[Cerpen] Satu Cinta Dua Dunia (Part I)

Kriiing…!!Kriiiing….!!Kriiing…!!Kriiing…!! Pagi itu suara alarm terdengar seolah memanggil Joni untuk segera lekas meninggalkan alam mimpinya. Dengan mata yang masih sayup dan rasa malas yang masih menempel di sekujur tubuhnya Joni pun memaksakan diri untuk segera bangun. “HOooaaamm…. Huumm jam berapa sih?” gumam Joni sembari mengambil jam weker yang masih berbunyi tepat disebelah tempat tidurnya. “HAAHH!! JAM 9!!” Joni pun spontan melompat dari kasurnya dan segera berlari ke kamar mandi dengan tergesah-gesah setelah menyadari jika dia sudah kesiangan.
Sementara itu di lain tempat, sudah hampir satu setengah jam Intan dengan sabarnya menunggu Joni di warung tempat biasa mereka bertemu. “Huuh! Kemana sih nih si Joni jam segini belum dateng juga?! Bisa telat nih interview kerjanya!” gumam kesal Intan di dalam hati sambil sesekali melihat jam tangan yang ia kenakan di tangan kirinya. Tak lama terdengar suara motor yang sudah tak asing lagi di telinga Intan dan ketika dilihat ternyata benar jika itu adalah Joni yang datang dengan motor Vespa klasiknya. Begitu Joni melihat Intan yang sudah mulai mengkerutkan dahi di wajahnya dan sedikit memberikan tatapan tajam kepadanya ia pun langsung meminta maaf.
 
“Maaf cintaaa aku kesiangan.. hehe.” saut Joni sambil menggaruk-garuk kepalanya. 
“Ahhh kamu sih emang telat terus! Ayo buruan anter aku!” jawab Intan dengan nada bicara yang sedikit tinggi sembari naik ke Vespanya Joni.
Sepanjang perjalanan menuju kantor tak sepatah kata pun terdengar dari mulut mereka berdua, tentunya selain suara knalpot Vespa si Joni yang bersuara nyaring mereka juga saling menunggu untuk ditegur lebih dulu. Hingga akhirnya sampailah mereka di kantor tempat Intan akan diinterview. 
“Mau aku jemput jam berapa?” tanya Joni sambil memegangi helm yang diberikan Intan. 
“Eemm… nanti aku telpon aja, tapi jangan telat lagi ya!” jawab Intan yang tergesah-gesah. Joni pun hanya menganggukan kepalanya sambil tersenyum sembari melihat intan berlari masuk ke kantornya.
Dua jam sudah Joni menunggu di warung dekat kantor Intan diinterview. Handphone Joni pun mulai berbunyi karena ada pesan masuk dan setelah dilihat itu adalah pesan masuk dari Intan yang minta untuk dijemput, dengan segera Joni pun bergegas menjemput Intan agar tidak membuatnya marah lagi. Sesampainya di depan kantor Intan pun langsung menghampiri Joni dengan sebuah senyuman yang menggambarkan keceriaan di wajahnya, seolah-olah dia sudah melupakan kejadian tadi pagi. 
“Gimana interviewnya? Sukses?” tanya Joni. 
“Suksseeees dooong! Besok aku udah boleh mulai kerja di sini.” jawab Intan dengan penuh semangat sembari menaikan kedua tangannya sebagai ekspresi keberhasilannya.
Mereka pun kembali pulang, kali ini sepanjang perjalanan mereka tak lagi saling diam. Intan bercerita mulai dari bagaimana rasa tegang yang muncul ketika diwawancara hingga kejadian-kejadian lucu saat dia sedang menunggu giliran interview dan Joni pun sesekali ikut tertawa saat mendengar ceritanya seolah-olah ikut larut dalam kebahagiaan yang dirasakan oleh Intan.
Mereka pun sampai di warung tempat Joni menjemput Intan tadi. Warung itu adalah tempat yang biasa dijadikan Joni dan Intan sebagai tempat pertemuan mereka, itu karena hubungan mereka yang tak pernah direstui oleh ayah Intan. Ayah Intan adalah seorang petinggi Polisi yang selalu memandang orang lain dari penampilannya dan juga melihat orang lain dari segi materinya. Maklum saja, itu karena keluarga Intan memang keluarga yang terpandang. Joni yang bisa terbilang berpenampilan kurang rapi karena dengan potongan rambutnya yang agak keriting dan gondrong serta cara berpakaiannya yang santai. Hanya dengan kaos oblong dan celana jeans yang sudah robek-robek jelas membuat ayah Intan tak senang jika Intan harus berteman bahkan pergi dengan Joni. Ditambah lagi Joni bukan dari golongan orang yang berada. Namun hal itu tak membuat dua sepasang insan ini menyerah. Mereka terus memperjuangkan cinta yang mereka yakini akan bahagia pada akhirnya nanti.
            Tepat tengah hari terlihat Joni sedang memarkirkan Vespanya di salah satu toko kue. Dia bermaksud ingin membelikan kue kesukaan Intan untuk diberikan kepada Intan sebagai kado dalam rangka merayakan hubungan mereka yang sudah berpacaran selama enam tahun. Besok tepat tanggal 23 Juni yang jatuh pada hari Minggu. Itu adalah tanggal di mana mereka mulai membangun kisah kebersamaan mereka. Joni pun yang sekarang sudah masuk semester delapan bermaksud ingin membuat kejutan ke Intan yang Joni rasa sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya karena mereka sudah tak sesering dulu lagi untuk saling bertemu. Joni pun mulai menghubungi Intan untuk memintanya datang ke warung besok malam.
Malam yang dinanti pun tiba. Bulan sudah mulai menyinari bumi ditemani ribuan bintang di sekitarnya. Handphone Joni pun berbunyi dan itu telpon dari Intan yang sudah minta untuk dijemput. Dengan segera Joni langsung mengambil kunci dan langsung berlari ke arah Vespanya yang memang sudah disiapkan dari pagi tadi untuk menjemput Intan. Dinyalakan Vespanya dengan penuh semangat ia mulai pacu Vespa itu sehingga terdengar suara nyaring yang cukup membuat telinga pengang.
         Sampailah Joni di warung dengan penuh harapan dapat memberikan kejutan terbaiknya untuk kekasih terbaiknya itu.
         “Kamu mau ngajak aku kemana?” tanya Intan sembari mengernyitkan dahinya. 
      “Udah. Naik aja. Nanti kamu juga akan tau kita mau kemana.” jawab Joni dengan santainya. Dengan senang hati naiklah Intan ke Vespa Joni dan Joni pun mulai menjalankan Vespanya. 
        “Eeehm… kamu kok tumben wangi banget hari ini?” saut Intan sesaat setelah ia mengendus tubuh Joni karena si Joni tak biasanya sewangi ini. Joni pun hanya bisa tertawa kecil saat itu.
Setibanya di rumah Joni. “Hah? Ngapain kamu ngajak aku ke rumah kamu?” tanya Intan yang masih bingung. 
“Udah tenang aja, aku nggak akan berbuat jahat kok sama kamu, yuk!” jawab Joni yang saat itu langsung menarik Intan ke depan pintu rumahnya. 
“Eeehhh apan nih??” Sahut Intan yang saat itu matanya langsung ditutupi dengan kain hitam oleh Joni. “Tenang.. tenang.. sebentar ya.” jawab Joni sembari mulai membuka pintu rumahnya dan mulai menuntun Intan masuk dan menuju ruang tamu. Diantarkanlah Intan duduk di sofa yang telah disiapkan di ruang tamu itu. Joni pun mulai menghitung untuk membuka kain hitam yang menutupi mata Intan. 
“Siaap ya. 1.. 2.. 3” dibukanya kain hitam itu dari mata Intan. Intan seketika terkejut saat melihat ada kue brownies kesukaannya dengan sedikit sentuhan lainnya seperti lilin-lilin kecil, buah cerry, dan tulisan “You’re my dream and my destiny.” yang menghiasi kue brownies itu. Tiba-tiba Joni langsung mencium kening Intan yang saat itu masih terpaku karena mendapat kejutan dari Joni ini. 
“Happy anniversary yang ke- 6 sayang.” seru Joni setelah tadi sempat mencium kening kekasihnya itu. “Maap ya aku cuma bisa ngasih ini hehe.” lanjut Joni. Malam pun berlanjut seiring keceriaan yang terus berlanjut. Terlihat wajah yang bahagia serta senyuman dan tawa yang lepas menghiasi sepasang kekasih ini di malam itu.

***
         Seminggu lebih Joni tak mendengar kabar dari Intan. Seminggu lebih mereka tak saling berkomunikasi. Seminggu lebih sudah Joni tak dapat menguhubungi Intan. Dan seminggu sudah Intan tak masuk kantor. “Kemana sih kamu?” tanya Joni dalam hatinya yang terlihat cemas. “Apa kamu sakit? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang seperti ini?” cemas Joni dalam hatinya yang tak lagi setenang kemarin. Malam itu bulan hampir tak terlihat karena tertutup oleh awan yang gelap. Suara-suara jangkrik sudah mulai tak terdengar lagi untuk memecahkan kesunyian malam. Saat ini Joni berbaring di kamarnya sambil sesekali mengintip bulan dari selah-sela jendelanya yang tertutup oleh gorden. Berbisik dalam hatinya “Apa aku harus ke rumahnya besok? Apa aku harus?” tekad itu muncul dari dalam diri Joni tapi tak lama tekad itu kembali hilang saat Joni teringat harus menghadapi ayah Intan nantinya.
           Pagi pun tiba. Nampak Joni yang masih terjaga karena rasa resah, gelisah, dan gundah gulana. Semua tercampur aduk menjadi satu membuat Joni tak lagi dapat berpikir jernih. “Ahh Sudahlah! Persetan dengan ayahnya nanti! Yang penting aku dapat bertemu dengan Intan.” tekad itu pun muncul dari dalam diri Joni. Dengan tergesah-gesah Joni pun langsung mendatangi rumah Intan. Tapi setibanya di rumah Intan Joni tak menemukan seorang pun penghuninya. Rumah itu terlihat kosong, seakan-akan sudah lama ditinggal pergi oleh pemiliknya. Joni yang masih berusaha mencari Intan memberanikan diri untuk menekan bel yang menempel di samping pagar rumah itu. Ditekannya sekali, tak ada yang keluar. Ditekannya dua kali, masih tak ada respon. Dicobanya lagi untuk ketiga kalinya, namun masih tak ada respon. Joni yang mulai putus asa akhirnya memutuskan untuk pergi. Belum sempat melangkahkan kaki untuk kedua kalinya tiba-tiba terdengar seperti suara kunci sebuah pintu yang sedang berusaha dibuka. 
        “Siapa ya?” tanya seorang ibu-ibu yang keluar dengan mengenakan daster menghampiri Joni. 
        “Eemm.. Intannya ada bu?” tanya Joni yang sedikit gugup karena tak tahu siapa ibu-ibu ini. 
        “Oohh cari non Intan? Mas ini siapa ya?” kembali ibu-ibu itu bertanya pada Joni.
        “Eemm saya Joni bu, temannya Intan” jawab joni sembari tersenyum simpul. 
     “Oohh.. temannya non Intan. Ma’af mas memangnya mas Joni tidak tahu kalo non Intan sedang ke Singapore untuk menjalani pengobatan mas?”
        Sontak saat itu Joni langsung terkejut mendengar jawaban dari Ibu-Ibu itu. Pasalnya selama ini Joni tak pernah tau jika Intan mengidap sebuah penyakit tertentu. Joni pun mulai bertanya lebih jauh tentang pengobatan yang dijalani oleh intan dan ibu-ibu itu pun mulai menjawab satu-persatu pertanyaan dari Joni. Sudah hampir 15 menit mereka saling bicara. Raut wajah Joni terlihat semakin lesu, tatapan matanya pun berubah menjadi kosong. Perlahan Joni mulai melangkahkan kakinya untuk pergi tapi tiba-tiba ibu tadi berlari menghampiri Joni dan memberikan sepucuk surat kepadanya. Dia bilang jika surat itu dari Intan yang dititipkan padanya. Joni langsung menyimpan surat itu dan pergi pulang agar bisa sesegera mengetahui apa isi surat tersebut. Sesampainya di rumah, Joni berlari ke kamar dan mengunci rapat-rapat kamarnya, berharap tak ada seorang pun yang akan mengganggunya.
            “Dear My Love.. Terima kasih untuk semua kebaikan dan kasih sayang yang telah kamu kasih untuk ku. Terima kasih karena telah menjadi sumber semangat dalam hidupku. Banyak hari yang telah kita lewati bersama, banyak waktu yang sudah kita habiskan bersama. Tiap detik, menit dan jam saat bersamamu bukanlah waktu yang sia-sia untuk ku. Sayangku, mungkin saat kau membaca surat ini, aku sedang berjuang melawan maut di ruang operasi pengangkatan tumor otak ku ini. Sayangku, kali ini aku benar-benar merasa berat karena harus melewati operasi ini tanpa kamu di sisiku. Kata dokter kesempatan untuk ku hidup kali ini tidaklah besar karena penyakitku ini sudah stadium akhir. Tapi aku akan terus berjuang untuk hidup demi menjalani sisa hidup ini bersamamu. Tapi jika takdir berbicara lain, maka ma’af kan aku yang tidak bisa menepati janjiku untuk menjadi pendamping hidupmu. Ma’af kan aku karena aku tak bisa di sisimu dan memelukmu hingga tua nanti. Ma’af karena aku belum bisa meyakinkan Ayah untuk bisa menerimamu. Ma’af karena aku harus meninggalkanmu lebih dulu. Tapi percayalah sayang, walau kita terpisah kita akan tetap memiliki satu cinta yang sama walaupun berada di dua dunia yang berbeda sekalipun. Seperti itulah cinta kita. Sampai bertemu lagi sayangku, entah di kehidupan yang sama atau mungkin di kehidupan yang lain. Always love you..
From You’re Destiny
Intan”


Nampak Joni tak sanggup lagi menahan air matanya yang mulai turun dan membasahi pipinya. Tangannya masih bergetar sambil menggenggam erat surat yang mulai terbasahi oleh tetesan-tetesan air matanya yang jatuh. Joni pun menyesal karena tak bisa berbuat apa-apa selain menahan kesedihannya saat ini. Andai ia tahu jika perayaan enam tahun kemarin adalah kesenangan terakhirnya bersama Intan. Maka ia akan memberikan waktu yang lebih lama untuk bersama Intan. Tapi apalah daya, takdir Tuhan sudah digoreskan dan kini Joni hanya bisa berharap Intan akan sembuh dan kembali padanya. Joni pun mulai menggelar sajadahnya dan berdo’a pada sang Pencipta untuk keselamatan Intan, orang yang sangat ia cintai.

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Thanks karena udah mau mampir untuk membaca tulisan-tulisan gue di sini. Thanks juga buat yang udah mau berkomentar di comment box ini. Grazie!

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.