Penatnya Jakarta siang ini tak lantas
membuat empat anak manusia yang dijuluki empat serangkai ini untuk berhenti
menyelusuri hampir seluruh tempat yang ada di Jakarta. Saling bersahutannya
suara klakson kendaraan saat padatnya volume kendaraan yang mengisi jalan raya
serta menyengatnya panas matahari seperti sudah menjadi saudara bagi mereka
dalam berpetualang menjelajahi seluk beluk Kota Jakarta.
“Mau kemana lagi nih kita?” Jaka
yang memegang kemudi mobil mulai mempertanyakan tujuan mereka berempat yang sejak
tadi hanya berputar-putar di sekitaran Taman Makam Pahlawan, Kalibata. Mendengar
pertanyaan tersebut membuat ketiga temannya yang juga berada satu mobil
langsung termenung. Lebih tepatnya menjadi bingung.
“Ke pemancingan aja yuk!” Rini
memberikan suaranya.
“Lo mau ngeliat apaan di pemancingan
Rin? Ikan pesut lagi kawin?!” ledek Bumi yang sempat menengok ke Rini yang
duduk di bangku belakang.
Mendengar ucapan Bumi barusan membuat
Jaka dan Pertiwi spontan tertawa geli.
“Yeee! Katanya mau cari suasana
baru?” Rini manyun.
Pertiwi geleng-geleng kepala. “Aduh
Rin... Rin... Suasana baru sih suasana baru, tapi nggak ke pemancingan juga
kali!” Ujarnya yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah tawaan geli.
Rini mendengus kesal. “Yaudah sih...
gue kan cuma ngasih pendapat doang...” ujarnya dengan suara lirih. Mendengarnya
berbicara dengan suara seperti itu membuat ketiga temannya kembali tertawa
geli. Wajar saja mereka tertawa geli karena mereka baru saja mendengar suara
lirih layaknya orang yang ingin menangis dari seorang mahasiswi semester tujuh.
“Ya ampun... nggak usah nangis juga
kali Rin... Hahaha.” Jaka ngeledek. Mendengar ledekan Jaka membuat Rini
manyun-manyun sendiri sambil menggerutu tak jelas. Bumi dan Pertiwi hanya bisa
tersenyum menahan tawa.
“Udah... udah... mendingan kita ke
museum Fatmawati aja yuk!” Pertiwi ngasih saran.
“Yah! Ke situ lagi... ke situ
lagi... Bosen!” Bumi nyeletuk bete.
Pertiwi menghela napas. “Emang mau
kemana lagi? Elo dong kasih pendapat sekali-kali... Jangan bisanya cuma
nyalahin orang terus!” nada bicara Pertiwi mulai tinggi. Mendengar perkataan
dan nada bicara Pertiwi yang tinggi barusan membuat Bumi langsung merasa
seperti sedang dihardik.
“Nggak usah nyolot gitu kali mbak
ngomongnya!” sambar Bumi yang kesal tanpa menoleh sedikitpun ke Pertiwi yang
duduk tepat di belakangnya.
“Udah... udah... lo berdua jangan
berantem terus ah!” Jaka berusaha menengahi. “Ya udah kita ke musium Fatmawati
dulu sekarang. Nanti di sana kita omongin lagi mau kemana tujuan kita
selanjutnya. Oke!” Sarannya kepada teman-temannya.
Bumi dan Pertiwi yang sudah
sama-sama bete hanya manggut-manggut sekenanya saja. Tapi biar pun begitu
setidaknya mereka berdua sudah sama-sama setuju untuk menuju ke museum
Fatmawati. Kemudian mobil Avanza hitam yang sedang melintas di aspal jalanan
Kalibata itu pun langsung menuju ke museum Fatmawati.
Sepanjang perjalanan hanya lagu-lagu
yang terputar di radio tape saja yang
terdengar di dalam mobil yang sedang melintas di jalan Tol dalam kota ini. Bumi
dan Pertiwi tak saling melontarkan sepatah kata pun sejak pertengkaran tadi,
sedangkan Rini sudah terlihat tertidur pulas di jok belakang dengan mulut yang
sedikit terbuka. Air liur juga mulai nampak sedikit keluar dari mulutnya. Hiih!
Sepinya suasana dalam mobil membuat Jaka
seperti sedang mengemudikan mobil jenazah, karena tak ada satu pun yang
mengajaknya untuk berbicara. Sebenarnya, Jaka sudah mulai kesal juga dengan
sikap Bumi dan Pertiwi yang selalu saja bertengkar hanya karena masalah kecil.
Mereka berdua memang sering terlibat adu mulut dan perselisihan kecil. Saling
mengadu argumen dan berusaha mempertahankan paradigma dan ideologi
masing-masing seakan-akan telah menjadi bumbu pertemanan yang ada di antara
mereka berdua selama ini.
Setibanya di museum Fatmawati mereka
langsung mengelilingi halaman dan gedung museum yang sebenarnya sudah
berkali-kali mereka kunjungi. Begitu seringnya mereka mendatangi tempat ini
hingga mereka pun sudah khatam betul bagian museum mana yang cat temboknya sudah
mulai pudar dan terlihat mengelupas.
“Bosen juga ya kalo gini-gini
terus...” Bumi yang lagi asik melihat-lihat hasil jepretan kamera Canon
650D-nya tiba-tiba saja nyeletuk, membuat perhatian ketiga temannya langsung
teralihkan kepadanya.
“Iya juga sih... gue juga ngerasa
bete...” Rini nambahin.
“Iya. Gue juga...” Pertiwi menghela
napas sejenak. “Gue kangen sama suasana di Kawah Putih...” lanjutnya sambil
memandangi langit yang saat itu terlihat biru tanpa adanya awan yang menutupi. Di
balik suara bising kendaraan yang lalu lalang dan suara bising orang-orang di
sekitar mereka, suasana tiba-tiba saja menjadi hening di antara mereka
berempat. Sepertinya mereka baru saja menemukan masalah baru yang harus segera
dicari jalan keluarnya.
“Kayaknya kita harus pergi ke luar
pulau nih.” Jaka yang lagi asik ngotak-ngatik tabnya mulai buka omongan.
Bumi mengkerutkan keningnya. “Maksud
lo kita harus liburan ke tempat baru gitu?”
Jaka mengangguk pelan.
Memang mereka yang sudah terbilang
penggemar traveling ini sudah
menjelajahi hampir seluruh lokasi wisata yang ada di pulau Jawa. Seperti Lawang
Sewu, Gedung Sate, Borobudur, Green Canyon, Bromo, Kawah Putih, hingga
kepulauan Seribu, dan pantai Ancol pun juga sudah mereka jelajahi seluruhnya.
Tapi mereka sama sekali belum pernah pergi mencari panorama lain di luar pulau
Jawa. Bahkan pergi ke Bali pun mereka berempat belum pernah sama sekali. Bukan
karena tak mampu, tapi bagi mereka Bali sudah terlalu mainstream untuk dijadikan sebagai tujuan berlibur. Lagipula masih
banyak tempat-tempat lain yang belum banyak terjamah oleh tangan manusia yang pastinya
memiliki pemandangan yang sangat indah dan menawan di negeri tercinta ini.
Mereka pun mulai mendiskusikan
kemana mereka akan pergi. Mengingat mereka berempat ini masih mahasiswa jadi,
mereka tidak akan pergi ke tempat-tempat yang butuh budget besar untuk mengunjunginya, seperti harus pergi ke Raja
Ampat yang ada di Papua. Mereka berdiskusi cukup lama untuk menentukan kemana
tujuan mereka akan pergi, itu karena dalam diskusi mereka berempat ada
perdebatan dua anak manusia yang sepertinya tak ingin saling mengalah. Yap! Siapa
lagi kalau bukan Bumi dan Pertiwi yang saling mengadu argumen untuk
mempertahankan perspektif masing-masing dalam menentukan tempat yang akan mereka
tuju.
Bumi yang berusaha mempertahankan
ideologinya jika liburan itu tak harus pergi ke pantai, puncak gunung, atau ke
tempat-tempat yang terbilang mewah dan membutuhkan budget besar untuk pergi ke sana. Baginya selama sebuah tempat
dikunjungi bersama sahabat maka itu akan menjadi sebuah tempat yang
menyenangkan. Meskipun harus berlibur mengunjungi museum-museum yang selalu
identik dengan kuno, bosan, dan tak menyenangkan, tapi jika pergi bersama
sahabat maka itu akan menjadi tempat yang menyenangkan. Lain dengan Pertiwi
yang menganggap jika sebuah liburan itu haruslah mengunjungi tempat-tempat yang
menyuguhkan sebuah panorama yang memang sulit untuk didapat, karena tempat yang
tak memiliki hal semacam itu tak akan memberikan kesan apapun terhadap pengunjungnya.
Maka, wajar baginya jika harus rela merogoh isi dompet untuk pergi ke tempat
seperti itu. Baginya mendapatkan sebuah kesan yang mendalam adalah alasan
seseorang mengunjungi suatu tempat untuk dijadikan destinasi liburan. Dan
karena ideologi-ideologi antara mereka berdua yang ingin dipertahankan itulah
yang membuat Jaka dan Rini mendadak menjadi peserta setia dalam kelas debat
terbuka yang selau dibuat oleh Bumi dan Pertiwi.
“Gue ada ide!” tiba-tiba aja Jaka
yang lagi ngotak-ngatik tabnya berteriak membuat perhatian ketiga temannya
langsung teralihkan padanya. “Gimana kalo kita ikut paket liburan kayak gini?”
Jaka pun memberikan tabnya kepada ketiga temannya.
Ekspresi yang sama langsung
ditunjukan oleh ketiga temannya begitu membaca sebuah paket liburan yang
tertera di layar tabnya Jaka. Ketiganya sama-sama mengerutkan keningnya dan
menggumam penuh tanda tanya, “Bukittinggi?”
Jaka tersenyum lebar begitu ketiga
temannya melihat ke arahnya dengan tatapan bingung. Kemudian Jaka mulai
menjelaskan maksud dan tujuannya mengapa dia memilih pergi ke Bukittinggi. Dia
menganggap jika liburan kali ini haruslah memiliki tujuan yang lebih dari
liburan-liburan sebelumnya. Oleh karena itu, dia memilih paket liburan ke
Bukittinggi karena selain akan pergi ke tempat wisatanya yang belum pernah
dikunjungi sebelumnya, mereka juga akan mempelajari budaya masyarakat sekitar
yang pastinya akan menambah wawasan mereka tentang ragam budaya yang ada di
Indonesia.
“Dan gue yakin banget liburan kita
kali ini akan beda dari liburan sebelum-sebelumnya. Selain kita bisa nambah
wawasan, kita juga bisa melihat panorama baru dari tempat-tempat yang ada di
Bukittinggi!” Seru Jaka setelah panjang lebar menjelaskan maksud dan tujuannya
memilih paket liburan ke Bukittinggi dengan begitu semangat. “Gimana? Lo semua
setuju kan?” Jaka mulai memperhatikan satu persatu temannya dengan tatapan yang
berbinar-binar.
Mendengar penjelasan Jaka membuat
Bumi langsung mengalihkan pandangannya ke langit biru. Pertiwi juga terlihat
mulai mengetuk-ngetukan jari telunjuknya ke dagunya sembari menurunkan
pandangannya ke bawah, tepatnya di antara kakinya.
“Gue setuju!” Rini menjawab dengan
lantang. Jaka pun langsung tersenyum simpul begitu mendengar jawaban Rini yang
terdengar bersemangat dan penuh keyakinan. Setelah itu Jaka kembali mengalihkan
pandangannya ke kedua temannya yang terlihat masih sedang berpikir.
Perlahan Pertiwi menegakan kepalanya
dan menatap Jaka. “Tapi lo harus janji kalo di sana kita bakal dapet kesan yang
lebih!” Ucap Pertiwi yang menunjuk ke arah Jaka dengan tatapan tajam sembari
memberikan penekanan pada kalimat terakhir yang di ucapkannya.
Jaka pun tersenyum sambil
menganggukan kepalanya memberikan isyarat jika dia sudah berjanji. Sekarang dia
hanya perlu mendengar jawaban dari satu orang temannya lagi yang sejak tadi
belum mengalihkan pandangannya dari langit biru dengan gumpalan-gumpalan awan
yang bergerak lambat di bawahnya.
Bumi menghela napas dan perlahan dia
mengalihkan pandangannya ke Jaka. “Kalo gue sih kemanapun perginya kita, selama
itu perginya bareng-bareng, ya gue akan ikut juga...” Lengkap sudah! Mendengar
jawaban dari Bumi membuat Jaka makin terlihat senang. Tak dapat dipungkiri
sebuah senyum lebar langsung menghiasi wajah Jaka yang terlihat agak
berkeringat karena panasnya udara siang itu.
“Kalo gitu untuk persiapan dari budget sampe fisik, kita akan pergi tiga
bulan lagi. Oke!”
Semuanya terlihat mengangguk
menyetujui saran dari Jaka. Akhirnya mereka pun sepakat untuk pergi ke Bukittingi
sebagai destinasi liburan mereka. Dan untuk mengisi waktu sembari mempersiapkan
budget mereka pun memutuskan untuk
sama-sama bekerja. Yap! Pergi berlibur adalah keinginan mereka sendiri jadi,
bagaimanapun mereka harus menggunakan uang mereka sendiri untuk memenuhi
keinginan mereka itu. Itulah sebuah prinsip yang sudah mereka tanam di dalam
pertemanan mereka selama ini yang pada akhirnya berhasil membangun pribadi yang
mandiri di dalam diri mereka masing-masing.
Selama tiga bulan mereka berempat bersusah
payah untuk mengatur waktu antara kuliah dengan pekerjaan lepas mereka. Bumi
yang memiliki hobi dan keahlian di bidang fotografer berhasil mengumpulkan
pundi-pundi rupiahnya dari hasil fotonya yang banyak terjual saat mengikuti
beberapa pameran foto yang diselenggarakan oleh kampusnya maupun dari komunitas
fotografernya. Jaka yang memiliki keahlian dan hobi menulis juga tak mau kalah
dengan Bumi, dia bekerja sebagai penulis berita olahraga freelance di salah satu situs media berita olahraga online yang
membuatnya bisa menyisihkan sebagian gajinya untuk keperluannya berlibur. Untuk
pertiwi, dia lebih memilih menggunakan keahliannya untuk mencari penghasilan
tambahan. Dia membuka jasa sebagai pengajar sekaligus membantu untuk mengolah
data hasil penelitian ke dalam SPSS (Statistical Product and Service Solution) bagi
teman-teman satu kampusnya maupun yang berada di luar kampusnya yang sedang sibuk
skirpsi. Sedangkan untuk Rini, dia lebih beruntung dibandingkan ketiga temannya
yang harus pintar membagi waktu antara kuliah dengan perkejaan mereka. Rini
lebih beruntung karena sudah hampir dua tahun dia dipercaya oleh orang tuanya
untuk mengelola cafe kecil-kecilan yang diberikan untuknya yang berada di
daerah Menteng, Jakarta Pusat. Di balik wajahnya yang terlihat biasa saja dan
tingkah lakunya yang terbilang bloon, ternyata Rini adalah seorang pembisnis
yang cakap. Hal itu bisa dilihat dari caranya mengelola cafe miliknya yang
terbilang cukup berhasil dan hal itu juga diakui oleh ketiga temannya yang
terbilang lebih pintar di bidang akademik dibandingkan dengan dirinya.
Waktu yang sudah dijanjikan pun
tiba. Tiga bulan sudah mereka berjuang untuk pergi menikmati liburan
bersama-sama, dan tepat hari ini mereka berempat telah menginjakan kaki di Bandara
Soekarno-Hatta untuk pergi ke Bukittinggi yang berada di Sumatra Barat. Mereka
telah mengambil paket liburan untuk 4 hari 3 malam. Jaka yang sudah lebih dulu
tiba di bandara sejak pukul 07.00 WIB tadi lebih memilih menunggu ketiga
temannya di Starbucks coffe yang berada di terminal 1A. Tak berselang lama Bumi
pun datang dan langsung menghampiri Jaka yang tampak sedang asik sendirian
bermain dengan tabnya. Mereka pun duduk bersama dan saling berbagi cerita pagi
itu sembari menunggu kedua temannya yang belum terlihat sedikitpun batang
hidungnya. Beberapa saat kemudian muncullah Rini dan kemudian Pertiwi yang mengikuti
di belakangnya. Lengkap sudah jumlah mereka yang ingin pergi berlibur kali ini.
Mereka terlihat sangat antusias pagi itu. Senyum dan tawa terlihat menghiasi
wajah mereka berempat. Rasa lelah setelah berusaha mencari pundi-pundi rupiah
untuk berlibur seperti sudah terhapus dari wajah mereka begitu saja. Yang
tersisa hanyalah wajah penuh kebahagiaan karena kini mereka akan pergi bersama untuk berlibur.
Pukul 08.15 WIB waktu keberangkatan
pun tiba. Mereka pun menaiki maskapai penerbangan Lion Air dengan rute
keberangkatan Jakarta-Padang. Perjalanan yang cukup singkat hanya sekitar satu
setengah jam itu mereka gunakan untuk beristirahat di dalam pesawat karena
setibanya di kota tujuan mereka akan langsung berpetualang mengunjungi
tempat-tempat yang ada di sekitar Bukittinggi. Sekitar pukul 09.35 WIB pesawat
mendarat di Bandara Internasional Minangkabau dengan ditemani rintik hujan yang
membuat landasan terlihat basah pagi itu. Setibanya di sana empat serangkai ini
langsung disambut oleh perwakilan dari biro perjalanan yang memberikan paket
liburan untuk mereka berempat. Di bawah awan yang terlihat abu-abu dan rintik
hujan yang sudah membasahi aspal jalanan pagi itu, mereka pun langsung pergi
menuju ke Lembah Anai sebagai lokasi pertama yang akan mereka kunjungi dengan
menggunakan sebuah mobil travel yang telah disediakan tentunya.
Selama perjalanan menuju Lembah Anai,
Rini dan Pertiwi sudah disibukan dengan sesi foto-foto di dalam mobil travel.
Layaknya perempuan-perempuan pada umumnya, mereka seperti ingin eksis tak
terkecuali sedang berada di dalam mobil sekalipun. Sementara itu Jaka dan Bumi
yang kebetulan duduk di belakang mereka berdua hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepala melihat tingkah dua cewek yang hanya bermodalkan kamera smartphone itu
sedang mencoba eksis dengan berbagai pose di ruang yang terbilang seadanya.
Tak terasa mereka pun tiba di Lembah
Anai dengan ditemani sang mentari yang dengan gagahnya menunjukan jati dirinya
sebagai penguasa langit. Awan mendung pun tak lagi terlihat di bawah langit
biru kota Padang pagi itu. Hanya langit biru dan awan putih yang bergerak
lambat menjadi teman sang mentari. Perhatian empat serangkai ini langsung
teralihkan begitu mendengar suara deruh air yang begitu derasnya berjatuhan
menghantam bebatuan di bawahnya yang terdengar begitu dekat ke telinga mereka.
Jelas saja, ternyata air terjun itu berada tepat di sebelah jalan yang
menghubungkan kota Padang dengan Bukittinggi. Bumi yang melihat ribuan liter
air tumpah dari ketinggian sekitar 35 meter yang menghantam air dan bebatuan di
bawahnya dengan cekatan langsung mengambil kamera Canon 650D miliknya untuk
mengabadikannya dalam sebuah gambar. Begitu mobil terparkir mereka berempat
langsung turun dari mobil dan berlari melewati beberapa anak tangga dan
beberapa gazebo sebelum akhirnya mereka berada tepat di bawah air terjun yang
berada di Lembah Anai tersebut.
Pemandangan indah langsung tersaji di hadapan
mereka saat itu. Sebuah air terjun yang dikelilingi oleh lebatnya hutan di
sekitar membuat suasana masih terasa begitu asri dan alami, meskipun lokasi air
terjun ini berada di pinggir jalan sekalipun. Tak jauh dari sana juga terlihat
perlintasan kereta api yang membentang dengan gagahnya berada tepat di atas
jalan yang menghubungkan Kota Padang dengan Bukittinggi tersebut. Kereta yang terlihat
melintasi jalur tersebut seolah-olah seperti muncul dari balik rindangnya
pepohonan dan kemudian menghilang kembali ditelan oleh ribuan pepohonan yang
membentang di sekitar lembah. Sungguh sebuah pemandangan yang belum pernah
dijumpai sebelumnya oleh keempat anak manusia ini. Air terjun yang berada di
Lembah Anai ini layaknya sebuah ucapan selamat datang yang diberikan Kota Padang
kepada mereka yang baru saja tiba pagi ini.
Sudah puas mereka bersenang-senang
di air terjun Lembah Anai dan mengabadikan berbagai moment dengan kamera,
mereka pun melanjutkan perjalanan ke Minang Village dan Desa Pandai Sikek. Inilah
tujuan mereka selanjutnya, mempelajari dan mencari informasi tentang budaya
Minang di Minang Village dan belajar kerajinan tangan yang terkenal dengan
tenun songketnya di Desa Pandai Sikek. Berlibur bukan berarti hanya
menghabiskan waktu dengan menikmati indahnya pemandangan di tempat tujuan, tapi
juga mempelajari kebudayaan dan kerajinan tangan masyarakat sekitar guna
menambah wawasan akan ragam kebudayaan di negeri tercinta ini. Lalu, sesuai
jadwal setelah mereka selesai mereka pun beristirahat untuk menikmati makan
siang di sebuah restoran. Menikmati air terjun, mempelajari budaya serta
kerajinan tangan, dan sekarang menikmati makan siang bersama sahabat, rasanya
liburan ini sudah begitu membekas di benak keempat anak manusia yang sedang
melakukan petualangan ini. Bayangan tentang kesenangan yang akan mereka lalui
bersama sudah tergambar di kepala mereka masing-masing saat mereka menikmati
sajian makan siang kala itu. Dan mereka mulai tak sabar untuk segera melanjutkan
perjalanan mereka ke Bukittinggi.
Selesai menikmati sajian makan siang
dan selesai beristirahat sejenak mereka pun kemudian melanjutkan perjalanan ke
Danau Maninjau. Sebuah bayangan tentang danau itu langsung terbayang di benak
mereka saat mendengar informasi mengenai pemandangan yang disuguhkan oleh Danau
Maninjau dari tour guide mereka.
Rasanya empat serangkai ini tak sabar lagi ingin melihat seperti apa panorama
yang akan disuguhkan oleh danau tersebut. Apakah akan seindah bayangan mereka
atau mungkin akan lebih indah dibandingkan dengan sebuah gambaran yang
diciptakan oleh imajinasi mereka sendiri.
Jernihnya air yang membentang luas
memantulkan warna biru langit dan putihnya awan yang tercampur indah membaur menjadi
satu dapat terlihat di permukaan Danau Maninjau siang itu. Sang mentari yang
tertutup awan cukup tebal membuat suasana siang itu sangatlah sejuk. Panorama
langit biru yang membentang luas ditemani awan putih yang tebal terlihat
seperti sedang memutari Danau Maninjau sehingga membentuk layaknya sebuah
lingkaran biru raksasa tepat di atas Danau Maninjau kala itu, menjadikan sebuah
pemandangan yang begitu langka untuk dilihat oleh mata. Bukit-bukit nan hijau
yang membentang mengitari sepanjang Danau Maninjau juga ikut ambil andil dalam memberikan
pertunjukan alam yang mempesona. Panorama-panorama indah ini tak pernah luput
dari lensa kamera milik Bumi untuk diabadikan olehnya. Kemahirannya melihat suatu
objek dari berbagai sudut pandang membuatnya bergerak kesana-kemari untuk
mengabadikan objek yang dilihatnya ke dalam sebuah gambar. Sungguh sebuah
keagungan Tuhan yang telah menciptakan alam seindah ini.
Hari semakin sore dan waktu mereka
berempat untuk mengagumi keindahan ini harus berhenti sejenak karena mereka
harus segera menuju ke hotel yang telah disiapkan di Bukittinggi sebagai tempat
mereka beristirahat. Sepanjang perjalanan menuju hotel mereka berempat masih di
sibukan dengan perbincangan tentang hal-hal yang baru saja mereka lewati
bersama. Nuansa bahagia serta rasa lelah seperti tercampur aduk menjadi satu
dengan tawa di wajah mereka berempat. Rasanya perjalanan ini akan menjadi sebuah
memori bahagia di kala mereka tua nanti dan tak lagi sanggup untuk berdiri.
28 September 2013. Perjalanan mereka
kini sudah memasuki hari ke tiga dan romansa perselisihan antara Pertiwi dan
Bumi mulai terasa kembali. Pertiwi mulai membanding-bandingkan keindahan alam
yang dia dapat selama perjalanan ini dengan tempat-tempat yang memberikan
panorama yang jauh lebih indah yang pernah dia kunjungi sebelumnya. Bagi Jaka
dan Rini itu adalah hal yang sudah biasa mereka dengar dan sudah bisa mereka
terima dari seorang Pertiwi, tapi tentu tidak bagi Bumi. Tentu saja hal itu
membuat Bumi merasa geram ketika mendengarnya. Bumi yang sudah terlanjur kesal
langsung melontarkan perkataan-perkataan yang memaki dan menghardik Pertiwi. Tentu
saja hal itu tak bisa diterima begitu saja oleh Pertiwi. Adu mulut pun tak
dapat terelakan. Mereka berdua saling memaki yang membuat pesona alam Danau
Singkarak tak lagi berarti bagi mereka berdua siang itu.
“Elo tuh emang siapa gue hah?!
Hidup, hidup gue! Yang ngatur ya gue! Hak gue dong buat bilang kalo tempat ini
emang nggak ada bagus-bagusnya!” Pertiwi berteriak keras ke arah Bumi.
Bumi menatap Pertiwi tajam.
Tangannya mengepal kencang hingga kukunya terasa menusuk kulit. “Elo denger ya!
Sikap lo yang kayak gini nggak akan bisa diterima sama orang banyak! Harusnya lo
tuh sadar wi! Nggak semua orang bisa kayak temen-temen lo ini! Bisa nerima lo
yang suka ngebanding-bandingin segala sesuatu hal!!” Bumi mengecam hingga urat
lehernya terlihat jelas menyembul di balik kulit coklatnya. Jika saja tubuhnya
tak sedang ditahan oleh Jaka yang memeganginya, mungkin saja dia sudah menampar
Pertiwi sejak tadi.
Pertiwi yang juga sudah terlanjur
kesal dengan Bumi mulai meronta-ronta berusaha melepaskan lengan kirinya yang
sejak tadi sudah digenggam erat oleh Rini. Namun karena tubuh Rini yang memang
lebih berisi dibandingkan Pertiwi membuatnya tak bisa melepaskan genggaman itu
dan hanya bisa meronta-ronta. “Heh! Elo denger ya!” sambar Pertiwi dengan mata
yang melotot sembari menunjuk wajah Bumi. “Gue nggak pernah minta elo untuk
jadi temen gue! Dan gue juga nggak pernah minta kalian semua untuk jadi temen
gue!” lanjutnya dengan suara yang begitu lantang. “Elo semua tuh payah tau
nggak! Payah!!!” teriaknya hingga suaranya benar-benar terdengar meninggi.
Mendengar ucapan Pertiwi barusan
membuat Jaka dan Rini seperti ditusuk tepat di jantung. Sakit! Rini pun melepaskan genggamannya dan membiarkan Pertiwi
melangkah pergi meninggalkan mereka bertiga.
“Pergi aja lo yang jauh! Pergi sana
ke laut kalo perlu! Ikan Hiu juga nggak bakal mau makan daging lo yang kotor!”
maki Bumi dengan lantangnya hingga suaranya terdengar menggelegar. Pertiwi
terus melangkahkan kakinya, pergi membelakangi mereka bertiga sambil
mengacungkan jari tengahnya tanpa menoleh sedikitpun kepada ketiga temannya.
Bumi yang sudah terlanjur tersulut emosi sempat meludah ke tanah sebagai luapan
terhadap sikap Pertiwi hari itu. Rini dan Jaka hanya bisa merangkul Bumi dan
mencoba menenangkannya dari luapan emosi berlebih yang sudah merasukinya.
“Udahlah men... Mungkin aja moodnya Tiwi lagi jelek, makannya dia
bisa ngomong gitu...” ucap Jaka seraya menepuk-nepuk pundak Bumi.
“Iya. Nanti juga dia bakal baikan
sendiri kok. Lo yang sabar ya...” Rini pun ikut menenangkan Bumi.
Bumi pun mulai mencoba mengontrol
emosinya dan berusaha mengatur kembali napasnya yang sempat terengah-engah
karena luapan emosinya barusan. “Gue cuma nggak nyangka aja bisa kenal sama
orang kayak gitu...” ujarnya seraya mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Ketenangan Danau Singkarak siang itu
harus terganggu dengan pertengkaran dua anak Adam dan Hawa yang sudah terlanjur
saling bermandikan makian dan hujatan. Rumput dan daun yang menari bersama
angin telah menjadi saksi pertengkaran dua sahabat di tepian jernihnya air
Danau Singkarak yang terlihat begitu tenang. Liburan mereka pun harus berakhir
dengan sebuah perselisihan. Bukan sebuah liburan yang di idam-idamkan tentunya.
Sebuah kesan memang telah didapatkan oleh Pertiwi dari liburan ini, tapi kesan
yang buruk pastinya. Dan sebuah pertengkaran juga telah menjadi guru dalam
sebuah pelajaran hidup bagi Bumi. Sebuah pelajaran yang sangat berharga
tentunya.
Sejak kejadian itu empat serangkai ini
tak lagi saling berkomunikasi. Sebuah tembok seperti telah menjadi pembatas di antara
mereka berempat. Ini bukan hanya tentang pertengkaran Bumi dan Pertiwi, tapi
juga tentang pertemanan yang selama ini telah mereka berempat jalani dan telah
mereka bentuk yang dengan mudahnya tercerai-berai begitu saja hanya karena sebuah
hal.
Hampir tiga minggu sudah mereka berempat tak
saling berkomunikasi. Hanya kenangan-kenangan pada sebuah memori yang tersisa
dari keempat anak ini untuk mengobati rasa rindu mereka. Pertengkaran memang
pernah terjadi di antara mereka, tapi sebuah ikatan kuat pertemanan tentunya
tak akan mudah terputus begitu saja.
20 November 2013. Lensa kamera Bumi
sudah sejak tadi sibuk mengejar objek yang ingin dia abadikan. Jemarinya sibuk
memutari lensa kamera untuk mencari fokus yang diinginkan. Sebuah pemandangan
yang bisa dilihat dari atas Candi Borobudur menjadi pilihan objek gambar yang ingin
diambil oleh Bumi hari itu. Rasanya tak akan puas jika hanya mengambil satu atau
dua gambar saja jika melihat pemandangan yang bisa didapat dari atas sini. Dia
pun mulai berjalan memutari candi untuk mencari objek baru. Seorang anak yang
dengan asiknya menjilati es krim di tengah ramainya kerumunan orang yang
berjalan di sekitar candi tak luput dari bidikan kameranya. Seorang turis mancanegara
dengan kulitnya yang putih, hidung yang mancung, dan postur tubuh yang
menjulang tinggi sedang terduduk berusaha membetulkan sendal jepitnya yang terputus
juga tak luput dari bidikan kameranya. Berbagai macam momen dan pemandangan
telah diambil oleh kameranya, tapi rasanya hal itu belum dapat memuaskan
dirinya. Seperti ada lubang di dalam hatinya yang terbuka lebar. Dan dia baru
menyadari hal yang hilang itu ketika ada sekelompok remaja yang melintas di depannya
sambil tertawa lepas dengan wajah yang bahagia mengiringi setiap langkah
mereka. Ya, hal yang hilang itu adalah pertemanan. Dia rindu akan teman-temannya,
dia rindu akan ide brilliant dari
Jaka, dia juga rindu dengan pemikiran Rini yang aneh, bahkan dia juga rindu
akan perdebatannya dengan Pertiwi.
Semilir angin yang membasuhi
tubuhnya dengan sejuknya udara sore itu membuatnya kembali menyesali dengan apa
yang telah terjadi padanya dan Pertiwi. Pertengkaran itu tak seharusnya terjadi
jika saja dia lebih bisa mengontrol emosinya dan bisa menerima sikap dari
Pertiwi seperti halnya Jaka dan Rini. Untuk mengubah sikap dan jalan pikir
seseorang memang memiliki jalan dan metode pendekatan yang berbeda, dan hal itu
lah yang seharusnya dia pikirkan terhadap Pertiwi bukan malah memakinya dan
memaksakan ideologinya untuk diterima oleh Pertiwi.
Bumi kemudian menghela napas panjang
sambil tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya ketika mengingat kembali
kebodohan yang pernah dilakukannya itu. Hari sudah mulai sore dan sekiranya
waktunya untuk meninggalkan tempat bersejarah ini sudah tiba, namun belum genap
kakinya melangkah perhatiannya langsung teralihkan oleh banyaknya stupa-stupa
yang mengitari candi. Dia teringat akan sebuah mitos jika seseorang dapat
menyentuh arca buddha yang terdapat di dalam stupa dengan hati yang bersih maka
keinginannya bisa tercapai. Dia pun kemudian melangkahkan kakinya mendekati
salah satu stupa. Dia julurkan tangan kanannya ke dalam stupa hingga telapak
tangannya dapat merasakan kasarnya permukaan batu yang berbentuk arca buddha di
dalamnya. Sejenak dia pun memejamkan matanya dan kemudian mengatakan keinginan
terbesarnya di dalam hatinya. Bayang-bayang ketiga temannya seketika memenuhi
sanubarinya begitu dia pejamkan kedua matanya di antara stupa-stupa Borobudur.
22 November 2013. Dinginnya udara bercampur
dengan menyengatnya aroma belerang yang menusuk hidung menjadikan Kawah Putih
sebagai tempat yang memiliki kesan tersendiri bagi Pertiwi. Tanahnya yang
tercampur belerang sehingga tampak berwarna putih, serta airnya yang berwarna
putih kehijauan menjadikan tempat ini seolah-olah akan memberikan kesan
mendalam bagi siapa saja yang pernah mengunjunginya. Ditemani tebalnya jaket
yang dia kenakan saat itu, dia berjalan melewati beberapa anak tangga dengan
banyaknya pedagang makanan dan oleh-oleh di sisi kanan dan kirinya. Sepanjang
kakinya melangkah dia selalu melihat keceriaan dan tawa di wajah setiap orang
yang berjalan beriringan yang tak sengaja berpapasan dengannya. Rasa rindu
kembali mencuat di dalam hatinya. Kerinduan akan senyuman dan tawa yang
diberikan oleh ketiga temannya, bijaknya Jaka, lucunya Rini, bahkan dia juga rindu
dengan rasa jengkel yang selalu dibuat oleh Bumi. Rasa rindu yang dia rasakan
layaknya saraf yang memenuhi otaknya, sulit untuk dihilangkan bahkan untuk dilupakan
begitu saja. Dia pun sempat menyesali kebodohannya yang selalu membanding-bandingkan
segala sesuatu hal, termasuk keindahan alam. Dia baru menyadari jika semua hal memang
memiliki sebuah kesan tersendiri bagi seorang manusia, tak terkecuali keindahan
yang alam berikan. Dia pun sempat membenarkan perkataan Bumi yang pernah
ditujukan terhadapnya bahwa tak akan ada seorang pun yang bisa menerima dirinya
jika dia selalu membanding-bandingkan segala sesuatu hal. Tuhan telah
menciptakan hal yang berbeda-beda sesuai dengan porsinya sendiri-sendiri, maka
wajar jika setiap hal selalu memiliki sebuah perbedaan. Beragamnya suku dan
budaya di negeri ini adalah salah satu contoh dari sebuah perbedaan yang Tuhan
berikan kepada alam semesta ini.
Bila mengingat kembali kebodohannya sendiri membuat
Pertiwi selalu menarik napasnya dalam-dalam sebelum kemudian dia hembuskan
kembali bersamaan dengan sebuah penyesalan. Sebuah penyesalan begitu tergambar
dari matanya yang sayu dan sebuah keinginan untuk bertemu lagi dengan
teman-temannya telah terucap di dalam hatinya.
1 Desember 2013. Siang ini Bumi baru
saja menginjakan kakinya di Bandara Juanda, Surabaya. Dengan jaket levis dan
tas ransel yang menempel di punggungnya membuatnya terlihat begitu bergaya di
antara ribuan orang yang memadati bandara siang itu. Setelah berada di luar
bandara dia terihat seperti sedang kebingungan. Kepalanya tak berhenti menoleh
ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari seseorang.
“Bumi!” tiba-tiba saja dari kejauhan
terdengar suara yang tak asing lagi di telinganya berteriak memanggil namanya.
Dia pun langsung melihat ke arah suara itu berasal. Terlihat seorang cowok
dengan rambut gondrong yang diikat ke belakang sedang berlari sembari melambaikan
tangan ke arahnya.
“Woy, Jek!” teriak Bumi yang
langsung menyambut temannya itu dengan sebuah pelukan hangat. “Gila! Apa kabar
lo men? Kangen banget gue sama lo!”
Jaka tersenyum lebar. “Baik lah
gue... gue juga kangen gila sama lo men!” jawabnya sembari menepuk pundak teman
lamanya itu. Yap! Dia adalah Jaka. Seorang teman yang sangat dirindukan oleh
Bumi. Bumi sengaja datang ke Surabaya karena seminggu yang lalu dia mendapatkan
telpon dari Jaka yang mengajaknya pergi berlibur bersama di kampung halaman
Jaka yang berada di Probolinggo. Bumi yang tak ingin melewatkan moment seperti
ini tentu saja langsung menerima undangan tersebut dan terbang ke Surabaya.
Setelah mereka saling sapa dan
saling meluapkan rasa rindu satu sama lainnya, mereka pun beranjak pergi dari
Surabaya menuju Probolinggo dengan menggunakan sebuah mobil Jeep putih milik
Jaka yang penuh dengan bercak-bercak tanah yang melekat di sekitar bodinya. Di
sepanjang perjalanan mereka saling bercerita banyak, mengingat masa-masa dulu
yang tak pernah bisa mereka lupakan. Cerita lama yang akan menjadi sebuah
dongeng di masa tua mereka nanti.
Sesampainya di kediaman Jaka yang
berada di Probolinggo mereka berdua langsung disambut oleh keluarga Jaka yang
memang sudah lama menetap dan tinggal di sana.
“Bumiiiii!!” tiba-tiba saja
terdengar teriakan histeris yang menyambutnya ketika dia baru saja turun dan
menginjakan kakinya ke tanah. Suara seorang perempuan yang tak asing lagi di
telinganya. Seorang perempuan dengan tubuh yang berisi terlihat berlari
menghampirinya. Seketika mata Bumi langsung terbuka lebar dan mulutnya ikut
tersenyum lebar ketika melihat perempuan yang menghampirinya itu ternyata
adalah teman yang juga dirindukannya.
“Riniii!!” teriaknya sembari
memberikan pelukan hangatnya lagi untuk sahabat lamanya ini. Mereka pun saling
meluapkan rasa rindu yang sempat menyesakan dada. Ternyata bukan hanya Bumi
yang diundang oleh Jaka untuk berlibur bersama di kampung halamannya, tetapi
Rini juga ikut diajak olehnya. Di saat Bumi dan Rini sedang terhanyut dalam nostalgia
tiba-tiba saja muncul sosok perempuan yang berjalan lambat menghampirinya dari
belakang Rini. Bumi sempat terpaku ketika melihat sosok perempuan yang sedang
berjalan lambat ke arahnya itu.
“Tiwi?” panggilnya dengan suara yang
pelan.
Pertiwi hanya tersenyum kecil saat berjumpa
dengan Bumi. Tingkah mereka berdua seperti dua orang yang baru berkenalan.
Serba salah dan terlihat kikuk. Jaka dan Rini yang sedang berada pada situasi
tersebut merasa harus bertanggung jawab untuk membuat keduanya kembali seperti
dulu.
Jaka yang berdiri di samping Bumi
mendeham pelan. “Lo berdua udah nggak marahan lagi kan?” tanyanya mencoba
memastikan keadaan mereka berdua yang sudah tak lagi saling menyimpan dendam.
Namun mendengar pertanyaan Jaka barusan membuat Bumi dan Pertiwi hanya berada
dalam kebisuan.
“Sstt!” bisik Rini sembari
menyenggol lengan Pertiwi sebagai sebuah isyarat.
“Emm... enggak kok kita udah baikan
kan ya?” saut Pertiwi yang tersenyum manis ke arah Bumi sembari mengacungkan
kelingkingnya ke arah Bumi. Melihat sebuah senyuman yang dilontarkan padanya
serta respon yang diberikan Pertiwi barusan membuat Bumi juga ikut tersenyum
lebar. Bumi yang sempat terpaku sejenak kemudian ikut mengacungkan
kelingkingnya dan mengaitkannya ke kelingking Pertiwi sebagai tanda jika mereka
sudah baikan seperti dulu. Tatapan mereka sudah saling bertemu diiringi oleh
senyuman yang saling membalas.
Sore itu, langit jingga menyapa ramah senja di
Probolinggo layaknya dua anak manusia yang kembali dipertemukan dalam sebuah
perdamaian. Sebuah konflik yang terjadi sepertinya baru saja terkikiskan oleh
sebuah rasa rindu dari sebuah ikatan pertemanan.
2 Desember 2013. Suara tapal kuda
yang beradu dengan lautan pasir Bromo yang membuat beberapa partikel debu
terangkat dan terhembus oleh angin senja menjadikan sore itu sebagai saat-saat
yang menyenangkan. Empat anak manusia yang saling berbagi keceriaan terus saja
menopangkan diri di atas punggung kuda yang sedang menari-nari di atas lautan
pasir Bromo. Berlatarkan gunung Semeru dengan kepulan asapnya yang memenuhi
langit senja terlihat begitu mempesona memberikan sebuah kesan bagi mata yang
memandanginya. Cahaya sang mentari yang menyilaukan mata di kala senja
menjelang mengubah warna langit menjadi jingga seolah menjadi hal yang paling
ditunggu-tunggu saat berada di tempat seperti ini. Indah... hanya itu kata yang bisa terucap begitu melihatnya.
3 Desember 2013. Pukul 03.00 WIB
Jeep putih yang berisikan empat serangkai itu beranjak pergi menuju Penanjakan
untuk menyaksikan sang penguasa langit menunjukan jati dirinya di kala fajar
menjelang. Udara dingin yang terasa seperti menusuk kulit membuat empat anak
manusia ini harus menggunakan jaket yang tebal untuk bisa bertahan di puncak
Penanjakan demi melihat keindahan sang alam dari ketinggian. Pukul 04.30 WIB
jaket tebal, kupluk kepala, dan sarung tangan seperti menjadi pelindung bagi
tubuh mereka dari menusuknya udara dingin yang menerpa di puncak Penanjakan.
Bersama teman menunggu kemunculan sang penguasa langit di antara keindahan
panorama Gunung Bromo, Gunung Batok, dan Gunung Semeru yang membentuk sebuah
kaldera raksasa terselimuti oleh tebalnya kabut layaknya sebuah samudra di atas
awan. Sekitar pukul 05.00 WIB perlahan sang fajar mulai menunjukan jati
dirinya. Pancaran cahaya dengan gradasi warna yang begitu tipis dan sempurna
antara merah, jingga, dan kuning terlihat muncul dari balik kabut tebal dan
gunung-gunung yang berdiri kokoh di depannya, mulai membentang menembus
khatulistiwa. Sebuah sinar mulai membentuk garis-garis yang membentang
menyinari hampir seluruh wilayah yang membentuk sebuah kaldera raksasa itu,
memberikan isyarat jika sang penguasa langit telah bangkit. Di balik dekapan
tebalnya jaket demi melindungi diri dari dinginnya udara pagi, menjadikan itu
sebagai sebuah perjuangan yang tak akan pernaha sia-sia. Menusuknya udara
dingin yang menembus kulit saat sang fajar menjelang seperti sudah terbayar
begitu mudahnya setelah melihat sang lukisan alam tercipta dari puncak Penanjakan.
Decak kagum, rasa syukur, dan merasa kecil di hadapan Tuhan, semua tercampur
aduk menjadi satu saat Tuhan memperlihatkan lukisan alam nan indah dan elok di
sepasang mata keempat anak manusia ini. Gejolak darah dalam tubuh mereka seakan
bergetar membuat sekujur tubuh mereka seperti merinding saat menyaksikan sebuah
keagungan Tuhan.
Mereka saling berdiri berdampingan, saling
menatap, saling tersenyum, dan saling merangkul erat tubuh mereka sepanjang
mentari memperlihatkan sisi keindahannya. Mereka merasa bersukur karena telah
terlahir di tanah yang kaya ini. Di tanah yang memiliki banyak keragaman suku
dan budaya. Di tanah yang memiliki ribuan jenis flora dan fauna. Di tanah yang
memiliki ribuan panorama terindah yang disuguhkan oleh alam. Di tanah yang
tertancapkan sebuah bendera yang dengan gagahnya berkibar di angkasa dengan
warna merah dan putih sebagai simbol kebanggan. Di tanah yang selalu kita sebut
dengan tanah air Indonesia.
Sebuah pelajaran hidup telah diambil dari kisah
perjalanan yang mereka alami. Tak ada yang perlu dibanding-bandingkan karena
semua telah diciptakan oleh Tuhan sesuai dengan porsinya. Mereka sadar betapa
pentingnya rasa toleransi dalam sebuah hubungan manusia agar tak ada perpecahan
yang terjadi di antara mereka. Mereka juga tersadar betapa pentingnya
menghargai berbagai macam keindahan alam yang berpijak di negeri tercinta ini
sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang telah menitipkannya pada kita.
Sebuah keindahan bukan hanya soal sebuah pemandangan alam semata, tapi juga
soal kehidupan yang rukun, saling berdampingan, dan saling mengasihi.