk kasus pencatutan
nama Presiden ini. Meski kenyataannya sidang MKD terkesan mulai runyam dan
berbelit-belit. Bahkan, Setya Novanto menuding jika perbuatan Presiden Direktur
PT FI Maroef Sjamsoeddin yang merekam setiap pembicaraannya merupakan sebuah tindakan
pidana. Tetapi, semoga saja dengan kasus ini, akan terbongkar siapa saja mafia
di balik kelanggengan Freeport di Indonesia selama ini. Dan, di kasus kali ini,
menurut saya, kunci untuk menguak segalanya ada pada Presiden Direktur PT FI
Maroef Sjamsoeddin yang sudah sangat sudi merekam pembicaraan Setya Novanto.
Freeport sendiri
pertamakali resmi beroperasi di Indonesia setelah Soekarno lengser dan
digantikan oleh Soeharto. Tepatnya di tahun 1967, saat Soeharto yang baru
dilantik segera mengesahkan UU Penanaman Modal Asing di Indonesia. Dan
perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani oleh Soeharto ialah
Freeport.
Ironisnya lagi, dari
kontrak tersebut Indonesia hanya mendapatkan jatah 1%. Kontra sekali dengan apa
yang diperjuangkan oleh Soekarno. Dan yang menjadi pertanyaan dalam benak saya
ketika mengetahui hal ini ialah, mengapa Soeharto begitu mudahnya
menandatangani kontrak Freeport, padahal jatah yang diberikan kepada Indonesia
pun hanya 1%?
Kemudian, sebagaimana
peraturan PBB sebelumnya, di tahun 1969 PBB pun menengahi pemungutan suara:
apakah rakyat Irian Barat ingin merdeka atau memutuskan untuk tetap berada di
dalam kedaulatan Indonesia? Dan sebagaimana yang dikira oleh Soekarno
sebelumnya (bila tidak ada harapan bagi penduduk asli Papua untuk membangun
pemerintahan sendiri), yang ditambah lagi dengan intimidasi barat dan kehadiran
viseral militer, seperti yang dituliskan oleh Lisa Pease di artikelnya, Irian akhirnya
‘memilih’ untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia. Dan Freeport menjadi makin
jelas posisinya. Bahkan, menurut saya, amat jelas sampai hari ini. Barangkali, Freeport adalah sebuah lambang dari kolonialisme modern.
Ah… andaikan boleh
meratapi sebuah tragedi, kalau saja JFK dan Soekarno masih ada, mungkin tak
akan ada Freeport di tanah Papua…
Nah, setelah membaca artikel ini, apa yang Anda pikirkan tentang Freeport, Indonesia dan Catatan Sejarah yang ada?
kelinci99
BalasHapusTogel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny