 |
(gambar: www.pinterest.com) |
Soluna
hitam itu berhenti tepat di depan sebuah rumah kala Rama menginjak pedal
remnya. Setelah menarik rem tangan, ia bergegas keluar, berjalan setengah
berlari menuju pintu belakang dengan memutari mobil. Bersamaan dengannya, Sekar
yang duduk di samping kursi kemudi pun bergegas keluar. Ia beralih ke pintu
belakang, membukanya, dan menuntun ibunya yang hendak turun dari mobil. Dan
ketika Rama─yang berniat ingin menuntunnya─baru saja mencekal lengan Ibu Sekar,
dengan serta merta perempuan paruh baya itu justru menampiknya. Bahkan ia terus
berlalu tanpa sekalipun mau menatapnya. Sekar sempat melempar pandangannya
kepada Rama saat itu juga. Sebuah tatapan yang menyiratkan penyesalan. Dan Rama
hanya membalasnya dengan sebuah senyum tipis. Seolah ia sedang memberikan
siyarat ‘tak apa’. Sambil terus mencekal lengan dan merangkul pundak ibunya,
Sekar pun menuntun ibunya masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, Rama memutuskan untuk menunggu Sekar di
sisi mobilnya. Berdiri sambil bersandar pada mobilnya. Matanya menatap lurus ke
depan. Tepat ke rumah yang tak terlalu besar dengan pagar teralis yang tingginya
hampir sedadanya. Pintu depannya tersingkap, memancarkan semburat keputihan dari
dalam yang kontras dengan lampu terasnya yang berpendar temaram.
Sepi.
Malam
telah larut dan hanya terdengar lamat-lamat parade para jangkrik yang mengerik.
Semilir angin sempat menerpanya. Menepi ke tengkuk Rama, membuatnya sedikit bergidik.
Tak berselang lama, Sekar pun kembali muncul dari pintu yang terbuka itu. Ia
berjalan menghampiri Rama yang telah menanti kehadirannya.
“Terima kasih ya, Rama. Kau sudah mau menjemput ibuku
lagi,” ujar Sekar begitu berdiri tepat di depan Rama. Sebelah tangannya
menyisihkan sisi rambutnya, yang kemudian diselipkannya ke belakang telinganya.
“Maaf soal tadi. Ibuku masih seperti itu kepadamu,” sambungnya tak enak hati seraya
sedikit menundukkan wajahnya.
“Tak
apa Sekar. Aku mengerti. Dulu kau pun begitu, kan?” sahut Rama tanpa sedikit
pun merasa terhina.