Terdengar suara tawa, teriakan, bising, gaduh bahkan
suara tv yang seolah dibiarkan menyala dengan volume yang besar. Mengganggu
tidurku kala itu. Dengan pandangan yang masih kabur dan tubuh yang masih letih
ku paksakan diri ini untuk segera bangun dari pulau kapuk yang ku tiduri. Ku kenakan
kacamataku lalu ku matikan kipas angin yang masih berputar dan sedikit berdenyit di
kamarku. Dengan sempoyongan aku mulai membuka pintu kamarku dan membiarkan
kegaduhan yang terdengar itu ku lihat. Ternyata kegaduhan itu berasal dari
teman-teman satu kampus sekaligus satu kontrakan denganku. “Eh bangun juga lu.”
Saut salah seorang temanku yang bernama Agung begitu melihatku keluar dari
kamar. Hari itu aku sedang tak ada kelas dan berniat untuk bermalas-malasan di
kontrakan yang ku tinggali bersama teman-temanku ini. Mungkin memang bukan waktu ku untuk bermalas-malasan hari
ini karena aku diajak oleh Agung untuk ke kampus yang ingin menghadiri rapat EO
(Event Organizer) di kampusku.
Awalnya aku menolak tapi karena bujuk rayunya
aku pun mulai mandi dan mengikutinya ke kampus. Oh iya, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Rio
mahasiswa semester 3 di salah satu Universitas di Jakarta. Jurusan kuliahku
adalah Managemen Komunikasi oleh karena itu ada mata kuliah EO yang menjadi
mata kuliah wajib untuk jurusanku. Awalnya niatku mengikuti Agung untuk
menghadiri rapat EO tersebut adalah ingin lebih tau bagaimana mata kuliah itu
berjalan. Wajar saja karena saat itu aku belum mengambil mata kuliah tersebut. Di
sinilah awal cerita baruku dimulai. Saat aku bertemu dengannya. Seorang gadis
yang berhasil mencuri hatiku. Namanya adalah Lita. Bertubuh kecil, berwajah
putih, bersuara agak cempreng dan dia juga mengenakan hijab. Aku memang sangat
suka melihat gadis yang mengenakan hijab di kepalanya karena buatku itu adalah
tanda ketakwaannya pada Tuhan. Dia juga adalah orang yang smart. Dari mana ku
tahu? Itu karena selama mengikuti rapat aku selalu memperhatikannya. Dari cara
dia berbicara, cara dia mengeluarkan pendapat hingga cara dia memimpin rapat.
Seorang perempuan menjabat sebagai ketua dan mampu memimpin jalannya rapat? Aku
pikir dia lebih smart dari yang ku lihat saat itu. Ternyata ikut menghadiri
rapat temanku ini bukan lah sebuah kesalahan karena aku bisa bertemu dengannya
dan di sinilah pertama kali aku mengenalnya.
Tanpa disadari waktu terus berjalan, hari terus
berganti dan pertemananku dengan Lita pun terus berlanjut. Hingga saat ini aku
sudah memasuki semester 8 dan Lita sudah lulus lebih dulu. Bukan karena dia
senior ku tapi karena dia yang menjalani kuliah dengan waktu cukup singkat
yaitu 3,5 tahun. Masih terngiang di telingaku bagaimana suaranya saat dia
tertawa. Masih terbayang di ingatanku bagaimana semunyan manisnya membuatku
bersemangat untuk kuliah. Masih terlintas di benakku bagaimana cara dia
berjalan. Semua ingatan itu masih tersusun rapi di dalam memori otakku ini
walaupun aku harus bisa menerima kenyataan jika aku tak bisa memilikinya. Sudah
hampir 2 tahun lebih aku mengenalnya dan sudah selama itu juga aku memendam
rasa padanya. Entah apakah dia menyadarinya atau tidak? Apakah dia tahu jika
aku selalu tersiksa ketika harus melihatnya tertawa karena pria lain? Apakah
dia tahu jika dialah yang menjadi alasanku untuk rajin kuliah? Hanya dia dan
Tuhan yang tahu.
Masih
teringat di benakku saat aku harus mengantarkannya pagi-pagi buta ke stasiun.
Kala itu dia meminta kepada teman-temanku untuk mengantarkannya ke stasiun pagi
sekali tapi tidak ada yang bisa. Aku pun menawarkan diriku untuk mengantarnya
walaupun ku tahu dia tak pernah meminta langsung padaku. Kala itu aku hanya
ingin merasakan waktu berdua dengannya walaupun ku tahu dia akan pergi ke
Semarang untuk berjumpa dengan kekasihnya. Menikmati soto bersama dengannya
sembari menunggu kereta tiba. Hingga mengantarkannya sampai ke depan pintu
kereta. Dan aku harus telat masuk kuliah pagi karena harus mengantarkan Lita ke
stasiun. Itu semata-mata karena aku menyimpan rasa padanya.
Bagaimanapun aku harus tetap menerima kebenaran
jika aku tak pernah bisa memilikinya. Aku harus menerima takdirku karena harus
melihatnya bahagia bersama orang lain. Aku harus bisa menahan rasa sakit ini
ketika tahu aku bukanlah pria yang beruntung untuk memilikinya. Mungkin ini
konsekuensi yang harus ku terima karena aku yang tak pernah berani menyatakan
cinta. Ini adalah sesuatu yang kudapat dari apa yang selama ini hanya bisa ku
pendam. Sebuah rasa cinta yang sederhana namun menyakitkan ketika cinta itu
harus dipendam dalam-dalam selamanya. Tapi ini adalah jalan takdir yang ku
pilih sendiri, jalan takdir yang harus ku lalui. Tak pernah luput dari mulutku
tiap aku mengucap do’a pada Tuhanku untuk kebahagianmu. Tak pernah lupa aku
selalu menyebut namamu di tiap aku meminta perlindungan pada Tuhanku. Ya Tuhan,
jika memang ini yang terbaik dari apa yang ku dapat, jika ini memang jalanmu
untuk kebahagian ku dan kebahagiaannya dan jika ini adalah jalan yang bisa
membuatnya selalu tersenyum maka aku ikhlas ya Tuhan. Aku ikhlas.
Waah, ini pasti kejadian yg dialami penulis. Huak hak hakk.. !! Begitu ternyata kalo cowok galau yah. Hmm
BalasHapusIkhlas sama pasrah beda tipis ya..hehe..
BalasHapus