![]() |
Gambar: freepik.com |
“Lihatlah
sisi baiknya sekarang, Damar. Mereka mengecapku sebagai orang gila, bukan lagi sebagai
seorang pengangguran.”
Betapa Topan sangat menyukai rumah barunya ini melebihi
dari rasa sukanya terhadap rumahnya sendiri. Selain bisa terbebas dari pergunjingan
para tetangga, di sini ia bisa
hidup berleha-leha. Terlebih, di rumah barunya ini ia bisa melihat hal-hal yang
menakjubkan. Sesuatu yang belum pernah dilihatnya di tempat
lain atau bahkan, mungkin, di kehidupannya yang lain.
Betapa tak menakjubkannya jika
setiap hari aku bisa melihat seekor naga meliuk-liuk di
depanku, katanya sekali waktu kepada Damar
sambil terkagum-kagum, juga seorang bajak laut yang selalu berdiri setiap
harinya di atas batu besar itu. Belum lagi
seorang penyihir yang amat pemalas sehingga tak ada hal lain yang dikerjakannya
selain bersandar di bawah pohon sambil terus mengupil.
Sejujurnya, Topan
tak pernah sekalipun mengira bisa
menemukan semua hal menakjubkan itu di rumah barunya ini. Padahal, yang
diharapkannya dulu saat tinggal di sini hanyalah agar ia bisa menjalani hidup
dengan tenangnya. Terbebas dari pergunjungan para tetangga. Hanya itu. Tak
lebih.
―
“Bagaimana bisa aku mendapatkan
semua itu, Damar?” tanya Topan sekali waktu saat melarikan diri ke rumah Damar.
“Ketenangan dan kemakmuran. Aku hanya
ingin mendapatkan semua itu dalam hidupku yang singkat ini.”
“Kalau begitu segeralah
mencari pekerjaan,” jawab
Damar sedikit ketus.
Topan mendesah. Kemudian ia
menjatuhkan diri ke tempat tidur Damar yang tak beranjang. Matanya memandangi
langit-langit kamar Damar yang telah lusuh berkat rembesan air hujan.
“Kau tahu kan, mencari pekerjaan
di Jakarta itu susah. Aku sudah berusaha tapi belum juga ada perusahaan yang
sudi menerimaku. Padahal aku lahir di tanah ini, tapi mengapa mencari pekerjaan
di tanah kelahiranku saja susahnya bukan main?”
“Memang sudah berapa lama kau
menganggur?”
“Setahun.”
“Emm... lama juga, ya,” gumam
Damar.
Topan melenguh. “Apa baiknya aku
mati saja, ya?”
“Ya sudah. Mati saja sana.”
“Tapi, katanya kalau mati bunuh
diri akan masuk neraka. Yang aku mau adalah hidup enak seperti di surga, bukan
hidup tersiksa di neraka.”
Seketika hening. Damar hanya
bergeming memandang keluar dari jendela kamarnya yang terbuka. Sementara Topan
masih terpaku menatap langit-langit. Ia masih ingat betul bagaimana
hari-harinya amat terganggu semenjak ia resmi menyandang gelar sarjana, sebuah hal
yang amat diinginkan oleh para mahasiswa. Namun, sayangnya status
barunya itu justru membuatnya
menjadi bahan pergunjingan baru bagi para tetangga.
“Lihatlah anak Bu Inah itu. Sarjana
yang pengangguran,” cerca salah satu
tetangganya sekali waktu.
“Iya. Percuma sekolah
tinggi-tinggi, tapi ujung-ujungnya jadi pengangguran.”
“Eh, anaknya Bu Inah masih jadi pengangguran toh?
Kalo masih nganggur mending kerja di
toko saya aja. Lumayankan punya penjaga toko yang bergelar sarjana.”
Dan mereka
pun cekikikan.
Sesungguhnya, mereka tak pernah
tahu betapa Topan sudah berusaha dalam mencari pekerjaan. Tak
kurang dari seratus surat lamaran kerja ia
kirimkan ke berbagai alamat email perusahaan
yang membuka lowongan kerja. Dan sudah limapuluh
lima perusahaan yang bersedia mengundangnya untuk wawancara sejauh ini. Meskipun
pada akhirnya tak ada satu pun dari perusahaan itu yang kemudian mengundangnya
lagi untuk ke tahap selanjutnya. Negosiasi gaji, misalnya.
Topan tak pernah tahu mengapa ia
hanya selalu bisa sampai di tahap wawancara saja. Bahkan, sekalipun tahap
psikotes sudah lebih dulu ia lalui, namun pada akhirnya ia tetap gagal juga
ketika sampai di tahap wawancara. Padahal, ia sudah mengikuti petuah dari banyak
orang yang sudah lebih dulu bekerja; Berkatalah yang jujur saat diwawancara.
Jangan sekali-kali kau mengumbar kebohongan sebab mereka bisa tahu bila kau
sedang berbohong. Perusahaan tak suka mempekerjakan seorang pembohong.
Sejujurnya, Topan tak pernah berbohong
setiap kali diwawancara. Ia menjawab dengan penuh kejujuran di setiap poinnya.
Dan anehnya, proses wawancaranya selalu berhenti setiap kali si pewawancara
sampai pada pertanyaan yang hampir serupa.
“Anda pernah punya pengalaman
kerja sebelumnya?”
“Tidak ada.”
“Pengalaman organisasi?”
“Tidak ada.”
“Apa yang Anda ketahui tentang
perusahaan ini?”
“Tidak ada.”
“Tidak ada?”
“Ya, saya tidak tahu apa-apa
mengenai perusahaan ini.”
“Lalu, untuk apa Anda melamar di
perusahaan ini jika Anda tidak tahu apa-apa tentang perusahaan ini?”
“Apa pentingnya saya mengetahui
banyak tentang perusahaan ini? Toh, saya
hanya ingin segera mendapatkan pekerjaan. Karena itu saya ke
sini begitu tahu
ada lowongan pekerjaan di perusahaan ini.”
Dan setelah itulah Topan akan selalu
mendapatkan perlakuan yang serupa: Si Pewawancara akan segera menyudahi
perbincangan mereka, menyalami Topan, lalu mempersilakannya untuk keluar
ruangan tanpa pernah diantar. Dan setelah itu, Topan tak lagi mendapati kabar
lanjutan dari perusahaan tersebut.
Selalu begitu dan begitu. Topan benar-benar
tak mengerti apa yang salah dengan jawabannya selama
ini. Bukankah aku
sudah menjawab semua pertanyaan dengan sangat amat jujur, batinnya meratapi.
―
“Lihatlah sisi baiknya sekarang,
Damar. Mereka mengecapku sebagai orang gila, bukan lagi sebagai seorang
pengangguran,” ujar Topan sambil mengumbar senyumnya. Sebatang rokok masih
diapitnya di sela-sela jarinya. “Bukankah ideku ini brilliant, Damar? Mereka percaya jika aku benar-benar gila dan
membawaku ke tempat ini.”
Bukan idenya yang brilliant, malah idenya bisa dibilang
kelewat tolol! Tetapi tingkahnyalah yang luar biasa hebatnya
sehingga mampu meyakinkan pihak keluarga dan orang sekampung kalau ia sudah
benar-benar gila. Yang tak masuk akal lagi, ia bisa meyakinkan keluarganya
untuk membawanya ke panti rehabilitasi seperti ini, bukan malah mengungkungnya
di kamar paling belakang dengan kaki yang dirantai. Belum lagi, ia bisa
meyakinkan pihak rumah sakit jika ia benar-benar sudah tak waras lagi.
Tetapi bukankah dunia
memang sudah berisi kegilaan, pikir Damar.
Tak ada seorang pun yang benar-benar tahu mana orang yang waras dan mana yang hanya
mengaku waras, mana yang pura-pura gila dan mana yang benar-benar gila.
Entah bagaimana lelaki itu punya
ide—yang entah bisa dibilang—brilliant atau tolol seperti ini. Berpura-pura
jadi gila hanya demi terbebas dari bahan pergunjingan tetangga dan dari status ‘sarjana pengangguran’.
Semenjak masuk ke panti
rehabilitasi ini, Topan memang tak lagi dikenal sebagai sarjana pengangguran,
melainkan sarjana yang gila. Baginya, gelar yang disandangnya saat ini lebih
baik daripada saat ia masih dicap sebagai sarjana
pengangguran. Entahlah, tetapi bagi seorang sarjana
sepertinya menyandang status pengangguran itu
jelas hal yang sangat memalukan.
“Apa kau yakin tak ingin berhenti
berpura-pura gila dan keluar dari tempat ini?” bujuk Damar sekali lagi. Sudah
tak lagi terhitung berapa kali Damar menanyakan hal ini kepada Topan.
Topan menggeleng. Ia menyesap lagi
rokoknya yang tinggal setengah batang.
“Aku sudah nyaman tinggal di sini.”
“Tapi cobalah
perhatikan aku sekarang, Topan,” sela Damar.
“Sekarang aku adalah seorang manajer.
Sekarang aku bisa menerimamu sebagai karyawan di tempat kerjaku. Kau tak perlu
lagi tinggal di tempat seperti ini. Kau bisa mulai bekerja dan menjalani hidup
normal seperti orang lain kebanyakan.”
“Hidup normal?” Topan tergelak
hingga hampir-hampir terbatuk
dibuatnya. “Bagiku
inilah kehidupan normalku, Damar. Bukankah kau sudah tahu jika aku amat
mendambakan hidup yang tenang seperti ini?”
Damar menyesap rokoknya yang
sudah amat pendek, lalu menjatuhkannya ke lantai dan menginjaknya. “Memang
ketenangan apa yang kau dapatkan di tempat ini?”
“Pakaian, makanan, dan tempat
tinggal sudah disediakan untukku di tempat ini
dengan cuma-cuma. Jadi aku tak perlu memikirkan apa-apa lagi selain menikmati
setiap udara yang kuhirup. Belum lagi di sini aku bisa melihat banyak hal yang
menakjubkan. Nah, coba kau lihat di sebelah sana,” tunjuknya. “Tidakkah kau
lihat naga itu benar-benar ada? Itu. Itu buktinya!
Lalu, di sana. Coba kau lihat. Bajak
laut itu benar-benar ada! Dan di sebelah sana, ada penyihir yang amat malas.
Kerjaannya hanyalah mengupil saja seharian. Tidakkah semua
hal yang menakjubkan itu hanya bisa didapatkan di tempat ini?”
Damar mengernyitkan kening.
Sesungguhnya yang ia lihat sejak tadi hanyalah orang-orang yang berpakaian serupa
dengan Topan. Mereka hanya manusia biasa. Naga yang ditunjuk Topan tadi
bukanlah naga yang sebenarnya naga, melainkan seorang lelaki remaja yang
berlari-larian sambil membungkukkan tubuhnya dan merentangkan kedua tangannya jauh
ke depan. Lelaki itu memang berjalan sambil meliuk-liukkan tubuhnya. Tetapi tak
mirip naga. Bagi Damar lelaki itu justru lebih menyerupai belut sawah.
Lalu, seorang bajak laut yang
ditunjuk Topan pun hanyalah lelaki paruh baya yang berdiri pada sebuah pelantar
sambil terus bertolak pinggang. Bahkan lelaki itu selalu berseru soal Flying Dutchman dan dendam kesumatnya.
Dan untuk si penyihir? Damar hanya melihat perempuan paruh baya yang duduk
bersandar di bawah pohon mangga. Kerjaannya memang hanya
mengupil seharian. Tak lebih dan tak kurang. Tapi entah dari mana Topan bisa
menilai jika ia adalah seorang penyihir. Bahkan tongkat sihir atau sapu terbang
pun ia tak punya.
Jangan-jangan temanku ini sudah
setengah gila, pikir Damar mulai benar-benar cemas, atau
malah sudah benar-benar gila.
“Kenapa kau memandangiku seperti
itu?” sergah Topan yang mulai merasa tak nyaman dengan tatapan
Damar.
“Ah, tidak. Tidak apa. Aku
hanya...”
“Pasti kau sedang berpikir jika
aku ini benar-benar gila, kan?”
Damar membatu.
Topan tergelak. Ia menjatuhkan
rokoknya yang tersisa kurang dari
setengah batang, lalu
menginjaknya tanpa sungkan. “Tenanglah, Damar. Aku ini belum benar-benar
gila. Aku tahu bila mereka itu bukanlah seperti yang kukatakan tadi. Tak ada
naga di sini. Juga tak ada bajak laut maupun
penyihir. Yang ada hanya orang-orang sepertiku. Orang-orang gila!”
Damar masih bergeming. Topan
masih tergelak. Seorang perawat wanita melintas di dekat
mereka. Ia mengumbar senyumnya. Damar pun membalasnya.
“Ya sudah kalau begitu. Jika
memang kau masih ingin di sini, maka aku tak bisa memaksamu,”
ujar Damar menyerah.
Ia pun kemudian memutuskan untuk pamit. Tetapi, belum
sempat Damar berbalik
Topan sudah lebih
dulu menghentikan niatnya.
“Boleh
kuminta rokokmu sebatang lagi?”
pinta Topan tersenyum sipu.
Tanpa berpikir lama, Damar pun mengambil
bungkusan rokok dari saku calananya, lalu memberikannya kepada
sahabatnya itu. Ambillah semua, katanya
sambil melemparnya kepada Topan.
“Terima kasih, Damar. Kau memang
teman baikku.” Topan tersenyum lebar. Dan sebentar
kemudian Damar pun
berlalu
memunggungi Topan. Ia pun menghilang
setelah melewati pintu berjeruji besi itu.
Sementara itu, Topan masih amat
masyuk duduk di kursi anyaman dari bambu dan belum mengalihkan pandangannya
dari arah perginya Damar. Kasihan dia, gumamnya sambil menarik sebatang rokok
dari bungkusnya, coba kalau dia mau mengikuti ideku, pasti saat ini hidupnya
akan lebih tenang seperti hidupku. Sebentar kemudian, ia pun mencari-cari
keberadaan Si Naga.
“Hei naga! Kemarilah!” panggil
Topan begitu mendapati naga yang tengah meliuk-liuk di dekat Si Penyihir. “Aku
butuh api untuk merokok. Keluarkan sedikit apimu,”
pintanya kemudian.
Naga itu mendongak, lalu membuka
mulutnya. Sesaat kemudian menyemburlah api yang kemerahan dari sana. Apinya membumbung
tinggi, serupa api unggun pada sebuah acara perkemahan. Dengan hati-hati, seolah
takut ikut terbakar,
Topan pun menyulut ujung rokoknya ke api itu.
Setelah rokoknya menyala, Topan pun mengucapkan terima kasih dan meminta naga
itu untuk pergi.
Memang lebih enak hidup jadi
orang gila, gumamnya semringah seraya mengepulkan asap dari mulutnya penuh
kelegaan.***
Bekasi, 30 November 2014
Catatan: Cerpen ini juga pernah dimuat di sastramu.com
Setiap mendengar kisah Flying Dutchman ingetnya film spongebob :)
BalasHapusSaya kira endingnya topan terbakar api sang naga :)
cerpen yang menarik, trims sudah share
Terima Kasih juga karena sudah bersedia membaca :)
Hapuskelinci99
BalasHapusTogel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny